Tuesday 18 March 2008

Hotspotisasi, Kantor pun Jadi Game Zone

Bonari Nabonenar

Proyek Taman Bungkul agaknya telah mengilhami kota-kota lain di Jawa Timur dalam hal hotspotisasi (penyediaan area akses internet nirkabel), seperti Malang, Tulungagung, dan Madiun. Proyek hotspotisasi itu disebut-sebut sebagai sebentuk kepedulian pemerintah agar warganya melek teknologi. Tetapi, kalau sudah bicara soal urgensi, nanti dulu!

Tulisan ini dirangsang oleh dua berita yang menggelitik pikiran saya. Yakni, berita tentang sudut baca di Stasiun Gubeng (Metropolis, Kamis, 28/2) dan berita Rp 3,5 M untuk Proyek Internet (Metropolis, Jumat 7/3). Keduanya proyek yang didanai Pemkot Surabaya dan sama-sama untuk mencerdaskan bangsa. Alangkah bagusnya jika sudut baca itu tidak hanya ada di Stasiun Gubeng, melainkan juga di Stasiun Pasar Turi, Terminal Purabaya, Taman Budaya (UPTD Pemprov Jatim), Taman Bungkul, dan Taman Hapsari, misalnya. Apalagi kalau bisa menarik para donatur, tentu biaya operasionalnya tak sebanyak yang diperlukan untuk hotspotisasi. Yang lebih penting lagi, kemanfaatannya bisa langsung dirasakan sebagian warga masyarakat yang "benar-benar memerlukan" atau mesti dipandang sebagai memerlukan bahan-bahan bacaan gratis sebagai makanan batiniah mereka sekaligus sebagai pengisi waktu saat menunggu keberangkatan kereta (dalam konteks Stasiun Gubeng) atau menunggu jemputan.

Hotspotisasi sekilas memang terasa wah, gagah, dan tentu saja sensasional. Di Surabaya, seperti saya lihat di situs detik.com, ratusan hotspot tersebar di wilayah perkantoran, perusahaan, ruang publik, dan lain-lain. Ada yang mesti pakai voucher untuk menikmatinya, ada juga yang gratis. Hotspotisasi yang difasilitasi perusahaan/sponsor (di luar anggaran daerah/kota/kabupaten), baik yang bisa diakses secara gratis maupun yang harus menggunakan voucher, kita sisihkan dari pembicaraan ini. Yang menurut saya masih terasa berlebihan adalah bila pengadaan hotspot itu memakai uang belanja negara/kabupaten/kota. Apalagi angkanya sampai miliaran. Kita perlu mempertanyakan efektivitasnya.

Sebelum jauh, sebaiknya kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, berapa sih pegawai yang benar-benar memerlukan akses internet sepanjang jam kerja? Ini penting. Sebab ketika kita memberikan lebih dari yang diperlukan, yang akan terjadi kemudian adalah penyalahgunaan. Jangankan akses internet, kelebihan komputer saja bisa-bisa mengubah sebuah kantor pemerintah menjadi digital game zone kok.

Apakah ada jaminan keamanan di tempat-tempat terbuka seperti Taman Bungkul, alun-alun kota/kabupaten yang benar-benar bisa diandalkan sehingga para pemilik laptop tidak perlu khawatir terhadap upaya perampasan dan semacamnya?

Apakah akses gratis itu cukup kecepatannya sehingga orang yang benar-benar memerlukan tidak lebih memilih sewa di warnet daripada dapat gratis tetapi aksesnya lelet (sangat lambat)? Siapakah sesungguhnya yang paling diharapkan dapat memanfaatkan hotspot itu? Para pebisnis dan orang-orang profesionalkah? Para pelajar dan mahasiswakah? Atau masyarakat umum yang kurang mampu mengakses internet secara pribadi dari rumah?

Para pebisnis dan profesional biasanya sudah bisa mengirim email, mengunduh atau menanam file/data, bahkan menerima dan mengirim faksimile menggunakan fasilitas telepon genggam. Para pelajar dan mahasiswa sebagian besar lebih suka ke warnet (karena tidak memiliki laptop yang bisa dibawa ke mana-mana), lebih-lebih masyarakat umum cenderung pergi ke warnet.

Jadi, mana sesungguhnya yang lebih perlu sekarang, memperluas jaringan internet nirkabel ataukah menyediakan taman bacaan seperti di sudut Stasiun Gubeng itu? Dalam hal ini, saya ingin menegaskan kembali pernyataan pakar folklor Universitas Jember Dr Ayu Sutarto bahwa masyarakat kita telah melakukan lompatan budaya dari kelisanan tahap pertama (budaya tutur) ke kelisanan tahap kedua (dengan fasilitas media audiovisual semacam TV, MP3, MP4). Maka, kalau kita tergesa-gesa mencekokkan fasilitas internet kepada masyarakat (termasuk para pegawai kantor), sangat mungkin yang akan terjadi adalah berubahnya suasana kantor menjadi semacam home cinema atau game zone.

Internet memang sarana paling ampuh untuk kemajuan di bidang informasi. Ia ibarat senjata, semacam cupumanik astagina dalam lakon Ramayana episode Dewi Anjani (bersama kedua saudara laki-lakinya, Sugriwa dan Subali) menjadi kera. Maka, kita mesti hati-hati menggunakannya agar tidak berkembang menjadi bangsa munyuk (kera) atau bahkan maaf jadi asu (anjing), seperti dalam cerpen saya Asuanimalenium yang pernah dimuat koran ini delapan tahun silam. Atau setidaknya, jangan sampai fasilitas internet untuk para pegawai itu bukan malah mencerdaskan mereka, melainkan membuat mereka jadi para koruptor waktu: untuk chatting, dolanan (game), atau melakukan bisnis pribadi, mengingat sekarang sedang marak bisnis berbasis internet. []

dari Halaman Metropolis Jawa Pos

0 urun rembug: