Wednesday, 23 January 2008

Penolakan yang Terasa Vulgar

Ketika tulisan ini dibuat, malam terus merambat, menjelang Hari Migran Internasional (Migrant Day), esok, 18 Desember 2007. Di Gedung Poma Fakultas Ekonomi Universitas Jember, di antara tumpukan dan deretan buku-buku serta foto-foto: Hong Kong dan TKI Kita yang dipamerkan sejak pagi, obrolan mengenai berbagai persoalan buruh migran terus berlanjut.

RUANG pameran tampaknya juga berfungsi sebagai penyambung lorong yang sepertinya tak pernah sepi dari lalu-lalang mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Jember (UNEJ) yang meninggalkan atau menuju ruang kuliah. Ada yang melintas begitu saja nyaris tanpa menoleh, dan tak sedikit yang menyempatkan diri memandangi dengan seksama foto demi foto yang dipamerkan. Stan buku yang digelar LKiS juga tampak ramai.

Siang hari digelar acara bedah buku –semula akan secara khusus membedah buku cerpen Majikanku Empu Sendok karya Denok Kanthi Rokhmatika, tetapi kemudian lebih merupakan pembicaraan seputar ’’BMI-HK Nulis’’—ternyata juga meluncur ke persoalan perlindungan buruh migran. Wina Karni yang hadir sebagai salah seorang penulis dari kalangan BMI-HK pun harus berhadapan dengan pertanyaan yang menyimpang dari topik yang direncanakan.

Inilah tampaknya sebuah risiko yang harus kita hadapi ketika di hadapan para aktivis perburuhan dan mahasiswa yang kebanyakan berasal dari Fakultas Ekonomi kita menyoba bersikeras untuk berbicara soal seni, sastra. Kurang nyambung, tetapi kita tidak akan pernah berputus asa. Kita akan terus menyerukan bahwa ada perlunya kesenian, termasuk seni sastra, dibawa-bawa pula untuk mendukung seruan agar pemerintah memerlakukan buruh migran bukan saja sebagai penghasil devisa, bukan saja sebagai angka (di dalam kelompok warga negara Indonesia yang bekerja di luar negri), melainkan sebagai manusia seutuhnya dengan segenap persoalan lahir-batin mereka.

Beberapa anak muda tampak bersemangat di dalam tema obrolan: buruh migran, di luar sesi diskusi/bedah buku. Tetapi, pada kesempatan lain, masih di hari sebelum Hari Buruh Migran itu, muncul sebuah pernyataan yang terkesan menolak pengiriman buruh ke luar negri. Itu sebuah penolakan yang untuk masa-masa seperti ini pastilah terlalu idealis, dan bahkan utopis (hanya mungkin terjadi di dalam angan-angan, di dalam mimpi).

Dunia ini semakin lama semakin terasa sempit. Setiap jengkal bumi dan laut di dunia ini bisa jadi adalah ’’tanah air kita bersama.’’ Menghalang-halangi orang yang ingin meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak bisa jadi justru akan mengebiri hak-hak mereka, walaupun dengan niat baik: melindungi mereka dari kemungkinan tertimpa perlakuan buruk dari majikan, misalnya. Ini mirip-mirip dengan pihak tertentu yang membayangkan pelarangan atau pembatasan pemakai sepeda motor karena melihat angka kecelakaan tertinggi di jalan raya melibatkan sepeda motor. Jika hal seperti itu terjadi, pastilah akan terlihat sebagai kebijakan ’’potong kompas’’ yang terkesan cari gampangnya saja. Jika mau serius melindungi pemakai jalan raya, mengapa tidak membangun sarana transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah, sehingga kelak secara alamiah orang akan berpikir sekian kali untu membeli dan memakai sepeda motor?

Begitulah pula halnya dengan pelarangan pengiriman tenaga kerja ke luar negri. Janganlah dilakukan dengan cara ’’potong kompas’’ begitu. Bangunlah perekonomian pedesaan secara sungguh-sungguh. Bukalah lapangan kerja seluas-luasnya di dalam negri, sehingga secara alamiah para pengangguran itu tidak terlalu gampang berpaling ke negri lain. Dan, kalau berpaling ke negri lain pun, alangkah indahnya, jika dalam rangka mendapatkan gaji yang lebih besar daripada yang diperoleh oleh warga negara yang bersangkutan untuk jenis pekerjaan yang sama –seperti yang yang sekarang dinikmati oleh para pekerja ekspatriat (orang asing yang bekerja di Indonesia) kita?

Dan ingatlah, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendorong atau menentang pengiriman tenaga kerja ke luar negri. Persoalan seputar ketenagakerjaan kita memang sering membuat kita geram. Tatapi, jika kita kalap, keadaannya tidak akan jadi lebih baik, bukan? []

Sumber: Intermezo edisi Desember 2007

0 urun rembug: