Jakarta, Sinar Harapan
Berbagai peristiwa di dunia kesusasteraan tak harus dibahas dalam diskusi atau perbincangan biasa. Seperti yang terjadi pada jagat sastra Jawa. Setelah bertahun-tahun hadiah sastra Rancage disepakati begitu saja oleh publik, kini pembahasan pada pemenang sastra Jawa selama tujuh tahun belakangan harus dilakukan melalui sebuah forum pengadilan.
Teringat pada peristiwa pengadilan di dunia kesusasteraan Indonesia pada masa lalu, pengadilan ini seakan mengulangi efektifnya sebuah pengadilan para seniman khususnya sastrawan. Ada hakim, jaksa bahkan saksi yang memberatkan dan saksi yang meringankan.
Pada momen itu yang diajukan ke pengadilan sebagai ”terdakwa” itu adalah tujuh orang sastrawan Jawa yang pernah menerima Hadiah Sastra Rancage bagi Pengarang dan Penyair Sastra Jawa Tahun 1994-2001. Bonari Nabobenar, salah seorang hakim dalam pengadilan tersebut, mengatakan enam ”terdakwa” di antaranya berasal dari Jawa Timur. Masing-masing adalah FC Pamudji (novel Sumpahmu Sumpahku, 1994), Satim Kadaryono (novel Timbreng, 1996), Esmiet (novel Nalika Langite Obah, 1998), Suharmono Kasiyun (novel Pupus Kang Pepes, 1999), Widodo Basuki (kumpulan guritan Layang Saka Paran, 2000)) dan Djayus Pete (kumpulan cerita cekak Kreteg Emas Jurang Gupit, 2001). Satu orang lainnya adalah Djaimin K (kumpulan guritan Siter Gadhing, 1997) yang berasal dari Yogyakarta.
Menurutnya, yang terjadi nanti adalah betul-betul pengadilan. Hanya, bidangnya adalah kesenian. Tujuannya sama dengan pengadilan umum, mencari keadilan. Ada ketidakadilan dalam penerimaan Rancage. ”Misalnya, sebagian besar penerimanya berasal dari Jawa Timur sedangkan Jawa Tengah belum pernah ada,” kata Bonari.
Bonari yang juga Humas Panitia Penerimaan Hadiah Rancage 2002 itu menjelaskan, kenyataan tersebut menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, terutama pengarang dan penyair yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Persoalan lain yang akan mengemuka dalam pengadilan di kompleks Taman Budaya Jatim (TBJ) untuk pembacaan putusan itu adalah penjurian tunggal (berturut-turut Suripan Haditomo dan Muryalelana, keduanya sudah Almarhum) untuk menentukan sastrawan atau tokoh sehingga dicurigai bernuansa KN (kolusi dan nepotisme).
”Sedangkan untuk penjurian hingga lebih dari satu orang memang sangat berat dari segi pembiayaan. Kegiatan ini juga akan memancing perhatian berbagai pihak akan kesusasteraan Jawa. Jadi semacam pasemon (sindiran, red). Satu event pengadilan, beberapa tujuan bisa tercapai,” ujarnya kepada SH.
Menurut Bonari, dari pengadilan tersebut diharapkan juga melahirkan kedewasaan berpikir pengarang dan penyair sastra Jawa, penilaian buku karya sastra secara transparan dan merangsang kreativitas dalam penciptaan karya sastra.
Pengadilan tersebut menghadirkan Hakim Ketua Rama Sudiyatmana dari Semarang, Hakim Anggota Daniel Tito (Sragen), Bonari Nabonenar (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto) dan A Nugroho (Yogyakarta). Jaksa terdiri atas Bagus Putu Parto dari Blitar sebagai Ketua dengan anggota, Suwardi Endraswara (Yogyakarta), Triyanto Triwikromo (Semarang), Yunani Prawiranegara (Gresik) dan Budi Palopo (Gresik).
”Sebagai saksi meringankan adalah Tjahjono Widarmanto (Ngawi), Herry Lamongan (Lamongan), Es Danar Pangeran (Lamongan) dan Irul Budianto (Solo). Sementara saksi memberatkan adalah Yunani Sri Wahyuni (Surabaya), Sunarko Sodrun Budiman (Tulungagung) dan Sri Widati Pradopo (Yogyakarta),” ujarnya.
Acara tersebut diikuti sekitar 80 pengarang dan penyair sastra Jawa modern dari berbagai penjuru tanah air, khususnya dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Selain itu juga dihadiri pemerhati sastra Jawa, para ahli sastra Jawa, dan peneliti sastra Jawa.
Terpuruk
Agenda Pengadilan Sastra Jawa ini sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan yang dilaksanakan sebagai persiapan menjelang Kongres 2003 mendatang. Berbagai event diadakan, antara lain mulai tanggal 29 Agustus 2002, dilaksanakan seminar dengan tema ”Membangun Kembali Citra Budaya Jawa” di Graha Pena, Jl. A Yani 88, Surabaya. Pembicaranya adalah Arswendo Atmowiloto (Jakarta), Dr. Damardjati Supadjar (Yogyakarta), Drs. Darmanto Jatman, S.U. (Semarang), dan Dr. Sindhunata (Yogyakarta).
Acara menarik lainnya pada Pekan Budaya Jawa yang akan dihadiri seniman, budayawan, dan cendekiawan Jawa sekitar 300 orang ini, adalah penyerahan Hadiah Rancage untuk Sastra Sunda, Jawa, dan Bali, Peresmian Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadihutomo, dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Daerah, di Kantor Pusat Unesa, Kampus Ketintang, Surabaya (Sabtu, 31 Agustus 2002).
”Fenomena kegiatan menjelang Kongres Sastra Jawa 2003 antara lain terpuruknya citra kebudayaan Jawa pada era reformasi karena kegagalan rezim Orde Baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Disintegrasi bangsa seakan-akan menjadi ‘bom waktu’ yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Konon kebudayaan Jawa yang adiluhung dituduh sebagai factor penyebab layak untuk dipertanyakan, direkonstruksi dan didekonstruksi.
Sistem kekuasaan Jawa, filsafat Jawa, psikologi Jawa, dan kesenian Jawa menjadi topik yang tak henti-hentinya menarik untuk dikupas habis guna membangun kembali citra kebudayaan Jawa,” demikian dasar pemikiran tercetak pada leaflet yang disebarkan panitia.
Ketika ditanya apakah acara Pengadilan Sastra Jawa nanti itu hanya akan jadi semacam sensasi, Dr. Setya Yuwono Sudikan, Ketua Panitia Pekan Budaya menegaskan bahwa acara itu memang sangat mendesak untuk digelar.
Menurutnya, benang kusut di balik penjurian hadiah sastra ”Rancage” (untuik sastra Jawa) yang ditengarai bernuansa KN (Kolusi dan Nepotisme) patut untuk diurai, sebab ada penerima yang dipandang belum waktunya.
Yuwono juga adalah dosen yang rajin menulis, tapi belakangan ini mengaku jera dalam menulis kritik sastra Jawa. ”Saya merasa sudah cukup banyak memakan korban. Beberapa penggurit (penyair Jawa) patah di tengah jalan hanya gara-gara kritik saya,” ujarnya dalam nada sesal.
Seperti kongres sebelumnya yang tidak terlihat hasil lanjutan, menurut Bonari, momen pra-kongres berupa pengadilan ini, diharapkan juga akan mengundang banyak pihak untuk mau memperhatikan kondisi kesusasteraan Jawa di masa mendatang. Semoga. (srs)
Copyright © Sinar Harapan 2002
Sinar Harapan, Senin, 26 Agustus 2002
0 urun rembug:
Post a Comment