Saturday 15 March 2008

Taksi Argo-Cangkem di Terminal Arjosari

Saya biasa wira-wiri Malang-Surabaya. Kadang naik motor, kadang naik bis. Kalau saya datang di Terminal Arjosari (dari Surabaya) lewat pukul 18.00, biasanya mikrolet yang menuju ke kampung saya sudah habis. Hanya ada 3 kemungkinan: jalan kaki, naik ojek, dan taksi. Nah saya sering juga datang tengah malam di Terminal Arjosari, dan demi keamanan dan kenyamanan, walau ongkosnya terasa berat, taksilah pilihan saya.

Sejauh yang saya kenal (saya sudah hampir 10 tahun menjadi penduduk Kabupaten Malang) taksi di Terminal Arjosari (sopir, calo dan segenap jajarannya) tidak ramah. Saya selalu bertanya, ’’Pak, ke …. (saya sebut alamat saya) berapa?’’ Dan saya selalu mendapatkan jawaban yang berubah-ubah. Tidak konsisten. Kadang tigapuluh ribu, kadang tigapuyluh lima, dan bahkan ada yang tega mengatakan 40 ribu rupiah. Padahal, saya hampir selalu mendapatkan harga 25 ribu rupiah untuk jarak yang dengan mikrolet cukup dengan duit dua ribu rupiah itu. Bahkan beberapa kali cukup 20 ribu.

Tadi malam saya ada pengalaman yang berbeda. Biasanya, begitu si calo atau sopirnya menyebut 30 atau 35 atau 40 saya langsung menolak dengan bahasa verbal plus bahasa tubuh, dengan membalikkan badan dan biasanya akan segera dipanggil, ’’Ya sudah ayo!’’ Tadi malam, begitu disebut angka 30 ribu, saya langsung duduk, menghisap rokok, mengotori terminal. Saya tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan itu. ’’Biasanya Rp 25.000 kok Pak,’’ saya meyakinkan bahwa saya bukan orang baru pemakai jasa taksi itu. Tetapi jawabnya, ’’Ini sudah lama ngantrinya, Mas.’’

Lho, memang apa salahnya kalau lama ngantri? Mengapa hal itu menjadi beban calon penumpang dengan harus membayar lebih dari biasanya? Sekitar setengah jam saya duduk, merokok, dan kemudian saya pergi ke toilet. Ee, lhadalah, ternyata saya diikuti. Usai buang air sedikit, saya dah dijemput, dan ternyata sopir taksi itu mau diongkosi Rp 25.000. Saya tak habis pikir,mengapa mereka rela membuang waktu. Padahal, saya sudah berniat, begadang sampai pagi pun akan saya lakoni, kalau mereka tidak sepakat dengan Rp 25.000.

Begitulah kalau naik taksi argo-cangkem. Maksudnya, tidak menghitung ongkos berdasarkan argometer, melainkan berdasarkan tawar-menawar. Saya pikir hal seperti itu tidak baik untuk Kota Malang yang suka membanggakan diri sesbagai daerah wisata yang andal. Saya yang penduduk malang saja sudah harus begitu repotnya, apalagi orang luar daerah, luar Jawa, luar negri?

Dua hari sebelumnya saya berada di Jakarta dan beberapa kali naik taksi, dan tidak harus diribeti urusan tawar-menawar. Di Jakarta, apalagi, ada taksi yang sudah terkenal dengan layanannya yang baik. Juga di Surabaya. Bahkan, Saya dengan enaknya naik taksi di Hong Kong, walau mahal, tak sedikit pun ada kekhawatiran dinakali, diputer-puterkan, atau argonya di-kuda-kan. Mungkin anda akan segera menyahut, ’’Ya, ini Indonesia, Mas, jangan dibandingkan dengan Hong Kong dong!’’ Lho, lho, nanti dulu. Mengapa saya tidak boleh membandingkan, sedang untuk membuat perbandingan itu saya tidak perlu mengeruk APBN atau APBD macam yang dilakukan oleh pejabat atau wakil kita yang suka Studi banding itu, apa salahnya? Juga, kapan kita mau menjadi lebih baik, kalau sebentar-sebentar hanya bisa bilang, ’’Ya, ini kan Indonesia….’’ []

1 urun rembug:

Setujuu banget.. Merasa resah dg taxi yg tdk mnggunkan argo.. Terasa g ikhlas. Kl pke argo normal..scara jujur.. Sy ikhlas mski hrus mmbyar ratusan rbu. Knp d mlg gitu yaa.. Aplgi daerah sy msuk kwasan kbupten..