Monday 28 January 2008

Pengadilan Sastra Jawa: Siapa Paling Pantas Jadi Terdakwa?

Jumat, 30 Agustus 2002 nanti tampaknya akan jadi hari bersejarah dalam kehidupan Sastra Jawa Modern. Pada hari itu akan digelar Pengadilan Sastra Jawa, bertempat di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Jl Gentengkali 85 Surabaya. Acara ini sebenarnya hanya merupakan rangkaian dari acara Pekan Budaya Jawa 2002 di Surabaya. Mata acara lainnya adalah Seminar Nasional (Pra-Kongres) Kebudayaan Jawa dengan narasumber Arswendo Atmowiloto (Jakarta), Dr. Damardjati Supadjar (Jogjakarta), Drs. Darmanto Jatman, S.U. (Semarang), dan Dr. Sindhunata (Jogjakarta) di Gedung Graha Pena, Jl Ahmad Yani 88, Surabaya, Penyerahan Hadiah Rancage untuk Sastra Sunda, Jawa, dan Bali, Peresmian Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadihutomo, dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Daerah di Kantor Pusat Unesa, Kampus Ketintang, Surabaya, Sabtu, 31 Agustus 2002).

ACARA Pengadilan Sastra Jawa segera membuat ingatan kita melayang ke tahun 1974, ketika Slamet Sukirnanto dan kawan-kawannya menggelar Pengadilan Puisi di Bandung. Pengadilan Puisi di Bandung itu kemudian lebih kurang hanya menghasilkan banjir olok-olok, justru dari masyarakat Sastra Indonesia sendiri. Apakah Pengadilan Sastra Jawa akan menuai hasil serupa, atau bahkan lebih konyol lagi?

Pengadilan Sastra Jawa akan digelar dengan menghadirkan para sastrawan Jawa pemenang hadiah Rancage sebagai terdakwa. Dasar pikirannya adalah indikasi telah terjadinya kolusi dan nepotisme dalam pemilihan calon pemenang hadiah Rancage untuk sastra Jawa. Sastrawan Jawa yang telah menerima hadiah Rancage untuk kategori karya (buku) terbaik adalah: FC Pamudji dengan novelnya Sumpahmu Sumpahku (1994) –tahun 1995 kosong karena tidak ada buku sastra Jawa yang terbit— Satim Kadaryono dengan novelnya Timbreng (1996), Djaimin K dengan kumpulan guritan-nya Siter Gadhing (1997), Esmiet dengan novelnya Nalika Langite Obah (1998), Suharmono Kasiyun degan novelnya Pupus kang Pepes (1999), Widodo Basuki dengan kumpulan guritan-nya Layang saka Paran (2000), Suparto Brata untuk kumpulan crita cekak-nya Trem (2001), dan Djayus Pete dengan kumpulan crita cekak-nya Kreteg Emas Jurang Gupit (2002). Sebagai catatan, selain kategori karya (buku) terbaik hadiah Rancage juga diberikan kepada sastrawan dengan mempertimbangkan ketokohannya. Dua orang sastrawan Jawa Timur, Siparto Brata dan Esmiet, masing-masing telah mendapatkan 2 Rancage: untuk kategori ketokohan dan untuk karya terbaik mereka. Perbandingan penerima Rancage dari Jawa Timur dengan penerima dari luar Jawa Timur (untuk kategori karya terbaik) adalah 8:1. Delapan orang pengarang dari Jawa Timur dan satu orang pengarang berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta. Perbandingan jumlah yang sagat timpang inilah yang dianggap sebagai salah satu indikasi kuat telah terjadinya kolusi dan nepotisme dalam penentuan pemenang hadiah Rancage untuk sastra Jawa. Dan dari sinilah Pengadilan sastra Jawa digagas. “Benang kusut di balik penjurian hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa yang ditengarai bernuansa KN (Kolusi dan Nepotisme) patut diurai, sebab ada penerima yang dipandang belum waktunya,” demikian kata Dr Setya Yuwana Sudikan, dosen Unesa yang bertindak sebagai Ketua Panitia Pekan Budaya Jawa 2002.

Hadiah sastra Rancage, pada awalnya hanya diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage --yang diketuai Ajip Rosyidi—untuk Sastra Sunda. Tahun 2002 ini hadiah Rancage diberikan ke-14 kalinya untuk sastra Sunda, ke-9 kalinya untuk sastra Jawa, dan ke-5 kalinya untuk sastra Bali.
Sistem penjurian hadiah Rancage untuk sastra Jawa memang tidak bagus. Selama ini Yayasan Kebudayaan Rancage hanya menunjuk seseorang untuk memilih dan menentukan siapa tokoh sastra/budaya Jawa dan karya sastra Jawa mana yang pantas mendapatkan hadiah Rancage. Akibatnya, menjelang musim penetapan hadiah Rancage untuk sastra Jawa, para pengarang atau sastrawan Jawa hanya bisa menebak-nebak, menunggu, seperti menunggu pulung jatuh, siapa gerangan yang bakal mendapatkannya. Untuk kategori karya (buku) terbaik, sebenarnya tidak terlalu sulit menebaknya, mengingat dalam kurun satu tahun hanya satu dua –bahkan pernah diangap tidak ada—buku karya sastra Jawa yang terbit. Tetapi –ini barangkali kenyataan yang bisa memperkuat indikasi adanya kolusi dan nepotisme itu—seolah-olah menjelang hari penentuan, tiba-tiba saja terbit buku, yang tentu saja terkesan dimunculkan secara tergesa-gesa, untuk menyongsong hadiah Rancage. Dengan bahasa yang agak kasar: mungkinkah Sang Juri Tunggal itu menentukan dulu siapa yang akan “diberi” Rancage, baru kemudian memintanya untuk menerbitkannya dalam bentuk buku?

Oleh karena itu, memang, alangkah idealnya jika penganugerahan hadiah Rancage itu diawali dengan pengajuan nominator, karya-karya yang terbit dalam bentuk buku diumumkan, begitu pula siapa saja yang dinominasikan untuk memperoleh Rancage kategori tokoh paling berjasa, paling berpengaruh, paling gigih berjuang untuk sastra/budaya Jawa pada tahun yang bersangkutan. Penilaian, idealnya juga dilakukan oleh sebuah tim Juri yang independen.

Ada lagi hal yang menarik, berhubungan dengan kriteria penilaian. Untuk menentukan karya terbaik yang layak mendapatkan Rancage, patokannya adalah sudah diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun yang bersangkutan. Karya sastra Jawa tahun 60-an pun, misalnya, jika tahun 2002 ini diterbitkan jadi buku dan secara kualitas dianggap mampu menyisihkan pesaingnya, ia akan layak mendapatkan Rancage. Lalu, bagaimana halnya dengan buku yang dicetak ulang? Belum jelas juga.

Tampaknya untuk menentukan tokoh mana yang layak mendapatkan Rancage dipakai parameter yang berbeda. Suparto Brata, misalnya, pernah terbengong-bengong, ketika mendapatkan Rancage karena ketokohannya. Bahwa Suparto Brata pernah “jatuh-bangun” bersama sastra Jawa memang benar. Antara lain, ia pernah menggelar Sarasehan Jatidiri Sastra Daerah di Bojonegoro sampai menggadaikan sepeda motornya. Tetapi, itu puluhan tahun yang lalu. Karena itu, jika memang persoalan waktu tidak jadi pertimbangan seperti halnya saat menilai buku, mengapa mereka yang sudah meninggal seperti: Ronggowarsito, Gendon Humardani, dan Poerwadhie Atmodihardjo tidak boleh menerima Rancage?

Selama ini sastra Jawa adalah sastra majalah. Artinya, penerbitan buku belum menjadi tradisi dalam sastra Jawa. Penyebabnya jelas, tidak ada penerbit yang mau bangkrut gara-gara menerbitkan karya sastra Jawa, mengingat segmennya sangat sempit. Kondisi ini makin diperparah oleh belum adanya penyandang dana, baik dari instansi pemerintah, perorangan, maupun lembaga swadaya masyarakat yang tertarik untuk mendanai penerbitan buku karya sastra Jawa. Nah, karena itu dalam sejarah penganugerahan Rancage kepada sastra Jawa pernah terjadi: karya sastra Jawa terbaik justru luput menerima rancage. Pada tahun 1990 Saggar Triwida pernah memberikan hadiah untuk karya-karya sastra Jawa (guritan, crita cekak, novel) terbaik dari sekian banyak karya sastra Jawa yang pernah dimuat 4 majalah berbahsa Jawa waktu itu (Djaka Lodang, Jaya Baya, Mekar Sari, Panjebar Semangat, periode 1985 – 1990). Untuk kategori novel, pemenang pertama waktu itu ialah Pusaka, karya Suryadi WS (Klaten). Novel Pusaka mengalahkan sekian nominator, termasuk di antaranya Sumpahmu Sumpahku karya Naniek PM (nama samaran FC Pamudji). Karenanya, sangat mungkin novel Sumpahmu Sumpahku lalu mendapatkan Rancage tahun 1994 hanya karena novel karya pengarang asal Nganjuk, Jawa Timur, itu telah diterbitkan sebagai buku, sementara novel Pusaka-nya Suryadi WS belum.

Cara penilaian seperti itu tentu kurang sehat. Tetapi, Yayasan Kebudayaan Rancage memang punya alasan, yakni bahwa salah satu tujuan pemberian hadiah Rancage adalah untuk memacu tradisi penerbitan buku.

Lebih dari itu, celakanya, kita ini, wong Jawa ini, cuma diberi saja kok ya umeg. Sungguh memalukan. Ngisin-isini banget. Lebih memalukan lagi, orang Jawa sendiri tidak ada yang peduli. Tidak ada uang, karena sekarang urusan perut dianggap paling urgen? Persoalannya bukan di situ. Sebuah perusahaan dengan entengnya mengeluarkan dana puluhan, bahkan ratusan juta “cuma-cuma”, untuk mensponsori sebuah pagelaran kesenian. Hanya untuk “rame-rame” semalam, yang sudah sangat mewah daripada hanya sekedar urusan perut. Itulah Wong Jawa, kita akui atau tidak, sementara untuk lima juta rupiah saja kita ramai-ramai kerah, bertengkar, bahkan sampai harus bikin pengadilan sendiri. Betapa konyolnya.

Oleh karenanya, saya sebenarnya sangat sedih dan ikut berduka-cita melihat teman-teman, guru, dan sahabat saya harus duduk di kursi terdakwa. Sebenarnya saya ingin, yang duduk di kursi terdakwa itu bukan siapa-siapa, tetapi Wong Jawa. Wong Jawa sendirilah yang sebenarnya paling pantas jadi terdakwa dalam sidang pengadilan yang terhormat ini.*


*) dimuat Suara Merdeka edisi Minggu, 25 Agustus 2002 dengan judul Perihal Hadiah Sastra Jawa

0 urun rembug: