Oleh Masuki M Astro
Surabaya, 28/2 (ANTARA) - Kalau dalam karya-karya musik, tema percintaan atau asmara sangat laku di pasar dan diterima tanpa kritik, maka tidak demikian dengan karya satra (puisi dan cerita pendek).
Karya sastra dengan tema asmara masih cenderung dianggap sebagai karya cengeng atau pop yang beberapa tahun lalu sempat menjadi perbincangan sehingga menimbulkan dikotomi antara karya sastra dengan karya tulis yang pop.
Karya sastra yang tidak selamanya bisa laku di pasaran masih cenderung dibebani dengan tema-tema untuk peduli pada realitas sosial masyarakat, atau lebih tegas lagi harus memberi kritik. Karena itulah barangkali yang membuat seniman sastra kadang mengalami kelelahan dalam berproses.
Bonari Nabonenar, yang selama ini dikenal sebagai penulis sastra Jawa menerbitkan kumpulan cerpennya dengan judul "Cinta Merah Jambu" yang kesemuanya berkisar tentang dunia asmara, khususnya dalam konteks rumah tangga.
Buku terbitan JP Books, Pebruari 2005 itu berisi 13 cepren dengan kata pengantar cerpenis senior Surabaya, Shoim Anwar. Untuk ini Bonari memperlihatkan kegenitannya, karena kata pengantar yang biasanya menjadi pembuka buku, justru berada di halaman belakang.
Kegenitan lainnya adalah pengantar untuk masuk ke cerpennya. Ia menulis pengantar tidak dalam bab tersendiri, melainkan digabung dengan cerpen berjudul "Cinta Merah Jambu". Ia mengkahiri pengantarnya dengan kata, "Maka, inilah cerita saya. Lalu, alinea di bawahnya langsung dimulai dengan cerpen pertamanya.
Penulis kelahiran Trenggalek, Jatim, 40 tahun silam itu mengaku terus terang dirinya sedang lelah. Karenanya ia meminta agar dirinya tidak dikatakan telah kehilangan ideologi untuk peduli pada masalah sosial.
"Jika kini tiba-tiba saya bercerita tentang cinta dan bergenit-genitria, saya memang sedang lelah dan memerlukan semacam tamasya," kata lulusan IKIP Negeri Surabaya (kini Unesa)itu.
Meskipun berkisah seputar cinta, namun konteks sosial seluruh cerita Bonari masih menempati ruang yang luas, misalnya tentang tenaga kerja wanita, pengangguran dan konsep keluarga masyarakat modern.
"Meskipun berkisah tentang cinta, namun ini bukan karya cengeng dan murahan, karena setiap karya yang saya kerjakan selalu saya pertanggungjawabkan pada publik atau pembaca. Artinya dalam karya ini saya tidak sembarangan karena karya ini merupakan hasil dari kerja keras," kata pengrus Dewan Kesenian Jatim (DKJT) itu.
Menurut dia, dalam buku itu, dirinya banyak bercerita tentang cinta dalam kehidupan rumah tangga dengan segala pahit getirnya. Karena itu ia menolak jika karyanya kali ini disebut sebagai karya pop, meskipun sebelumnya pernah dimuat di beberapa koran.
Ia mengemukakan, penulis-penulis besar jaman dulu juga pernah melakukan hal sama, yakni menyesuaikan diri dengan kondisi. Misalnya Motinggo Busye juga pernah menulis karya-karya berbau pop, namun ternyata hal itu tidak mengurangi penghormatan orang terhadap sastrawan tersebut.
"Kalau saya analogkan dengan pelawak saat berhadapan dengan pejabat dan petani. Tentunya bahasa yang digunakan pelawak di dua pendengar yang berbeda itu harus berbeda pula," katanya.
Cerpen-cerpen dalam buku ini sebelumnya pernah dimuat koran seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Berlian, Karya Darma dan sebuah cerpen yang belum pernah dipublikasikan, yaitu "Perempuan Isteri Dewa".
Sementara Shoim Anwar tidak mempersoalkan tema yang ditulis oleh penggagas Kongres Sastra Jawa di Surakarta, 6-7 Juli 2001 dan Hakim Ketua pada Pengadilan Sastra Jawa di Taman Budaya Jatim, 2003 itu.
Ia mengemukakan bahwa masalah cinta kasih, hubungan pria dan perempuan, baik masih dalam konteks asmara maupun kehidupan berumah tangga, adalah masalah yang tidak pernah habis digali di segala tempat dan waktu.
"Tema seperti ini sudah menjadi masalah yang universal, tapi setiap pengarang memiliki persepsi tersendiri pada kehidupan demikian," kata Shoim.
Menurut dosen sastra di beberapa perguruan tinggi swasta di Surabaya itu, semua cerpen dalam buku ini bercerita tentang tragedi kehidupan; kegagalan, kekecewaan dan para tokoh utamanya terpuruk dalam nasib yang kelabu.
"Dalam melihat masalah cinta kasih atau jalinan asmara, Bonari tampak santai dalam menjalinkan hubungan para tokoh ceritanya," katanya.
Dikatakannya, ada kecenderungan bahwa Bonari --sebagai laki-laki-- melihat persoalan dari sudut pandang lelaki. Jalan menuju kehidupan rumah tangga yang digambarkan kebanyakan cerpenis lainnya begitu banyak tikungan, tapi oleh Bonari digarap dengan mulus, bahkan kocak.
"Cerpen-cerpen Bonari memang penuh anekdot. Pembaca tampaknya tidak diajak berkelana ke dunia yang buram, tapi langsung disuguhi puncak cerita. Banyak hal mengelitik ditampilkan," katanya.
Menurut dia, bagi Bonari, buku ini barangkali dimaksudkan sebagai tawaran kreatif. Ia telah meluncurkan amunisi ke medan pembaca.
"Apakah amunisi ini mampu meledak? Respon dan persepsi pembacalah ayang akan menjawabnya," katanya.
(T.M026/B/S005/B/S005) 28-02-2005 20:12:28
@antara: SPEKTRUM/RESENSI
0 urun rembug:
Post a Comment