Tuesday 22 January 2008

Sesama Orang Kecil saja Arogan!

Mungkin, kita lumayan sering menyindir, mengolok, memrotes, nyemprot, oknum pejabat yang bersikap arogan, sewenang-wenang, sapa sira sapa ingsung, adigang-adigung adiguna, di hadapan rakyat, orang kecil. Maka, cobalah simak kisah berikut ini.

BANJIR sudah berlalu, namun masih menyisakan duka yang menggodam dan mengiris jiwaraga sebagian warga yang telah kehilangan orang-orang tercinta, harta, benda, sehingga untuk sekadar berteduh pun mesti menumpang di rumah tetangga atau tenda-tenda darurat. Dan sore itu, langit meredup. Lalu gerimis, mengundang kekhawatiran: jangan-jangan segera melebat dan memanjang, dan kembali mengundang banjir bandang. Saya bersama dua orang teman berangkat dari Kediri menuju Ponorogo, untuk menunaikan niat mendiskusikan (memromosikan) calon buku kumpulan cerpen BMI-HK --yang gagal dilaksanakan bersama pameran foto bertajuk Hong Kong dan TKI Kita.
Pameran foto itu gagal karena secara mendadak, ketika kami sudah bersiap berangkat, dan bahkan ada yang sudah beli tiket transportasi, ada pesan singkat dari Ponorogo yang intinya, hari itu tempatnya belum siap! Saya pikir, pameran foto boleh di waaktu lain, tetapi diskusi-nya jangan ditunda-tunda. Atau dengan kata lain, harus tetap ada ’’ Cerita dari Ponorogo.’’ Ternyata, bahkan masih di dalam perjalanan, kami sudah dapat banyak pengalaman yang layak diceritakan.

Kami menumpang bus umum dari Kediri menuju Nganjuk. Di Terminal Nganjuk barulah oper ke bus yang langsung menuju Ponorogo. Karena berlomba dengan waktu, kami tak sempat memilih bus yang, paling tidak berpenampilan bagus. Kami langsung saja menghambur ke bus yang antre paling depan. Bus itu, sayangnya, penampilan fisiknya pun jauh dari menarik. Apalagi setelah berjalan, suara mesinnya pun mengabarkan bahwa ia sudah kelelahan dimakan usia. Padahal, nama bus itu mengisyaratkan keharuman, yang, sayang seribu sayang, jauh dari kenyataan yang disandangnya.

Tidak ada masalah antara Kediri – Nganjuk. Tetapi, sesaat menjelang meninggalkan Kota Madiun, bus melambat, menepi, dan berhenti, padahal tidak untuk menurun/menaikkan penumpang. Ternyata ada masalah teknis, masalah mesin. Beberapa kali coba dihidupkan dengan mendorongnya, tetapi bus tetap mogok. Mesin gagal dihidupkan. Dan diputuskanlah mengoperkan penumpang ke bus lain. Di sinilah persoalan mulai timbul. Persoalan, yang, sayangnya bagi sebagian besar penumpang, bukanlah persoalan yang serius. Kondektur mendadak memberi aba-aba agar para penumpangnya turun dengan cepat dan berpindah ke bus lain yang sudah menunggu. ’’Oper! Turun! Ayo, cepat turun!’’ Kalau cuma dibaca tulisannya, kalimat itu tak begitu istimewa, memang. Tetapi, asal tahu saja, nada, lagu, dan volumenya sungguh-sungguh tidak bersahabat. Terasa benar sebagai bentakan, dan sedikit pun tak tebersit nada meminta.

Saya tak ingin memancing emosi, tetapi tak juga bisa menahan untuk tidak mereaksi arogansi yang notabene dilakukan oleh orang kecil terhadap orang-orang kecil (setidaknya dalam semacam ’’negara kecil’’ yang bernama Bus Bunga Bangkai –untuk menyebut dengan semacam antonim atau lawan kata dari nama yang sesungguhnya) lainnya itu. Maka nyeletuklah saya, ’’Lho, gimana ta ini, kok mbentak-mbentak seenak udele dhewek, padhakke nggetaki anake wae?’’ [Bagaimanakah ini, kok membentak seenaknya, seolah membentak anak sendiri saja?]. Waladalah, penumpang lain yang dengar malah tertawa, dikiranya saya sedang bernafsu membanyol. Sunguh aneh.

O, lalau saya coba memahaminya. Barangkali benar, Bus Bunga Bangkai mereka kira sebagai semacam ’’negara kecil’’ dimana sopir adalah presiden, kondektur adalah perdana menteri, dan kenek adalah aparat. Sedangkan penumpang, siapa pun dia, apakah kere, pengemis, pengamen, pengasong, lurah, hansip --dipastikan tidak ada pejabat berkelas di Indonesia yang mau naik angkutan umum, apalagi yang kaliber full AC (Angine saka Cendhela) seperti itu—adalah ’rakyat’-nya. Dengan berpikir seperti itu, maklumlah kita, mengapa kemudian Si Kondektur berlagak arogan.
Lalu, pikir saya lagi, makanya ta makanya, tidak heran tidak gumun kalau kemudian bertemu oknum pejabat yang berlagak arogan, bertingkah adigang adigung adiguna, lha wong yang hanya menyerupai pejabat saja sudah macam gitu kok lagak dan lagunya!

Maka, kalau kita tidak arogan, tidak jumawa, tidak kemaki, tidak kementhus, jangan-jangan hanya karena kita tak disinggahi kesempatan!? [BN]


dari: Intermezo, edisi 055-JAN-08

0 urun rembug: