Semarang: Rupanya, eksistensi budaya Jawa makin mengkhawatirkan keadaannya, sehingga dua buah kongres perlu digelar untuk mengembalikan kejayaannya. Kongres pertama, Kongres Sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo, 6-7 Juli lalu. Meski belum bisa menelorkan hasil-hasil yang lebih kongkret, 80 sastrawan Jawa yang hadir nampak cukup puas.
Kongres kedua, Kongres Bahasa Jawa Ke-3 (KBJ), akan digelar di jantung peradaban Jawa, Yogyakarta, 15-21 Juli. Ada keinginan besar dari KBJ untuk melestarikan bahasa dan kebudayaan Jawa. Ketua Badan Pekerja KBJ, Soetomo SE, kepada wartawan di Semarang, Selasa (10/7), menyatakan keprihatinannya atas banyaknya orang Jawa, terutama remaja, yang tidak lagi menguasai bahasa Jawa dengan baik.
Menurut Soetomo, salah satu penyebab utamanya adalah karena pemerintah tidak lagi memasukkan pendidikan bahasa Jawa ke dalam kurikulum pendidikan sejak 1975. "Sepuluh tahun kemudian, barulah terasa, kenapa para pemuda tidak dapat menguasai bahasa dan tatakrama Jawa. Ini sungguh menyedihkan," kata Soetomo.
Salah satu agenda kongres adalah membahas usulan pembuatan peraturan daerah bagi propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta yang menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dari TK sampai SD kelas III. Kongres yang diikuti pengamat dan peminat bahada dan kebudayaan Jawa dari dalam dan luar negeri ini bersifat terbuka, sehingga masyarakat boleh menghadirinya.
Pelaksanaan KBJ ini dikritik peserta KSJ, yang disebut sebagai kongres tandingan KBJ. Mereka menilai KBJ tidak memberikan porsi yang proporsional bagi keberadaan sastra Jawa modern. "KSJ merupakan peristiwa penting karena nyaris tidak ada pengarang sastra Jawa yang diundang dalam KBJ," kata Bonari Nabonenar, panitia KSJ.
Suparto Brata dan Esmiet yang memenangkan Hadiah Rancage 2001, anugerah tertinggi bagi pengarang sastra Jawa, tidak diundang panitia KBJ. "Di samping itu, yang lebih memprihatinkan, porsi sastra Jawa modern sangat kecil dalam forum KBJ," lanjut Bonari.
KSJ kemudian menjadi tempat para sastrawan Jawa berkeluh kesah soal sastra Jawa yang terus terpinggirkan. Peserta kongres sepakat mengupayakan sastra Jawa bisa masuk ke sekolah-sekolah. "Bukan hanya memasukkan materi sastranya, tapi sebisa mungkin juga melibatkan para sastrawan dalam proses belajarnya," kata Daniel Tito, Ketua Panitia KSJ.
Kongres melahirkan pula beberapa keputusan, termasuk rencana pertemuan sastrawan Jawa secara berkala, penerbitan media alternatif, dan buku-buku sastra Jawa. Soal media, jumlah media berbahasa Jawa kini tinggal tiga: Jaya Baya dan Panjebar Semangat yang terbit di Surabaya dan Djaka Lodang di Jogjakarta. Ketiganya hidup kembang kempis. Bahkan, Jaya Baya kabarnya perlu ditopang Grup Jawa Pos untuk meneruskan nafasnya. KSJ berniat menambah satu media lagi. "Namanya Sekar, setelah ini akan segera kita rintis," kata Daniel.
Yang juga menjadi kritikan para pengamat sastra adalah belum konsistennya para sastrawan Jawa yang banyak bermunculan. "Bibit-bibit baru memang bermunculan, namun konsistensinya patut dipertanyakan," kata Dr. Setya Yuwana Sudikun, pengajar Universitas Negeri Surabaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa sastra Jawa hanya dijadikan batu loncatan untuk menuju pada profesi lain. Karena itulah, lanjut Setya, banyak sanggar-sanggar sastra Jawa yang tinggal papan nama dan kop suratnya saja.* asrul/sohirin
* Koran Tempo (on-line), 12 Jul 2001 13:5:40 WIB
0 urun rembug:
Post a Comment