Wednesday 23 January 2008

Rancangan (Ketidakadilan) Undang-undang Kebahasaan

Jangan Lupa, Sinetron Kita masih Berbahasa Betawi


SUDAH sekitar setahun belakangan RUU (Rancangan Undang-Undang) Kebahasaan disosialisasikan. Banyak tulisan, baik berupa artikel opini maupun kutipan pernyataan tokoh-tokoh masyarakat pemakai bahasa Indonesia (dari kalangan pers, pekerja seni) yang bernada pesimis atau bahkan cenderung menolak RUU Kebahasaan tersebut. Apakah karena makin kuatnya suara penolakan itu hingga Pusat Bahasa tampaknya makin gencar melakukan sosialisasi?

Ada empat hal yang dijadikan pertimbangan, mengapa Departemen Pendidikan Nasional melalui Pusat Bahasa merasakan perlunya sebuah UU Kebahasaan di Indonesia. Beginilah bunyi kalimat mengenai hal pertama yang dipertimbangkan itu, ’’bahwa dalam upaya menjamin terpeliharanya hubungan harmonis antaretnik pendukung bahasa dan sastra di Indonesia perlu diatur hak dan kewajiban para pendukung bahasa, baik pendukung bahasa nasional, bahasa daerah, maupun pendukung bahasa asing, agar persinggungan budaya di setiap kelompok etnik tidak berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana jiwa Sumpah Pemuda;’’

Agak mengherankan, bahwa kalimat pertama sebuah RUU Kebahasaan sudah mengandung kata yang bersifat ambigu atau bahkan salah pilih, yaitu kata ’pendukung’ (pendukung bahasa nasional, pendukung bahasa daerah, pendukung bahasa asing). Pendukung mengandung pengertian: pihak yang memberikan bantuan secara moral maupun material, termasuk memberikan bantuan suara. Jadi, di penak perumus RUU ini, seolah ada 3 kubu, yakni kubu pendukung bahasa nasional (bahasa Indonesia), kubu pendukung bahasa daerah, dan kubu pendukung bahasa asing. Jika demikian halnya, siapakah sesungguhnya yang mengompori konflik akibat ’’persinggungan budaya’’ itu?

RUU ini, diakui atau tidak, menyiratkan kecemburuan terhadap bahasa daerah dan bahasa asing. Jadi, jika semangat yang kemudian melahirkan UU Kebahasaan (jika kelak sudah disahkan menjadi UU) adalah semangat melindungi bahasa Indonesia secara berlebihan, maka melindungi secara berlebihan itu pada hakikatnya adalah ’penyerangan’. Lucunya, pihak yang diserang itu nanti, salah satunya adalah bahasa daerah, yang dibiarkan saja pun akan mati sendiri. Ada seorang teman, dosen di Jurusan Bahasa, yang dengan lancar bisa mengemukakan itung-itungan berapa digit dalam sehari terjadi penurunan daya hidup bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Atas dasar keprihatinan terhadap percepatan laju menuju kematian bahasa daerah (Jawa) itulah kemudian beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah menetapkan 1 hari kerja dalam sepekan (atau dalam sebulan?) sebagai hari digunakannya bahasa daerah (Jawa) di instansi/lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan yang selama ini tidak menimbulkan masalah, tetapi kelak akan berhadapan dengan pasal 23 ayat 1 (UU Kebahasaan): ’’Komunikasi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta wajib menggunakan bahasa Indonesia.’’

Ada pasal yang sepintas terkesan menghibur masyarakat pecinta dan pemakai bahasa daerah, yakni pasal 10: ’’Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memelihara bahasa daerah dalam upaya membina dan mengembangkan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional dan sumber pengembangan bahasa Indonesia.’’ Tetapi, jika dicermati dengan mengingat tabiat Pemerintah selama ini (ingat UU Sisdiknas yang membuat Pemerintah berkewajiban mengalokasikan 20 % dana APBN untuk bidang pendidikan), pasal 10 itu pun sangat mungkin akan menjadi pasal basa-basi. Bahkan, perhatikan sekali lagi, pasal 10 itu bisa jadi pasal eksploitatif terhadap bahasa-bahasa daerah, karena Pemerintah hanya mau memelihara dan membina bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional dan sebagai sumber pengembangan bahasa Indonesia.

Maka, simaklah pasal 11 ini: ’’Pemerintah berkewajiban memajukan pengajaran bahasa asing dalam upaya meningkatkan daya saing bangsa Indonesia.’’ Anehnya, tidak ada pasal yang setara dengan pasal 11 ini untuk bahasa daerah. Jadi, pemeliharaan bahasa daerah macam apa yang dapat kita bayangkan? Ketidakadilan sudah dirancang!

Yang bisa kita bayangkan sekarang adalah, jika UU Kebahasaan sudah diberlalkukan kelak dan PP-nya pun sudah diterbitkan, polisi dan kejaksaan pasti akan sangat sibuk menegakkan hukum (bahasa) di Indonesia. Juga, betapa banyak kelak, pejabat yang harus masuk-keluar ruang sidang karena kasus kebahasaan.

Yang tak kalah menariknya adalah pasal 18 ayat 4: ’’Film, sinema elektronik, dan produk multimedia lain yang disiarkan menggunakan bahasa asing harus diberi teks bahasa Indonesia atau disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia.’’ Nah, bagaimana halnya dengan sinetron atau produk tayangan berbahasa daerah? Jangan lupa, tayangan berbahasa daerah di televisi bukan hanya ketoprak, wayang kulit, maupun wayang orang, melainkan juga sinetron (sinema elektronik). Jangan lupa, nyaris semua sinetron kita berbahasa (daerah) Betawi. Maka, demi hukum, jika wayang mesti disulihsuarakan atau disertai teks bahasa Indonesia, hal yang sama mesti dilakukan pula pada sinetron.

Kenyataan telah membuktikan bahwa persoalan bahasa bisa memicu konflik, bahkan menimbulkan perang saudara, seperti yang telah terjadi di India dan Filipina. Tetapi, bukankah persoalan sensitif berkaitan dengan keberadaan berbagai bahasa etnis yang ada di Indonesia sudah diselesaikan para pendiri bangsa dengan Sumpah Pemuda itu? Persoalan-persoalan yang kemudian timbul, yang belakangan kian meruncing, tampaknya lebih dipicu oleh ketidakmampuan Pemerintah mengelola warisan budaya yang beraneka itu. []

0 urun rembug: