Tuesday 19 February 2008

Pengantin Baru, Nyamuk, Surat!


Pengantin Baru


Senja, bagi para sastrawan, terutama penyair, sering dilukiskan dengan sedemikian indahnya. Betapapun, ia adalah batas waktu antara siang dengan malam. Betapapun, ia, senja itu, adalah pula kabar buruk, segera berlalunya waktu terang dan akan segera tibanya waktu gelap. Sepasang pengantin baru, tampaknya akan lebih memandang senja sebagaimana penyair memandangnya: senja begitu indahnya! Maka, bayangkanlah, sepasang pengantin baru sedang memandang dan menikmati senja di serambi sambil berbalas sajak cinta!

dingin pun menunduk
di hadapan hatiku
yang menghangat berkat cahaya cintamu

Begitu puisi Pengantin Perempuan, yang segera disauti Si Pengantin Laki-laki:

cintaku seperti cinta rama pada sinta
yang memijar menegakkan bunga layu

Lalu, sahut Pengantin Perempuan pula:

cintaku seperti cinta sawitri
yang mengidupkan kembali
setiawan pujaan hati


Nyamuk

Lalu datang seekor nyamuk. Hap! Lalu ditangkap? Oh, tidak. Ini bukan lagu Cicak-cicak di Dinding. Ini cerita tentang nyamuk yang hinggap di pipi perempuan pengantin baru. Si Pengantin Laki-laki yang lebih dahulu mengetahuinya langsung melayangkan telapak tangannya, dan, ’’Plak…!’’ Telapak tangan itu mendarat di hamparan pipi yang sedang ranum-ranumnya, persis di bagian yang di-cipok nyamuk. Karuan saja, nyamuk itu tewas seketika, bahkan bentuknya pun sudah tak bisa dikenali. Sungguh tragis. Dan membuat lakon senja itu sedemikian komplit: ada unsur romantisnya dan ada pula unsur tragedinya.

Pengantin perempuan itu terkejut. Dalam sepersekian detik, ia hanya membatin begini, ’’Oh, betapa keras tamparan suamiku. Betapa sakitnya! Oh, ya, ia bermaksud membelaku dari serangan nyamuk yang boleh jadi tak sekadar mengambil sedikit darahku, melainkan menularkan penyakit pula, demam berdarah misalnya. Tetapi, ketika sedang mesra-mesranya saja ia bisa menampar sekeras ini, betapa nanti kalau ia sedang marah karena kesalahanku, atau hanya karena kesalahpahaman di antara kami? Betapa….!

Keindahan senja pun seolah ikut tercoreng. Bahkan, ia, senja itu, seolah menjadi utuh sebagai kabar buruk.
’’Oh, maafkan kakanda Dhiajeng, ya? Kakanda tidaklah bermaksud menyakitimu!’’ Pengantin Laki-laki memohon dengan sangat.

Pengantin Perempuan keburu menangis. Pipinya basah. Bahkan linangan air matanya melunturi warna darah dari pipinya sendiri. Itu benar-benar darah dan air mata! Dan ia seperti sudah tak mampu berkata-kata. Dan sebentar kemudian tangisnya telah menjadi isak.

Mertua yang sempat berkelebat di balik pintu sempat memergoki, tetapi ia tak mau terlalu menyampuri. Tetapi, sesuatu yang berat menindih pikirannya, ’’Lha, masih pengantin baru, masih belum punya anak, masih belum harus mikir merawat dan beli susu saja sudah tangis-tangisan begitu. Apalagi nanti ya….?

Hati Pengantin Laki-laki menjadi semakin gundah. Apalagi setelah menyadari bahwa permintaan maafnya tak mendapatkan tanggapan yang positif. Perasaan bersalahnya kini telah lewat, berlalu dengan cepat. Keadaannya kini berbalik, ia merasa jadi korban berikutnya, ’’Orang berniat baik, dan telah melakukan niat baiknya itu, kok dianggap salah!’’ begitu kata pikirannya.


Surat

Nah, sampailah kita pada persoalan surat. Ini bukan surat cinta yang mengantar sepasang pengantin itu ke pelaminan, dan kemudian ke kelaminan, lho! Tetapi, Surat Edaran 2258 made in KJRI-HK. Adakah hubungan antara SE 2258 dengan pengantin baru dan nyamuk? Bisa ada bisa tidak. Ada esensi persoalan yang mirip-mirip, walau ada yang berbeda.

Miripnya, antar lain, di dalam hal kesalahpahaman, di dalam hal kegagalan berkomunikasi. Surat Edaran KJRI-HK NO. 2258/IA/XII/2007 itu telah memancing gelombang protes dari berbagai organisasi BMI-HK. Bahkan, ’’Kami nggak akan berhenti bikin aksi di Hong Kong sampai SE itu dicabut. Biar orang Hong Kong tahu bagaimana Pemerintah Indonesia mengurus TKW-nya di luar negeri,’’ kata Eni Lestari, Ketua ATKI-HK yang juga Jurubicara PILAR (Persatuan BMI Anti Overcharging).
Sedangkan dalam penjelasan (tertangal 5 Februari) atas SE 2258 itu KJRI menyatakan bahwa pada prinsipnya SE 2258 diterbitkan untuk melindungi BMI-HK. Kalau kita memandang dari sudut ini, pastilah kita lalu bertanya, ’’Lha, bagaimana ta BMI-HK itu, dilindungi kok malah mencak-mencak?’’

Tetapi, tunggu dulu. Apa yang dirasakan dan dipikirkan BMI-HK (setidaknya melalui sekian banyak organisasi yang secara terang-terangan dan bahkan dengan berdemonstrasi menolak SE 2258 itu) bertolak belakang dengan yang dimaksudkan oleh KJRI-HK.

Lalu, ada lagi pernyataan dari pihak KJRI (baca beritanya di halaman lain Intermezo edisi ini) bahwa KJRI-HK selalu membuka diri untuk berdialog, termasuk mengenai SE 2258 itu. Padahal, gelombang demonstrasi sudah terjadi dan semakin membesar, bahkan menurut sebuah posting di milis buruh-migran, mahasiswa di Jakarta pun turun berdemo mendukung gerakan menolak SE 2258 itu. Kita tahu, demonstrasi itu merupakan salah satu saluran aspirasi yang hukumnya ’dibolehkan’ dalam sistem demokrasi. Tetapi, seyogyanya dipatuhi syarat dan ’rukun’-nya. Syaratnya, misalnya, tidak boleh anarkhis. Lha, rukun-nya, jangan dibalik: demo dulu dialog kemudian, melainkan dialog dahulu, baru kemudian (kalau jalan dialog tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua pihak) berdemo-lah. Bukankah begitu?

Beginilah jadinya kalau sebuah peraturan, perundang-undangan, dikeluarkan tanpa sosialisasi yang bagus terlebih dahulu, yang menurut kalimat Pakde Karwo (Sekretaris Daerah yang menyalonkan untuk jadi Gubernur Jatim), ’’Kita itu sering membuat undang-undang atau peraturan-peraturan dimana ’’calon korban’’ tidak diajak bicara terlebih dahulu. Begitulah, ketika kemudian Pakde Karwo bicara soal produk hukum yang sering disebut-sebut sebagai ’’Macan Kertas’’ yang bagus di dalam perumusannya, tetapi ’memble’ di tataran implementasi atau pelaksanaannya.

Pengantin Laki-laki yang malang itu, agaknya memang tidak punya cukup waktu untuk terlebih dahulu berbicara begini, ’’Dhiajeng-ku sayang, ada seekor nyamuk mendahuluiku me-nyipok pipimu. Izinkanlah aku menghukumnya dengan menamparkan telapak tanganku….’’ Lha, kalau harus memakai kalimat sepanjang itu, keburu kenyang itu nyamuk! Tetapi, mestinya tidak demikian halnya dengan proses penerbitan SE 2258 itu. Atau, kalau meminjam istilah Pakde Karwo: Apakah sebelum surat (Nomor 2258) itu diedarkan para ’’calon korban-nya’’ (dalam hal ini BMI-HK) sudah diajak berbicara? [Intermezo edisi Februari 2008].


FOTO OLEH: STEVEN RIO

0 urun rembug: