Cerpen Bonari Nabonenar
Tarmi hamil, dan orang-orang ribut. Ribut. Mungkin itulah memang pekerjaan kesukaan orang-orang kurang pekerjaan. Lha, wong Tarmi itu wanita, punya suami, suaminya itu ya lanang tenan, alias benar-benar laki-laki. Laki-laki asli, laki-laki tulen. Jika lalu hamil itu kan ya lumrah. Wajar. Kok diributkan. Marbi, suami Tarmi itu, sebagai laki-laki memamng benar-benar thok-cer, lho. Menikah dapat delapan bulan, usia bayi dalam kandungan isterinya juga delapan bulan. Persis! Tanpa ancang-ancang!
Tetapi bukan soal itu pula yang menjadi sumber keributan sekitar kehamilan Tarmi. Adalah teka-teki: laki-laki atau perempuankah jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan Tarmi nanti, itulah yang mereka ributkan. Itulah yang bikin heboh. Orang-orang sibuk menebak. Dan tak sedikit pula yang bertaruh, mempertaruhkan barang, uang, atau apapun yang dapat diterima sebagai taruhan, dari yang bernada amat-sangat serius sampai dengan yang bernada kelakar; asal ikut-ikutan bertaruh, ikut-ikutan bikin heboh!
’’Aku yakin Tarmi akan melahirkan bayi laki-laki. Jika sampai tebakanku ini meleset, aku akan menghadiri acara syukuran kelahiran itu hanya dengan menganakan kaos oblong dan celana kolor!’’ kata Sarmin berapi-api sekali.
’’Aku bahkan tidak akan mengenakan apa-apa!’’ timpal Ndemun tak kalah semangat.
’’Di mana, haa??’’
’’Ya, di kamar mandi!’’
’’Wow.....!!’’
Ada radio yang dipertaruhkan, ada televisi, kambing, sapi, bahkan kerbau. Lebih heboh lagi, pertaruhan itu benar-benar telah menjadi mode di Desa Parangsilang. Bukan hanya mereka yang cukup umur saja yang demam bertaruh, tetapi juga para remaja, dan bahkan anak-anak!
Banyak orang harus bersusah-susah mengamati langkah Tarmi ketika berjalan, bertanya kepada orang-orang yang mereka anggap dekat dengan Tarmi, bagaimana kebiasaan Tarmi, apakah kini menjadi lebih gemar bersolek atau sebaliknya, hanya untuk meyakinkan tebakan mereka. Bahkan aku ini juga mereka anggap sebagai alamat yang tepat untuk pertanyaan demikian itu.
Tarmi sendiri, yang sesungguhnya tak lain dan tak bukan adalah bakal calon kakak iparku, rupanya juga sudah bulat dengan ramalan, tebakan, atau dugaan, atau apa sajalah istilahnya, bahwa bayi yang kini sedang dikandungnya akan lahir sebagai laki-laki. Marbi, suami Tarmi, demikian juga. Mungkin mereka telah terkena pengaruh Mbah Markijan, orang pintar, orang tua dan yang dituakan di Desa Parangsilang. "Percayalah, laki-laki!" kata Mbah Markijan.
’’Percaya betul sesungguhnya ya tidak, Dik. Tidak boleh begitu, kan?” kata (bakal calon: Mbak) Tarmi kepadaku. “Tetapi bagaimana lagi, ya? Aku tak bisa mengelakkan keinginan memiliki anak laki-laki. Maka jangan dikatakan ndhisiki kersa, Dik! Sesungguhnya tebakanku ini adalah bentuk lain dari doa.’’
’’Sudah berapa bulankah, Mbak?’’
Dapat pertanyaan begitu, dia tidak secara spontan memberikan jawabannya. Seperti harus mengingat-ingat dahulu, menghitung-hitung.
’’Mmm, tujuh, Dik. Tujuh jalan ini.’’
’’Mengapa tidak diperiksakan ke kota saja? Dengan USG, kan sudah dapat pula diketahui jenis kelaminnya sekarang.’’
’’Oh, tidak. Yang penting semua baik-baik. Biar tidak hilang kejutannya. Jika dipastikan sekarang, jangan-jangan justru akan mengacaukan pertaruhan itu. Hm. Terus terang, Dik, kami merasa tersanjung oleh semangat pertaruhan mereka itu.’’
’’O. begitu.’’
’’Ya, begitulah.’’
Pada suatu hari, aku disuruh ibu menemui Mbah Markijan untuk menanyakan hari yang dianggap paling baik untuk menanam padi.
’’Sebenarnya sudah kulihat di primbon. Ya, biar lebih mantap. Dan jangan lupa, jika lebih dari sepuluh hari lagi, benihnya sudah akan kadaluwarsa,’’ kata ibu.
Kebetulan. Ini kesempatan baik. Aku akan menanyakannya kepada Mbah Markijan, siapa tahu bahkan aku bisa tahu pula teknik memastikan prakiraan jenis kelamin janin yang masih ada dalam kandungan seperti yang dilakukan Mbah Markijan.
’’Ya, semua itu hanya berdasarkan ilmu warisan nenek moyang dahulu. Barangkalai dasarnya juga hanya ketekunan mengamati kejadian demi kejadian, membaca keadaan. Lalu jadilah teori itu. Yang dipakai sebagai landasan adalah hitungan hari kelahiran bakal ayah dan ibu si bakal bayi yang akan lahir. Cara menghitungnya, ya, sederhana saja, kamu nanti bisa menyaksikannya sendiri.’’
’’Sejauh mana, Mbah, ketepatan prakiraan itu?’’
’’Namanya juga tebakan. Tidak harus tepat, kan? Hanya saja, sejauh yang kualami dan kuingat, lebih banyak dan lebih sering benar daripada salahnya.’’
’’O, begitu, ya, Mbah? Kalau begitu tentu banyak di antara mereka yang bertaruh itu datang ke sini?’’
’’Banyak juga. Bahkan ada yang ingin bisa menghitungnya sendiri. Tapi jangan salah paham, ini bukan ilmu untuk bertaruh. Semua ilmu itu kan tujuannya keselamatan. Dalam hal ini, ya semoga selamatlah bayi yang akan dilahirkan, selamatlah pula pasangan suami-isteri yang akan segera menjadi ibu dan ayah. Maka, jika ada bayi yang lahir dengan jenis kelamin menyimpang dari hitungan ini, ya sebaiknya di-ruwat.’’
’’Jadi, harus menggelar pertunjukan wayang kulit, Mbah?’’
’’Tidak. Itu tidak termasuk sukerta yang harus di-ruwat dengan pertunjukan wayang kulit. Cukup dengan selamatan, mengundang tetangga, dan si jabangbayi itu –tentu harus sudah diberi nama— diserahkan kepada siapa situ, ke mertua, atau ke kakak, terserahlah, asal diserahkan, misalnya dengan kalimat begini: Budi ini sandang dan pangannya kami yang mengusahakan, Bu, tetapi dia adalah anak Ibu. Begitu kalau diserahkan ke ibu, atau ke mbah putri-nya si jabangbayi.’’
’’O, begitu, ya, Mbah?”
’’Ya, tapi itu juga bukan harga mati. Namanya kan kepercayaan. Jika percaya ya silakan, kalau tidak percaya ya tak mengapa.’’
Sudah dapat diduga, suasana kelahiran anak Tarmi mirip-mirip dengan suasana penarikan undian SDSB. Orang-orang makin ribut. Yang tepat menebak ribut, yang luput tebakannya juga tak kalah ribut. Bahkan ada pula yang nyaris bertengkar karena salah satu pihak menganggap pihak lainnya mengingkari perjanjian taruhan.
Tarmi melahirkan bayi perempuan!
’’Wah, sekarang Mbah Markijan sudah tak sakti lagi!’’
’’Ya. Benar. Suruh saja dia lengser dari kedudukannya sebagai dukun!”
’’Wah. Kalau raja lengser masih bisa jadi pendeta, terus kalau lengser dari dukun, mau jadi apa lagi?’’
’’Mbah Markijan sendiri tak kalah kagetnya menerima berita kelahiran anak Tarmi itu.
’’Sudah lahir? Bukankah masih delapan bulan jalan ini? Ya, yang penting semuanya baik-baik. Semua selamat.’’
Setelah meledek bakal calon isteriku –karena tadinya dia ikut-ikutan kakaknya, bersikukuh mengira bahwa calon keponakannya akan lahir laki-laki— aku mencoba mengorek keterangan.
’’Nik, aku akan bertanya, tapi jangan rame-rame ya? Boleh, ya?’’
’’Ayo, tanya apa?’’
’’Mbak Tarmi itu hamil hanya delapan bulan, ya?’’
’’Mmm, iya, barangkali. Ada apa? O, iya! Iya, ya, yaaa..!!!!!!’’
’’Iya…. Apa?’’
’’Sudahlah!’’
’’Lho!’’
’’Sampean punya dugaan Mbak Tarmi sudah hamil sebelum menikah?’’
’’Hm. Bagaimana, ya? Tapi bukan itu yang penting. Seumpama, ya, mm, ini hanya seumpama saja, lho. Seumpamanya benar demikian, berarti bukan Mbah Markijan yang oleh orang-orang dikatakan sudah tidak sakti lagi itu yang salah. Mbah Markijan dengan teorinya meramalkan bahwa anak sulung Mbak Tarmi akan lahir laki-laki. Padahal, jika Mbak Tarmi sudah hamil sebelum menikah, itu berarti bukan anak sulung, tetapi pra-sulung. Alias sebelum sulung!’’
’’Begitukah? Ya, ya. Mas, sampean kuberitahu, tapi jangan rame-rame pula, ya? Jadikan ini rahasia kita saja. Ya?”
’’Ya. Apa?’’
’’Janji?’’
’’Janji!’’
’’…………’’
’’Apa?’’
’’Barangkali, yang lahir sekarang itu bahkan anak nomor tiga atau empat!’’
’’Haaaaaa……?????’’
’’Sampean sudah janji, lho!’’
Tak tahulah, sampai bisa bicara begitu itu, dari mana Nunik dapat berita. Aku tak berani lagi mempertanyakannya. Mungkin itu hanya keyakinan Nunik saja. Atau, bisa juga, Tarmi pernah berterus-terang kepadanya.
Orang-orang masih ramai memperbincangkan kekalahan atau kemenangan mereka dalam pertaruhan. Entahlah, di antara mereka ada yang punya angan-angan melantur seperti angan-angan saya atukah tidak. Aku sendiri tadinya juga tak punya angan-angan seperti ini. Setelah diusik oleh kata-kata Nunik itulah baru jadi sebegini melantur, sampai-sampai aku jadi takut terhadap pikiran serta angan-anganku sendiri. Coba, sekarang pikiranku sedang berputar-putar begini: Mbah Markijan pernah mengatakan bahwa menurut ’hitungan’-nya, bayi pertama yang akan lahir dari pasangan Tarmi dan Marbi adalah bayi laki-laki. Ternyata yang kemudian lahir adalah bayi perempuan. Siapa yang salah? Mbah Markijan akan tetap dianggap salahkah jika sesungguhnya yang lahir dari rahim Tarmi itu bukanlah bayi pertama mereka? Lalu, seandainya pun itu adalah benar anak sulung, masih disalahkan jugakah Mbah Markijan, jika pada hakekatnya bayi itu lahir dari pasangan Tarmi dengan selain Marbi, misalnya?
Hah! Setelah lelah berbelit-belit dengan pikiran dan angan-angan sendiri, akhirnya kuteriakkan dalam batin, kepada diri sendiri: “Pokoknya semua tidak beres!” Dan aku benar-benar ingin tidur, walaupun sesungguhnya belum benar-benar mengantuk. Tetapi aku sudah jadi sedikit lega. Setidaknya sudah tahu pula apa yang mula-mula akan kulakukan esok, yaitu menemui Mbah Markijan dan mengajukan pertanyaan: “Presiden kita nanti laki-laki ataukah perempuan, Mbah?”*
Surabaya, 1999
0 urun rembug:
Post a Comment