Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui hanya satu: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita kematian Paman Gober, di halaman pertama. (Seno Gumira Ajidarma, 2001:11)
Soeharto, mantan presiden Republik Indonesia yang berkuasa 32 tahun itu, juga dibicarakan dalam karya sastra. Adalah tidak mungkin tidak mencatat Soeharto dalam sastra, dengan kekuasaannya yang selama itu.
Hanya, pada karya sastra, Soeharto dibicarakan secara realistis, agak transparan, bahkan sindirannya mudah dipahami, ke mana mata pisau kata-kata itu tertuju. Tanpa pembaca mengalami kesulitan memahami siapa yang dimaksud oleh karya tersebut.
Dengan demikian, ketika membaca karya sastra yang menyinggung Soeharto di dalamnya, pembaca tidak begitu kesukaran dan dengan cepat tahu bahwa obyek yang dibicarakan dalam karya sastra adalah Soeharto. Mengapa begitu? Apa yang membedakannya dengan laporan jurnalistik, sejarah, artikel, atau karya-karya akademik?
Pertama, karya sastra mengajak kita untuk memahami bukan untuk hanya mengetahui. Jika hanya untuk mengetahui, maka semua orang akan dapat mengetahui hanya sekadar dengan melihat faktanya. Namun, untuk memahaminya, ia harus menjalani perjalanan rasionalitas obyektif ke empirisme subyektif, dari pengetahuan pada kearifan kemanusiaan, mengajak untuk lebih bijak dan adil dalam memahami kehidupan.
Dengan demikian, dalam sastra tentang ”Suharto”, bukan lagi soal transparansi atau sindiran ”yang begitu jelas” itu yang menjadi persoalan, tetapi masalah: ”ada apa di balik semua itu”?
Semua ironi, satir, dan tragedi dalam sastra tentang ”Suharto” pun kemudian mengajak kita untuk masuk pada kearifan, pada tanggung jawab yang kritis dan waspada. Dengan dasar pemikiran itu, maka sastra bukan untuk mengklaim, memveto, mendiskreditkan, memojokkan, menghina, menjatuhkan, berpihak, pada selain nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, bila ada yang bersifat demikian, ia sudah merupakan propaganda, slogan, doktrin, atau dogma.
Absurditas sastra Soeharto
Alasan kedua yang membedakan adalah sebuah premis tentang bahasa sastra yang ditentukan oleh karakter dan sifat kekuasaan. Kekuasaan yang adil biasanya melahirkan karya sastra yang tidak vulgar. Namun, ketika suatu kekuasaan bebal, tebal muka, muka tembok, tidak rasional dan zalim, maka karya sastra pun akan bicara dengan bahasa yang tidak halus, bahkan kasar, penuh dengan metafor yang absurd.
Ketika Soeharto berkuasa, karya sastra penuh dengan metafor yang absurd, semakin kuat kekuasaannya maka akan semakin rumit metafor dan absurditas yang digunakannya. Dapat dipahami mengapa tahun 70-an karya sastra Indonesia dikuasai oleh jenis sastra absurditas, sedangkan mendekati tahun 90-an dan 2000-an, absurditas semakin kurang dan metafornya semakin transparan karena kekuasaan Soeharto semakin lemah.
Memang ada suatu budaya yang tabu membicarakan penguasa mereka, kendati penguasa itu zalim dan menganiaya. Akan tetapi, perilaku literer itu hadir, bisa jadi karena budaya feodalistik sudah begitu mengakar, atau begitu kuatnya tangan kekuasaan menenggelamkan publiknya.
Alasan ketiga, karya sastra berbicara pada tataran tafsir, majas, makna yang ambigu, bukan pada tataran fakta obyektif atau validitas. Oleh sebab itu, Soeharto yang dibicarakan oleh karya sastra bukanlah Soeharto sesungguhnya, tetapi Soeharto dalam pengertian makna dan tafsir. Yang mengajak dan membawa kita pada hikmah tentang keadilan, kebenaran, atau setidaknya tentang manusia itu sendiri.
Soeharto dalam Seno
Salah satu karya sastra yang membicarakan Soeharto dengan bagus dan kuat pada masa kejayaan penguasa Orde Baru itu mungkin adalah cerpen Paman Gober (Republika, 30-10-1994) karya Seno Gumira Adjidarma. Cerpen yang dibacakan Butet Kertaradjasa pada acara Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang salah satu karya terbaik Seno yang termaktub dalam kumpulan Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Ia seperti memprediksi realitas Soeharto lebih satu dekade kemudian. Ketika penguasa 32 tahun itu mengalami sakratulmaut di rumah sakit.
Memang tak cuma Seno yang mengangkat Soeharto ke dalam karya-karya fiksinya. Setidaknya ada 17 cerpen yang dianggap membicarakan Soeharto, dalam ungkapan yang bermacam dan dibukukan oleh M Shoim Anwar (Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001). Ada tersebut antara lain Menembak Banteng (F Rahardi); Diam (Moes Loindong); Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil); Saran ”Groot Majoor” Prakosa (YB Mangunwijaya); Bukan Titisan Semar (Bonari Nabonenar); Kaki Druhun (Bonari Nabonenar); ”Masuklah ke Telingaku, Ayah” (Triyanto Triwikromo).
Lalu, juga ada Monolog Kesunyian (Indra Tranggono); Celeng (Agus Noor); Senotaphium (Agus Noor); Gadis Kecil dan Mahkota Raja (Sunaryono Basuki Ks); Menari di Atas Mayat (Indra Tranggono); Negeri Angin (M Fudoli Zaini); Putri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Joni Ariadinata); serta Orang Besar (Jujur Prananto). Tapi, di luar itu, masih cukup banyak cerpen atau karya sastra lain yang tersebar dan diterbitkan dalam berbagai media dan mengangkat figur Soeharto di dalamnya.
Pada sejumlah karya itu, kita mungkin dapat menangkap bagaimana masyarakat—yang diwakili pengarangnya—melihat dan mengapresiasi sebuah sosok yang bernama Soeharto. Dengan itu pula, barangkali kita juga bisa menengarai bentuk kekuasaan macam apa sebenarnya yang telah digagas dan dipraktikkan oleh Jenderal yang Tersenyum itu. Namun, apa pun, semua itu akhirnya hanyalah ”tanda”, di mana setiap orang bebas membaca, menafsirkan atau menarik signifikansinya. Entah sebagai ironi, satir, tragedi, peringatan, dan pelajaran, tetapi jelas, ia akan berguna bagi mereka, ”bagi orang orang-orang yang berpikir”. Andakah juga? []
Fadlillah Malin Sutan Kayo Dosen dan Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang. Tinggal di Kampuang Batima, Nagari Soengai Jamboe
HUMANIORA Kompas Cetak Kamis, 6 Maret 2008
0 urun rembug:
Post a Comment