Sunday 2 March 2008

Berjuta-juta Jalan Menuju Kematian

Cerpen Bonari Nabonenar

Tiba-tiba perempuan ini menyeretku ke sebuah sudut remang nan sepi, dan memberondongkan kata-kata yang membuatku pusing tujuh keliling, membuat kepalaku cekot-cekot, membuatku kembali menempuh jalan panjang ke masa lalu hanya untuk memunguti serpih-serpih ingatan dan pengetahuanku tentang kematian. Perempuan ini kadang membuatku tertawa-tawa, kadang membuatku jengkel, marah, sedih, dan bahkan kadang ingin mati saja. Perempuan ini benar-benar membuatku sengsara. Maka, kalau aku harus bersyukur, justru kesengsaraan ini, yang seolah ditimpakannya kepadaku tanpa ampun, telah menegaskan kepada dunia bahwa aku masih hidup! Walau kenyataannya aku telah mati berkali-kali.


Sahdan, jam 3 dini pagi sebutir peluru tepat menembus dada kiri Titin Sumartin, lalu melesat ke batang pohon hingga kulitnya mengelupas. Sayangnya Titin Sumartin belum mati, sehingga atas persetujuan dokter yang mendampinginya sebutir peluru diarahkan ke keningnya. Tapi Titin Sumartin belum juga mati. Lalu dokter bertanya, ''Hai Titin, segala permintaanmu sudah kukabulkan. Tapi kamu tidak kunjung mati. Ketemu suamimu sudah. Ketemu anak-anakmu dan cucu-cucumu juga sudah. Bilang saja, siapa yang kau harapkan?''

Sambil mengelap darah di pipinya Titin Sumartin berkata, ''Hanya satu yang kuinginkan sekarang, yaitu bertemu Ni Go Lang1, ingin kutanyakan, adakah asuransi hari tua di akhirat?''2

Sejak dua hari sebelum kematian Titin Sumartin, Ni Go Lang mengaku pusing tujuh keliling. Niatnya untuk menemui Titin Sumartin di dalam tahanan sebelum peluru menembus dada perempuan itu tak kesampaian. Ni Go Lang sudah menelepon Kepala Lembaga Pemasyarakatan, tetapi tidak diizinkan menemui si terpidana mati itu. Lalu, lewat SMS, Go Lang berkeluh-kesah kepada teman-temannya, termasuk kepada Lewis Budy Santos yang kemudian menjawabnya dengan SMS lucu itu. Selera humor Lewis, menurutku cukup bagus. Itulah kearifan khas Lewis untuk menolong seorang teman yang menderita resah-gelisah, dan bahkan meningkat menjadi imsomnia, gara-gara gagal melunaskan keinginannya untuk bertemu dengan seorang terpidana mati pada saat-saat terakhir sebelum ajal menjemput. Bahwa kemudian karena SMS lucu itu Go Lang bahkan makin gelisah, itu mungkin soal lain. Dan soal lainnya lagi, aku pun ikut-ikutan jadi insomnia karenanya.

Aku melihat opini bertebaran di koran. Tentang hukuman mati. Aku hanya melihat-lihat judul-judulnya saja, tidak tertarik untuk membacanya. Tidak tahulah aku, mengapa tidak tertarik untuk membacanya. Mungkin saja itu adalah mekanisme batinku, bawah sadarku, untuk menghindari kemungkinan menjadi semakin gelisah dan semakin pusing. Celakaku, dalam dua hari Jumat berturut-turut di masjid yang berbeda, ke dalam telingaku memberondong teriakan kalimat-kalimat panjang tentang kematian, lebih tepatnya tentang hukuman mati!

''Kita ini bangsa yang zalim, karena hukum tidak ditegakkan. Seorang pembunuh sudah pasti hukumnya adalah dibunuh, sebab utang beras mesti dibayar beras, utang darah mesti dibayar darah. Utang nyawa dibayar nyawa. Mengapa kita menjadi sedemikian peragu, sehingga seseorang yang sudah terbukti sebagai pembunuh, berdarah dingin, lagi!—mesti menunggu belasan tahun untuk menerima hukumannya. Coba itunglah, berapa banyak harta negara yang harus dikeluarkan untuk biaya hidup puluhan dan bahkan belasan tahun si terpidana mati itu! Mengapa kita menyantuni pembunuh dan membiarkan anak yatim! Masya-Allah, kita memang benar-benar zalim! Begitulah, dan kita harus membayar kezaliman kita dengan kegelisahan hidup berkepanjangan, siang dan malam. Kita tak bisa tenang memarkir kendaraan kita di luar rumah, karena para pencuri bebas berkeliaran, bahkan setelah ditangkap dan hanya untuk beberapa bulan, atau bahkan beberapa hari ''disekolahkan'' di rumah tahanan. Mereka keluar dari tahanan dengan segar bugar, tak sebatang jemarinya pun yang dipotong Mungkin hanya memar-memar karena dihajar, dan itu menjadi semacam pelajaran tambahan. Para pencuri itu keluar dari tahanan dan menjadi semakin kejam, semakin jahat, karena ia telah ditempa dengan model kehidupan yang begitu keras. Maka, lihatlah hukum yang ditegakkan di Negeri Beradab. Para pembunuh itu, setelah melalui proses pengadilan yang cepat, akan segera dijatuhi hukuman mati, dipenggal kepalanya dengan kelewang di tanah lapang, bisa disaksikan masyarakat umum, bahkan juga anak-anak kecil! Bukan seperti di kita, wartawan pun mesti dikecoh. Jelas-jelas pembunuh, penjahat, masih sebegitu ditutup-tutupinya. Anehnya lagi, tulisan-tulisan di koran-koran justru seperti disengaja untuk memancing-mancing rasa iba dan belas kasihan publik kepada si terpidana mati. Sudah begitu, kita masih bisa bilang merindukan masyarakat yang aman.''

Begitulah. Maaf, aku tidak bisa menirukan persis seperti aslinya. Juga, karena kalimat-kalimat itu, yang diteriakkan dengan amarah yang kental di antara ratusan orang yang hanya bias duduk terdiam itu, sangat memusingkan. Dan karena tidak sedang berada dalam forum diskusi, aku tidak bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk meredakan kegelisahanku. Aku hanya bisa diam. Seperti ratusan orang selain aku juga diam, membiarkan diri dimarahi habis-habisan! ''Kita ini benar-benar bangsa yang bebal. Bangsa yang abai terhadap seruan Tuhan. Kita ini benar-benar zalimun…!’’

Titin Sumartin sudah mati. Mungkin dia sudah benar-benar beristirahat dengan tenang. Sebab dia telah membayar hutangnya. Hutang tiga nyawa, dibayar satu nyawa? Hah? Bagaimana ini? Semakin lama, hutang ini tidak semakin berbunga! Atau, kalau mesti membayar tanpa bunga pun, bagaimana? Bukankah setiap manusia hidup hanya memiliki satu nyawa? Kepalaku tambah cekot-cekot!

Jangkrik! Ketika aku bertemu Ni Go Lang di Kantin Gumerah di tengah kota yang gerah, perempuan sipit –jangkrik-nya, dia cantik!—itu sudah bisa tertawa dengan riang. Seperti tak punya beban batin lagi. Lho, lho, dari siapa dia belajar ilmu memindahkan resah-gelisah dan segenap penderitaan batinnya itu kepadaku? Jangkriiiiiik, jangkrik!

''Mas Lewis itu memang mbencekno pol kok!3 Aku ini kan serius, ingin menemui Titin Sumartin pada saat-saat terakhir hidupnya. Mungkin karena saya juga perempuan, maka saya memiliki kesedihan yang susah saya terangkan, apalagi kepada laki-laki. Seperti Titin Sumartin, saya juga punya anak. Lupakanlah untuk sementara bahwa sekian tahun yang lalu Titin Sumartin telah menjadi pembunuh berdarah dingin. Lihatlah dia, kemarin itu, menjelang ia ditembak mati itu, ia adalah seorang manusia yang sebenarnya sudah mati. Kemerdekaannya pun telah ia cicilkan untuk utangnya yang akan segera dilunaskan. Ia sudah pasrah. Sudah tak berdaya. Apakah salah jika saya merasa kasihan? Hah! Aku benci. Semua yang kuhubungi, lewat telepon, atau sekadar melalui SMS, jawabannya selalu enteng. Mbencekno!''

Koran, tabloid, majalah, boleh mengekspose berita-berita seputar Titin Sumartin dalam beberapa hari kemarin, tetapi di kalangan teman-teman pengarang, penyair, seniman di kota ini, nama Ni Go Lang sebenarnya jauh lebih populer. Ia telah mengorbankan sekian banyak pulsa untuk mengirimkan SMS, menyatakan keprihatinannya atas kematian yang akan ditimpakan oleh tangan-tangan hokum kepada perempuan bernama Titin Sumartin. Ada juga SMS Go Lang yang berisi kronologis kegelisahan dan tindakannya untuk mencoba mengenyahkan penderitaan batinnya, dari meminta referensi mengenai hukuman mati kepada seorang sejarawan, sastrawan, dan bahkan pakarhukum yang paling dikagumi. Tetapi, Go Lang tidak menemukan jawaban yang memuaskannya. Oh, ya, Go Lang juga menegaskan bahwa dia tidak memrotes dilaksanakannya hukuman mati itu. Ia bahkan menyayangkannya, mengapa itu didak dilaksanakan dulu-dulu, sehingga Titin Sumartin tidak harus menanggung penderitaan batin sekian lamanya. Lalu dikisahkanlah cerita film yang pernah ia lihat, tentang seorang anak yang lolos dari pembunuhan. Sekelompok berandal merampok dan menghabisi keluarga itu, kecuali seorang anak balita yang bahkan sempat menyaksikan hampir seluruh aksi para berandal itu dari kolong meja. Maka dendam pun tumbuh di dada si anak, bagaikan bara di dalam sekam, dan seiring pertumbuhan fisik dan dendamnya, ia memupuk ambisinya untuk dapat melampiaskan dendam atas nama keluarganya. Anak itu pun berkembang menjadi dewasa. Untuk keinginannya membalas dendam itu, kalau perlu Tuhan pun tidak akan ia takuti. Maksudnya, ia adalah seorang beragama yang taat, sebelum menyangkut urusan balas dendam itu. Maka, pada suatu hari, datanglah ia ke rumah pentolan berandal yang dahulu membantai orang tua dan saudara-saudaranya. Para centeng penjaga rumah itu dia jatuhkan satu per satu. Dan sampailah pada saatnya ia berhadap-hadapan dengan orang yang paling ia inginkan sejak ia masih kecil itu. Ternyata, pentolan berandal itu sudah teronggok di kursi roda. Ia sudah sangat renta. Jangankan dipukul, ibarat api kecil, sekali tiup pun ia bias mati. Ketidakberdayaan laki-laki tua mantan pentolan berandal itulah ternyata, yang kemudian memadamkan kobaran api dendam di dalam tokoh utama film yang dikisahkan kembali oleh Ni Go Lang.

''Nah, seperti itulah jiwa seorang manusia. Berarti, hukum itu tidak manusiawi, kan?'' protes Go Lang. Lalu lanjutnya, ''Okelah, tapi aku tidak dalam kapasitas memrotes hukuman mati atas Titin Sumartin itu. Saya hanya ingin menemuinya beberapa saat menjelang maut ditimpakan kepadanya. Mungkin juga aku hanya akan menemaninya menangis, kalau ia masih bisa menangis. Atau, bisa jadi juga aku hanya akan memperlihatkan kepadanya bahwa aku tak bisa menahan tangisku, di hadapannya. Aku hanya ingin diterima, seorang diri saja, menghadap Titin Sumartin, berbicara dari hati ke hati dengannya, jika ia masih mau bicara. Tetapi, sayangnya, birokrasi menghalangiku. –Kalau mau bicara ayo, bicara sama aku saja, lewat telepon, atau kalau mau datang ya temui aku saja, silakan datang! Jangan ganggu Bu Titin.— begitu kata Kepala Rumah Tahanan. Oh, apakah dia yang mau mati? Memangnya dia bisa bicara atas nama perasaan dan pikiran si terpidana mati? Dasar laki-laki! Pasti dia berpikiran ngeres begitu mendengar suara perempuanku di telepon! Belum tahu dia, aku bias jadi lebih laki-laki daripada laki-laki itu sendiri!''

Wajah Ni Go Lang yang putih cendawan itu pun tak urung memerah, tersulut oleh api yang kembali berkobar di dalam dada dan di kepalanya. Lima botol teh telah kosong di hadapannya. Padahal aku sendiri baru menghabiskan beberapa teguk kopi dari cangkirku. Sebagai tenaga pemasaran asuransi, Ni Go Lang terbiasa bergerak cepat. Memburu nasabah dengan cepat. Gerakannya lincah. Bicaranya juga cepat, dan dia punya energi yang sangat dahsyat untuk berbicara berjam-jam, bahkan melalui telepon. Makan cepat, minum cepat, jalan cepat. Tenaga besar, nafsu juga besar! Nafsu bicara Go Lang juga begitu besar. Ia selalu meneleponku, dan kemudian aku tahu dari teman-temanku yang juga teman-teman Go Lang, mereka juga sering ditelepon Go Lang. Pagi-pagi, misalnya, Go Lang mengirimkan SMS, ''Ini aku baru datang di kantor. Sebentar lagi mau nguber calon nasabah ke Jalan Sudirman.'' Tetapi, tak sampai setengah jam kemudian ia sudah mengirimkan SMS berikutnya, mengatakan bahwa ia sudah berada di Jalan Diponegoro, bertemu calon nasabah yang lain lagi. Dan tak lama kemudian ia sudah menelepon dari kantornya, menceritakan kesibukannya mengaduk-aduk seluruh isi kota, mengkampanyekan program-program asuransinya. Dan kamudian, pada akhirnya, seperti biasanya, Go Lang bertutur tentang novelnya yang akan segera diterbitkan oleh penerbit terkenal, tentang editornya yang berkali-kali meneleponnya untuk membicarakan program peluncuran novel itu nanti, juga tentang komentar teman-teman lain-lain yang pernah dikirimi naskahnya melalui email. Lalu, katanya, ''Ayolah, sekarang sampeyan segera daftar asuransi. Pengarang jangan sampai nanti mati hanya meninggalkan setumpuk buku, tinggalkanlah pula polis asuransi!'' sambil ngakak dan kemudian menutup telepon.

Iya. Saya tahu Go Lang sedang guyon parikena Bercanda tetapi serius. Maksudnya, ia hanya bercanda, namun seandainya aku menanggapinya serius dan kemudian mendaftar sebagai nasabahnya, tentu ia akan menerima dengan senang hati. Itulah yang kemudian menyadarkan aku, betapa selama ini aku telah menempuh jalan hidup yang sangat tidak manusiawi. Ya.Aku hidup bagaikan binatang, bekerja hari ini untuk makan hari ini, paling banter untuk besok, dan bahkan sudah ambil utang untuk makan hari ini! Aku tidak punya perencanaan untuk masa depan, terutama dalam soal keuangan. Aku sudah melompat-lompat berganti-ganti juragan, dan bahkan sudah puluhan kali berganti-ganti jenis pekerjaan, dan selalu hanya mendapatkan upah pas-pasan. Eh, kadang malah kurang! Jangan menanyaiku soal tabungan. Apalagi asuransi!

Aku malu. Benar-benar malu. Orangtuaku di desa telah menyekolahkanku. Gelar sarjana pun telah kudapat, dan kemudian aku memilih hidup di kota, memilih pekerjaan yang sekilas saja mungkin tampak lebih bergengsi daripada hanya sebagai petani seperti orang tua dan kakek-nenekku di desa. Tetapi sebenarnya aku tidak punya apa-apa yang patut kubanggakan. Terlebih kalau sudah menyangkut harta benda. Orang desaku, biasanya, jika tua sebatang kara, pastilah ada secuil tanah atau simpanan emas atau apa yang biasa disebut sebagai tunggu watang.4 Keluarga jauh, atau anak angkat, atau siapapunlah yang nanti engurusnya kalau si tua itu sudah tidak bisa apa-apa lagi, hingga mati, hingga mengurus pemakamannya, maka dialah yang berhak mewarisi tunggu watang itu, tentu, setelah diambil sebagian untuk biaya perawatan dan pengurusan jenasah. Luar biasa bukan? Orang-orang itu tidak hanya punya rencana untuk kehidupan, tetapi juga untuk kematian mereka. Sedangkan aku?

Tiba-tiba aku merasa benci pada diriku sendiri. Mengapa aku tidak bisa menerima semua perkara secara enteng seperti Arik, yang menjawab SMS Go Lang dengan kalimat ini, seperti dituturkan Go Lang, ''Titin Sumartin mungkin lebih beruntung. Ia akan menerima kematiannya itu sebagai hukuman atas tindakannya membunuh sesama manusia. Itu kejahatan besar, apa pun alasannya. Dan publikasi besar-besaran itu tak urung juga mengelu-elukannya. Memopulerkan namanya, dan menarik sekian banyak simpati kepadanya. Tidak sepertimu, Lang, aku menganggap semua itu sebagai hal yang biasa, seperti orang tersedak maupun bersin itu bukan hal yang luar biasa. Sedang ketika ayahku dipancung hanya untuk sesuatu yang dikira orang diyakininya saja aku tidak berkomentar apa-apa, apalagi meributkannya! Maka biarkanlah Titin Sumartin mati dengan cara apa pun. Bukankah memang ada berjuta-juta jalan menuju kematian?'' Lalu aku teringat Mbah Kung5, ayah nenek saya, yang justru bersedih ketika seolah kematian pun malas menghampirinya. Berbulan-bulan ia terbaring sakit. Dan tampaknya bukan hanya rasa sakit saja yang menderanya, tetapi juga rasa bosan. Bosan kepada semua, kepada hidup di dunia juga. Seluruh keluarga pun merasa kasihan justru karena Mbah Kung tak segera mati. Dan ketika tiba saatnya Mbah Kung mati, semua juga berjalan seperti biasa, kami berkabung dengan cara yang sederhana, mengurus jenasahnya dengan cara yang sederhana, karena ketika tiba saatnya, kematian itu juga menghampiri Mbah Kung dengan cara yang sangat sederhana.

Sedangkan adik Mbah Kung, atau Mbah Kung-ku yang satunya lagi, yang meninggal beberapa tahun kemudian, menyisakan misteri yang sering juga membuatku pusing tujuh keliling. Pada suatu hari, ketika aku pulang ke desa, Mbah Jamus, begitulah biasanya aku menyapanya, menitipkan pesan penting kepadaku, berisi undangan agar seluruh anak dan cucunya berada di desa dalam ''minggu ini''.

''Jangan lupa, ya? Jangan sampai mereka tidak ke desa!'' begitu Mbah Jamus menegaskan pesannya kepadaku.

Aku pikir, akan terjadi pembagian warisan atau apa. Ternyata, di usianya yang sudah sembilan puluh sekian tahun itu, ketika semua anak dan cucunya berkumpul, Mbah Jamus jatuh sakit.Seperti kena flu biasa. Ia sempat dibawa ke puskesmas untuk diopname, walaupun ia sempat bersikukuh menolaknya. Ternyata ia terus berontak. ''Aku akan mati karena jengkel, bukan karena sakit, jika kalian tak juga memenuhi permintaanku. Ayo, kita pulang saja!'' kata Mbah Jamus. Lalu mereka mengalah, mambawa Mbah Jamus pulang. Setiap saat Mbah Jamus menanyakan waktu, ''Ini sudah pukul berapa, ya?'' seolah-olah ia punya janjian dengan seseorang. Mbah Jamus menyebutkan juga satu demi satu saudara jauh yang perlu segera dikabari kalau nanti ia mati. Seolah-olah Mbah Jamus sudah begitu akrap dengan kematiannya, tahu kapan kematian itu akan datang, seperti seorang perjaka mengenali pacarnya. Ketika pada hari itu juga akhirnya Mbah Jamus mati, orang-orang seolah baru tersadar bahwa Mbah Jamus menghadapi kematiannya tidak seperti orang kebanyakan.

Aku pun lalu teringat, lama sebelumnya Mbah Jamus pernah bercerita tentang pengalamannya mengikuti pelajaran, semacam menjalani simulasi kematian. Sampai sekarang aku juga belum paham benar, apa yang dimaksudkannya dengan istilah sinau mati6 itu Apakah benar mati bisa dipelajari? Seandainya memang orang bias tahu persis kapan akan mati, apakah bedanya itu dengan sebuah hukuman? Manakah sebenarnya yang lebih indah, ketika pacar kita datang tiba-tiba ataukah yang sejak lama sudah saling berjanji untuk bertemu? Aha! Keindahan kematian? Adakah kematian yang indah? Indah menurut siapa? Bagaimana pula kriterianya? Apakah kematian Duryudana7 setelah dihajar habis-habisan oleh Wrekudara8 dan dipatahkan pahanya dengan gada itu lebih indah daripada kematian Bhisma9 setelah dadanya ditembus panah Dewi Srikandhi10? Apakah semakin tragis sebuah kematian semakin indah? Ah! Apakah kematian Titin Sumartin adalah juga kematian yang indah?

Aku jadi malu sendiri. Hidup saja nggak becus! Untuk menetralisir perasaan, aku coba menelepon Go Lang.

''Lang, besok kita ngopi yuk?''

''Jangan besok, Mas! Besok aku mati!''

''Ha…???''

''Lusa saja, ya?''

''Setelah terima klaim asuransi?''

''Hahahahaha……!!''

Lalu, Go Lang menyeretku ke sebuah sudut remang yang sepi! []


Surabaya, April 2005

Sumber: Antologi Kumcer Festival Seni Surabaya 2005: Black Forrest

0 urun rembug: