Monday, 3 March 2008

Menyoal Cara Pandang Birokrat Kesenian

Seorang ketua panitia sebuah pertunjukan kesenian --proyek sebuah institusi kesenian-- merasa bangga, merasa sukses besar, karena pertunjukan gratis itu dibanjiri penonton. Biasanya, memang, digratiskan pun pertunjukan kesenian, kecuali kesenian popular, cenderung sepi penonton. Pada tataran tertentu, Si Ketua Panitia itu memang tidak salah. Persoalan baru timbul tatkala pemakaian jumlah penonton sebagai ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan kesenian itu menjadi kecenderungan. Itu yang telah dan sedang terjadi. Ada apa sebenarnya dengan para birokrat kesenian kita di Surabaya/Jawa Timur?

Ini bukan pembicaraan tentang kesenian pop yang tanpa campur tangan pemerintah pun sudah berkembang sesuai dengan hukum pasar. Ini pembicaraan tentang jenis kesenian yang cenderung terpinggirkan, ditinggalkan pasar, karena terlalu tradisional atau bahkan juga terlalu eksperimental. Sebuah event organizer biasanya menyelenggarakan pertunjukan kesenian popular berkat dukungan sponsor, perusahaan makanan atau minuman, dan menilai keberhasilannya dari kemampuannya menyedot orang, penonton. Satu-satunya instansi pemerintah yang ’’boleh’’ memakai ukuran keberhasilan seperti itu adalah Dinas Pariwisata. Tetapi, jika institusi itu bernama Taman Budaya atau Subdin Kebudayaan, selayaknya menentukan sendiri parameter itu berdasarkan misi, visi, dan konsep kesenian/kebudayaan yang diembannya.

Jadi fatal jika sebuah institusi kesenian yang dibentuk dan didanai pemerintah [dengan uang rakyat] merasa sukses menjalankan tugasnya jika dapat menggalang massa dengan menampilkan artis ngetop, selebriti, penyanyi terkenal, bintang sinetron. Jika seperti itu halnya, apa bedanya dengan event organizer biasa?

Kesenian tradisional seharusnya lebih mendapatkan perhatian sama halnya dengan kesenian kontemporer yang bersifat eksperimental, terlebih yang menggali ruhnya dari kesenian tradisional. Dengan mental birokrat kesenian yang selalu kemrungsung untuk menarik sebanyak-banyaknya penonton itu, kita bisa memahami, mengapa di Jawa Timur, terutama di Surabaya, tidak muncul potensi-potensi seperti yang dapat kita lihat pada kelompok Sahita (Tari, Solo), Anane (Musik, Jogjakarta), DMB 2000 (Ketoprak Multimedia, Jogjakarta). Kita lalu juga memahami mengapa seorang Bawong Suatmadji Nitiberi seperti kehabisan nafas untuk meneruskan kreasi besutan-nya (menggarap lakon, teater, dengan menggali ruh teater rakyat, besutan, yang juga merupakan cikal-bakal ludruk.)

Taman Budaya Jawa Timur telah beberapa kali menampilkan seniman potensial, Subiantoro, seorang karyawan Dinas Infokom Jatim, dalang kentrung yang juga potensial di bidang musik. Kini Jawa Timur telah memetik prestise dari penampilan seorang Toro di ’’luar kandang’’, termasuk di luar negeri.

Salah satu tugas terpenting lembaga seperti Taman Budaya adalah ’’menemukan’’ toro-toro berikutnya, menemukan bawong-bawong berikutnya, dan tidak sekedar jadi tukang nanggap seniman luar kota atau luar pulau, atau luar negeri. Bukan berarti nanggap seniman ’’luar’’ itu tidak penting. Bahkan, itu sangat perlu untuk meningkatkan apresiasi, sebagai bahan perbandingan, dan menjalin persahabatan, termasuk membangun jaringan antarseniman, bukannya untuk gagah-gagahan, untuk berbanggaria ketika tempat parkir pun penuh saking banyaknya penonton.

Diakui atau tidak, sekarang ini para seniman Jawa Timur sedang mengalami semacam kegelisahan ekisistensial. Indra Tranggono yang pernah ikut membesarkan Teater Gandrik (Jogjakarta) pun mengakui bahwa pada tahun 70-an para seniman teater Jogjakarta berkiblat ke Surabaya. Sekarang, jika ingin menonton teater yang bagus, oh, maaf, yang karcisnya mahal, orang Surabaya mesti mencari-cari ke Jogjakarta, Bandung, atau Jakarta.

Di bidang seni tradisional, pada Zaman Ki Siswondo HS kita bisa membanggakan Ketoprak Siswo Budoyo. Ketoprak Mataram (Jogjakarta) pun kalah pamor dengan Ketoprak Siswo Budoyo, ketika itu. Sekarang, Siswo Budoyo adalah lagu pilu. Jawa Timur juga memiliki ludruk yang tak ada duanya di dunia ini. Sebagai seni tradisional, di habitatnya, ludruk masih menunjukkan vitalitasnya, seperti yang dapat kita lihat pada Ludruk Karya Budaya (Mojokerto) yang bisa sebulan penuh tak ada hari kosong tanpa pentas itu. Seperti disinggung tadi, seorang Bawong Suatmadji Nitiberi pun sudah mencoba mentransformasikan ruh ludruk ke dalam bentuk teater dengan semangat ’’baru’’, yang, sayangnya tidak bernafas panjang, antara lain karena potensi itu tampaknya gagal ditangkap dengan baik oleh birokrat kesenian.

Cara pandang para birokrat kesenian (yang menilai keberhasilan sebuah pertunjukan seni terutama dari kemampuannya menyedot penonton) itu seyogyanya segera disadari dan kemudian diubah, sebelum menjadi virus yang diam-diam menghancurkan. Boleh disebut virus, karena penyebarannya sudah bisa terlihat pada beberapa seniman yang tampak lebih suka membuat sensasi, menggalang massa, misalnya dengan menjadi ’’seniman’’ dan sekaligus event organizer partai politik. Tetapi, apa boleh buat, jika justru itulah kelebihan Surabaya dan Jawa Timur dibandingkan kota dan provinsi lainnya di Indonesia ini? []

1 urun rembug:

seni, seni, seni, bikin aku kegi, dan orang-orang datang dan pergi. Lari dan sembunyi. Mencuri dan mengomentari.....