Saturday 15 March 2008

Babu, Semar, Kentut

Saya ini, sebenarnya punya pengalaman “traumatik” juga dengan sebuah kata. Pengalaman masa kecil, begitulah, meminjam judul yang dipilih Nur Sutan Iskandar.

Pada akhirnya mitos juga melekati kata-kata, sehingga kata-kata tertentu menjadi sedemiakian angker, dan beberapa kata lainnya menjadi sedemikian busuknya. Larut dalam permitosan itu terlalu berlarut-larut saya kira hanya akan menjauhkan diri kita dari
“kasampurnan” –betapapun, misal, kita tahu tidak akan pernah sampai di sana. Begitulah, tanah itu tetaplah suci walau di sana-sini dikotori bermilyar manusia dan bertrilyar haiawan. Di dalam hitam ada putih, di dalam putih ada hitam, curiga manjing warangka, warangka manjing curiga (keris masuk ke dalam sarungnya –bukan sarung saya, sarungnya masuk ke dalam kerisnya). Jadi pada titik pemahaman itulah manusia akan jadi lembah manah (manah= hati) -- jadi hatinya seluas lembah, walau tidak seluas samodra?

Perlu diketahui, “buruh” itu sendiri adalah menunjuk (ini kalau memakai terminologi perkastaan) kasta yang paling rendah, di bawah: brahmana, ksatria, waisa. Buruh adalah sudra. Tetapi, begitu ia berkreasi, olahrasa-pikir yang kemudian dituang ke dalam tulisan, serat (walau tidak sehebat serat centhini atau serat nitimani) ia adalah juga: b r a h m a n a!

Nah, seorang “buruh” atau “TKI” atau “TKW” atau “nakerwan” atau “babu” atau “batur” atau “rewang” (dalam keseharian saya tidak suka menyebut semua kata itu) mana yang bisa menasihati, mengritik, bahkan mencela Sang Presiden Republik benar-benar Indonesia, misalnya, jika ia bukan “pengawak” brahmana? Dan ada contoh yang sudah diidealisasikan orang sejak sebelum Isa turun ke bumi, yang kini kita kenal lewat cerita
para dalang: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, mereka adalah batur, rewang, abdi, dan sekaligus adalah “dewa” (asal tahu saja: Semar itu adalah nama samaran Batara Ismaya, seorang dewa yang sangat disegani bahkan oleh para dewa lainnya).

Dalam banyak penggalan cerita, sering persoalan-persoalan bahkan persoalan perang fisik yang tidak dapat diatasi oleh Sang Juragan macam Bima yang kekuatannya dijadikan merek jamu, Arjuna, Gatutkaca, dan lain-lain, malah diselesaikan dengan enteng (hanya dengan kentut) oleh Ki Semar! Tapi para pengikut Semar kan juga tidak pernah ada yang protes walau bukan wajah Semar yang dipasang di bungkus jamu itu, tetapi sosok Bima yanggagah dengan kuku pancanaka-nya.

Sudah segitunya lho! Apa kita masih perlu terlalu memusingkannya? Para pendahulu kita, tampaknya, justru memilih kata “buruh” yang terkesan kasar dan “rendah” itu untuk menegaskan posisi mereka sebagai “lawan” atau yang harus berhadap-hadapan dengan “majikan” atau “juragan” atau “bos” dengan segenap antek-anteknya. Jadi dipilih karena politis untuk kepentingan strategis. Dan orang malah dengan bangga, misalnya, mendirikan Partai Buruh. Kalau misal suatu hari nanti ada yang bikin Unitet Nation of Babu Organisation, dan menunjukkan “darma” yang nyata, yang bisa bikin organisasi “salon” semacam darma wanita tidak ada apa-apanya, menurut saya, so what gitu loh!

Lah, apa untungnya kita disebut “pegawai” atau “karyawan” yang konotasinya lebih halus, tetapi itu hanya meninabobokan dan membuat kita loyo, dan zalim kepada diri sendiri dengan cara mendiamkan majikan, yang, misalnya, men-zalimi kita?

Maka, biarlah orang lain mau bilang apa. Kita lakukan apa yang terbaik untuk diri kita. Sabar, jangan gampang ngentut, walau kita punya kentut yang sangat melumpuhkan….! Ingat, Kiai Semar hanya mau kentut di saat-saat yang benar-benar genting.[]

Dari Majalah Peduli edisi Februari 2008

0 urun rembug: