TAHUN 2002 ini dua sastrawan Jawa, Djayus Pete (Bojonegoro) dan DR Sudi Yatmana yang biasa disapa Romo Sudi (Semarang), memperoleh hadiah Rancage dari Yayasan Rancage yang pada awalnya sebenarnya hanya menganugerahkan hadiah itu kepada sastrawan Sunda. Penyerahan hadiah itu kebetulan akan dilangsungkan di Kampus Pusat Unesa (Ketintang, Surabaya) akhir Agustus 2002 ini. Kita boleh menyambutnya dengan tepuk tangan. Tetapi, alangkah bagusnya jika sastra Jawa juga memiliki tradisi penganugerahan hadiahnya sendiri!
Banyak persoalan yang dihadapi sastra Jawa sekarang ini. Medianya, yang tentu saja adalah bahasa Jawa, membuat sastra Jawa sangat sempit wilayahnya bila dibandingkan dengan sastra Indonesia. Tetapi, mengapa sastra Sunda tumbuh lebih menggembirakan? Atau, setidaknya ada tradisi penganugerahan hadiah Rancage dari sastra Sunda, yang kemudian juga diberikan kepada sastrawan Jawa dan Bali.
Tradisi kritik sangat lemah dalam sastra Jawa. Barangkali, sedikit-banyak hal ini berkaitan dengan stereotip orang Jawa yang suka ewuh-pakewuh, serba sungkan. Kalau dikritik gampang naik darah, dan karena itu-sesuai prinsip tenggang rasa-enggan pula mengkritik.
Kesusastraan tanpa kritik, tentu tidak sehat. Dan sastra Jawa sekarang ini, memang tidak, atau sekurang-kurangnya, kurang sehat. Karena itu, jadi semacam surprise ketika suatu saat Widodo Basuki (penggurit/penyair), Djayus Pete (cerpenis), dan Poer Adhie Prawoto (cerpenis, penyair, kritikus, dan dokumentator) sastra Jawa, membacakan puisi dan cerpen mereka di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Jadi surprise, karena dalam sastra Jawa yang kurang sehat itu masih bisa lahir puisi-puisi Poer Adhie Prawoto, puisi-puisi Widodo Basuki, dan cerpen-cerpen Djayus Pete, yang secara kualitas bisa disejajarkan dengan puisi-puisi dan cerpen-cerpen berkualitas dalam sastra Indonesia.
Bahkan, pada peluncuran buku kumpulan crita cekak (cerpen berbahasa Jawa) Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djayus Pete-yang kemudian mendapatkan anugerah Rancage untuk kategori buku sastra Jawa 2002-Dr Dede Oetomo sempat melontarkan pernyataan bahwa cerpen-cerpen berbahasa Jawa Djayus itu bukan cuma pantas disejajarkan dengan cerpen-cerpen berbahasa Indonesia, melainkan juga dengan cerpen-cerpen dunia dewasa ini. Jadi, kita masih boleh memimpikan lahirnya karya-karya yang lebih hebat lagi dalam kazanah sastra Jawa, seandainya kehidupan sastra Jawa dibangun dengan tradisi yang sehat.
Rancage
Pemberian hadiah kepada pengarang berprestasi-yang boleh dianggap sebagai salah satu ujud kritik-juga berjalan tersendat-sendat. Memang ada hadiah Rancage yang diberikan tiap tahun. Jumlah uang yang menyertainya juga tergolong besar (tahun lalu Rp 5 juta untuk tiap-tiap kategori) bagi sastrawan Jawa. Sejauh ini belum ada hadiah diberikan kepada sastrawan Jawa yang nilainya mendekati hadiah Rancage itu! Bahkan, hadiah untuk juara lomba penulisan puisi atau cerpen berbahasa Jawa sering lebih kecil nilainya dibanding honor pemuatan di koran/ majalah untuk puisi atau cerpen berbahasa Indonesia. Setiap tahun, dua orang dari sastra Jawa berhak mendapatkan hadiah Rancage, masing-masing untuk kategori ketokohan dan pengarang buku terbaik.
Persoalannya, penerbitan buku dalam sastra Jawa modern belum menjadi tradisi. Akibatnya, bisa saja terjadi hadiah Rancage tidak jatuh ke tangan sastrawan Jawa yang telah menghasilkan karya terbaik. Jadi, secara tahunan tidak dapat diketahui siapa penggurit (penyair Jawa) terbaik, cerpenis terbaik, novelis terbaik, maupun penulis esai terbaik dalam sastra Jawa.
Idealnya, memang, setiap tahun ada penyair, cerpenis, novelis, serta esais sastra Jawa yang menerima hadiah. Maka, seharusnya sastra Jawa memiliki tradisi penghargaan atau penganugerahan hadiahnya sendiri.
Triwida
Sanggar Sastra (Jawa) Triwida yang bermarkas di Tulungagung pernah pula memberikan hadiah kepada para pengarang dan penyair sastra Jawa. Secara nominal penghargaan yang diberikan memang jauh di bawah Rancage. Tetapi, itu merupakan sebuah usaha yang tak boleh dipandang sepele, mengingat Triwida sendiri boleh dikatakan sanggar pinggiran dalam sastra (Jawa) yang tergolong pinggiran itu. Sebagian besar anggota Sanggar Triwida tersebar di tiga wilayah: Blitar, Trenggalek, dan Tulungagung. Dana untuk hadiah itu pun digali dari para donatur perorangan di wilayah itu, dan dari media berbahasa Jawa.
Dalam hal sistem penilaian, berbeda dengan hadiah Rancage, hadiah Triwida mengambil karya-karya terbaik meliputi: guritan (puisi), crita cekak (cerpen), dan crita sambung (novel) yang pernah dimuat media berbahasa Jawa dalam kurun lima tahun terakhir. Sayang, karena kesulitan dana, tampaknya hadiah Triwida itu kini sedang mengalami kemacetan.
"Panjebar Semangat"
Setiap bulan September, majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat memberikan penghargaan untuk penulis crita cekak atau penggurit, atau penulis esai terbaik. Jadi, setiap tahun hanya seorang penulis yang diberi penghargaan, biasanya plus beberapa orang yang diberi penghargaan "hiburan", dikirimi secara gratis majalah Panjebar Semangat untuk beberapa bulan.
Setidak-tidaknya, hadiah Panjebar Semangat telah menambah semarak dan mengisi semacam kekosongan dalam tradisi pemberian hadiah dalam sastra Jawa. Tetapi, untuk disebut representatif, rasanya juga masih sangat kurang.
Sayembara
Hadiah sayembara, maksudnya adalah hadiah-hadiah yang diberikan dengan mengadakan lomba atau sayembara penulisan geguritan, crita cekak, atau novel, yang biasanya dilaksanakan secara insidental. Balai Bahasa Yogyakarta dengan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta-nya (SSJY), adalah lembaga yang selama ini boleh dibilang paling aktif mengadakan lomba/sayembara sastra Jawa, baik lomba penulisan crita cekak, lomba penulisan guritan, dan bahkan juga lomba penulisan novel.
Tampaknya, belakangan ini sanggar-sanggar sastra Jawa yang lain semakin kesulitan meneruskan tradisi pemberian hadiah maupun mengadakan lomba, karena kehidupannya sendiri semakin kritis. Ada yang sekarat, bahkan banyak di antaranya yang tinggal "nisan" alias papan namanya saja!
Jurnalistik
Hadiah sastra Jawa bukan impian yang terlalu tinggi jika menilik bahwa hajatan sangat meriah bernama Kongres Bahasa Jawa yang menghabiskan dana ratusan juta, bahkan mungkin milyaran rupiah saja bisa dilaksanakan. Kongres lima tahunan itu bahkan sudah berlangsung tiga kali, Semarang (1991), Malang (1996), dan Yogyakarta (2001).
Akan lebih baik lagi jika, dan bahkan seharusnya, ada pula tradisi pemberian hadiah untuk karya jurnalistik berbahasa Jawa, Semacam Pulitzer-nya wong Jawa, begitulah! Percayalah, ini bukan sekadar impian, jika orang Jawa punya niat dan mau bekerja keras.
Tanggung jawab
Persoalannya kembali kepada orang Jawa sendiri. Mau yang lebih berorientasi kepada asas manfaat ataukah hanya mau bergagah-gagah, menghambur-hamburkan dana milyaran rupiah untuk menggiring bahasa dan sastra Jawa ke dalam museum!
Iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Jawa sangat diperlukan saat ini. Hadiah, sebagai salah satu bentuk kritik, mesti ditradisikan dalam sastra Jawa. Tentu yang dimaksudkan di sini adalah hadiah yang "bergengsi". Tetapi, jangan lupa bahwa gengsi sebuah hadiah tidak harus dinilai dari besarnya jumlah uang yang menyertainya. Keajegan dan pertanggungjawaban tim penilai, misalnya, adalah faktor-faktor yang ikut menentukan gengsi itu, yang sayangnya selama ini tampak kurang mendapat perhatian dari para pemberi hadiah seperti telah disebut dalam tulisan ini.
* dimuat Kompas (halaman Jawa Timur) 16 April 2002
0 urun rembug:
Post a Comment