Cengkih Bukan Segalanya!
Pemerintah Kabupaten Trenggalek berupaya melakukan terobosan untuk menaikkan harga cengkih. Caranya, Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Pemkab Trenggalek membeli seluruh hasil panenan cengkih. Untuk saat ini, diperlukan biaya sekitar Rp 3,150 miliar Ratu, Minggu, 22 Juli 2007). Dari judulnya saja, ’’BPPC Menjelma PDAU?’’ yang kemudian diimbuhi kalimat tanya sekaligus penegasan, ’’Jika rencana itu berjalan, apakah nantinya PDAU menjelma menjadi BPPC? Yakni memonopoli niaga cengkih meski berskala Trenggalek,’’ para petani cengkih di Trenggalek saya kira layak merasa khawatir jika membaca berita tersebut. Tentu, kekhawatiran yang diselingi harap, betapapun kecilnya harapana itu.
BISA juga ada yang beranggapan bahwa kekhawatiran itu terlalu dini dikemukakan. Tetapi, kita mesti maklum juga bahwa para petani cengkih hingga kini masih banyak yang memendam pengalaman buruk gara-gara BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkih) yang jika saya tak salah ingat didirikan pada akhir tahun 80-an, yang kemudian disusul dengan BPPC yang lain lagi, yangmenyempurnakan duka-derita petani cengkih, yakni Bakteri Penggerek Pohon Cengkih.
Menjelang tahun 90-an (lagi-lagi jika saya tak salah ingat) sebagai sarjana yang menganggur dan masih tinggal di desa (Desa Cakul, Kec. Dongko, Kab. Trenggalek), kala itu dapat kesempatan untuk mengikuti sebuah acara sosialisasi menjelang dibentuknya BPPC. Seorang pembicara dari Kecamatan begitu berapi-api, mengumbar janji (padahal saya tahu ia hanya merupakan penyambung (ke sekian) lidah Orang Jakarta. Dikatakan bahwa badan yang akan segera bekerja nanti, yakni Badan Penyangga Perdagangan Cengkih didirikan untuk melindungi rakyat, khususon para petani Cengkih. Harga cengkih kering yang di dalam sistem perdagangan yang dikuasai tengkulak berkisar Rp 4.000 – Rp 5.000 rupiah kala itu, dibilang akan menjadi Rp 7.000/kg. ’’Pokoknya nanti BPPC tidak akan membeli cengkih kering mutu bagus dengan harga di bawah Rp 7.000/kg,’’ itulah kalimat yang hingga kini masih saya ingat.
Dan, itulah retorika alias permainan kata-kata. Sebab, seperti janji-janji lain Orang Jakarta, ternyata kemudian terasa juga ngibulnya. Ketika rakyat protes, ’’Kapan bisa dapat harga Rp 7.000?’’ maka kita sudah dapat menebak jawabannya, ’’Ya nanti jika kalian sudah dapat memroses cengkih kering dengan mutu bagus, yakni dengan kadar air 0% dan benar-benar bersih, bebas dari campuran gagang!’’ Lalu, para petani pun nggerundel, ’’Kalau begitu caranya, buat apa BPPC? Dengan kualitas sesempurna itu, mungkin tengkulak akan membelinya Rp 10.000/kg malah!’’ Dan kita tahu, pada zaman itu, jangankan protes secara terus terang, yang namanya Rakyat, baru berpikiran buruk saja sudah bisa ditangkap!
Jadi, di mata dan di dalam pikiran para petani cengkih kala itu, BPPC itu tak ubahnya hanya sebuah lembaga yang mencari untung sebanyak-banyaknya bermodalkan stempel saja. Sebab, setidaknya di tingkat kecamatan/kabupaten, para ’pemain’-nya, tetap itu-itu juga. Kebetulan saya punya sanak yang bekerja di tingkat tengkulak sebelum BPPC berdiri, dan ternyata ia tidak perlu ganti majikan setelah BPPC berkuasa. Malahan, seolah Si Tengkulak itu makin berjaya saja!
Petani cengkih juga dibuat makin susah oleh aturan kewilayahan. Termasuk pedagang kecil kelas kampung, kadang harus kucing-kucingan dengan polisi. Bahkan ada pula yang tertangkap karena menjual cengkih ke luar wilayah (ke wilayah kecamatan lain), yang sebelum ada BPPC bukanlah masalah. Padahal, dari Desa Cakul yang masuk wilayah Kecamatan Dongko, misalnya, sama-sama mesti menempuh 10 km untuk sampai di Pasar/KUD Dongko dan untuk sampai di Pasar/KUD Kecamatan Panggul. Padahal lagi, Si Tengkulak yang kemudian menampung cengkih dari Pasar/KUD Dongko dan Pasar/KUD Panggul itu sebenarnya orang yang sama. Dengan demikian, BPPC adalah lembaga yang membuat yang mudah jadi susah, yang sederhana jadi ruwet, bukan?
Pertanyaan yang tersisa sekarang adalah, jika ini hanya kebijakan Pemkab Trenggalek, bagaimana kelak harus memblokade masuknya cengkih dari luar Trenggalek? Di Pasar Panggul misalnya, kita tahu, begitu derasnya arus cengkih masuk dari wilayah Pacitan (Sudimoro, Bawur, Lorok). Bukankah --jika Pemkab Trenggalek menawarkan harga yang lebih baik-- hukum pasar akan tetap berlaku, yakni para penjual (petani/pedagang kecil) akan berbondong-bondong menuju pembeli yang menawarkan harga yang lebih baik?
Jika benar mau memberdayakan para petani (bagian terbesar warga Trenggalek) saya kira memusingkan harga cengkih bukanlah satu-satunya jalan. Trenggalek sebenarnya memiliki potensi alam yang luar biasa. Bahwa Trenggalek adalah wilayah yang tandus, saya kira itu hanya mitos. Kalaupun bukan mitos, kenyataan itu harus kita terima dengan pikiran positif. Bukankah banyak tanaman produktif yang bisa berkompromi dengan tanah yang tandus dan bahkan cenderung kurang air?
Apalagi jika mau belajar dari pengalaman buruk. Dulu, ketika cengkih jadi primadona, banyak sawah disulap jadi ladang cengkih. Tanaman-tanaman produktif di pekarangan pun (kelapa, nangka, mangga, dan lain-lain) dibabat dan diganti cengkih. Sebenarnya, banyak orang lalu menyadarinya ketika tiba-tiba pohon cengkih bertumbangan diserang hama. Teori lingkungan pun saya kira akan mengatakan bahwa memuliakan pohon cengkih saja dan menelantarkan tanaman lain adalah tindakan melawan kesehatan ekosistem.
Dalam konteks seperti itu, saya kira apa yang dilakukan Camat Pule Joko Soetran dengan peternakan sapi perah-nya patut diperhatikan. Ketika merasa susah mengajak warganya untuk menjajal bisnis ternak sapi perah, Joko lalu memberi contoh. Ketika hasil mulai tampak, tanpa disuruh, tanpa diminta, orang pun lalu ikut-ikutan.
Begitulah pendapat saya. Apakah saya masih tampak trauma?[]
0 urun rembug:
Post a Comment