Monday 28 January 2008

Sastrawan Jawa Gelar Kongres Sendiri

MERASA TIDAK DILIBATKAN DALAM KONGRES BAHASA JAWA

SOLO (KR)- Merasa tidak dilibatkan dalam Kongres Bahasa Jawa (KBJ) yang dijadwalkan berlangsung 15 hingga 21 Juli di Yogyakarta, para pengarang sastra Jawa menggelar kongres tersendiri. Dibuka Arswendo Atmowiloto, Kongres Sastra Jawa (KSJ) diagendakan berlangsung dua hari sejak Jumat (6/7) di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo (TBS), menghadirkan tokoh-tokoh sastra Jawa dari berbagai daerah, khususnya Jateng, DIY dan Jatim sebagai pembicara.


“Tapi KSJ ini bukan sebagai kongres tandingan, namun lebih sebagai media bagi sastrawan Jawa untuk saling berdialog membicarakan nasib sastra Jawa, karena kami yakin persoalan sastra Jawa akan memperoleh porsi kecil dalam KBJ di Yogya itu,” ujar Koordinator pelaksana KSJ, Daniel Tito, menjawab KR, di TBS saat upacara pembukaan KSJ, Jumat. Rasanya sulit diterima, tambahnya, sastrawan Jawa yang selama ini menjadi salah satu pilar pendukung kehidupan bahasa dan sastra Jawa, nyaris tidak dilibatkan dalam Kongres Bahasa Jawa, sehingga dirasa perlu sastrawan Jawa ini membuat forum tersendiri.

Pun penyelenggaraan KSJ kali ini, menurut Tito tidak lebih dari niatan spontan, sehingga soal pendanaan yang diperkirakan mencapai Rp 6 juta, mesti ditanggung secara gotong royong. Meski begitu, hal yang terpenting dalam KSJ kali ini adalah membuka wacana baru bagi pelaku sastra Jawa mengantisipasi nasib sastra Jawa yang kian tenggelam, terlebih setelah pendekar-pendekar sastra Jawa, seperti Poer Adi Prawoto, Tamsir AS, Suripan Sadi Hutomo dan sebagainya sudah meninggal dunia

Riil

Secara riil, ujar Dr Setyo Yuwono Sudikan saat menyampaikan presentasi dalam KSJ, kondisi Sastra Jawa modern saat ini sungguh telah terpinggirkan dan memprihatinkan. Hanya saja, dia merasa kurang yakin jika kekuatan kapitalis sebagai salah satu faktor peminggiran sastra Jawa menjadi segala-galanya.

“Kekuatan kaum tertindas apabila disatukan akan menjadi kekuatan luar biasa, sehingga para sastrawan Jawa perlu menyatukan langkah mengangkat sastra Jawa agar sejajar dengan sastra lain di dunia.

Hal itu bisa dicapai manakala dilakukan peningkatan produktivitas karya-karya terjemahan, misalnya karya sastra Jawa diterjemahkan dalam bahasa Ingris, Perancis, Jerman dan sebagainya dengan cara merangkul kaum intelektual yang selama ini duduk manis di perguruan tinggi atau pusat penelitian bahasa.

Selain itu, sastrawan Jawa mesti menghilangkan ketergantungan pada media massa sebagai wahana berekspresi, sebaliknya memperbanyak penerbitan karya dalam bentuk buku, bisa berupa kumpulan geguritan, novel, cerita cekak, dan sebagainya.

Kalaupun dalam hidup dan kehidupan sastra Jawa muncul hambatan bersifat politis, psikhologis, sosial dan ekonomi, mesti dilawan dengan cara halus. Bisa saja perlawanan dilakukan melalui gerakan bersifat politis, seperti halnya penyelenggaraan KSJ kali ini yang mungkin sebagai manivestasi dari ketidakpercayaan terhadap rutinitas dan kemapanan.* (Hut)-f

* Kedaulatan Rakyat, di-upload Sabtu, 07 Juli 2002

0 urun rembug: