Wednesday, 23 January 2008

Memberdayakan Kesenian Rakyat

Banyak upaya yang sekilas tampak sebagai memberdayakan, yang sebenarnya tak kurang dan tak lebih dari tindakan memerdaya kesenian rakyat. Produk-produk kesenian rakyat seperti: ludruk, wayang orang, ketoprak, jaran kepang atau kuda lumping, adalah warisan budaya yang sangat bernilai. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang sangat positif bagi kemanusiaan itu sendiri. Lakon-lakon ketoprak, ludruk, dan wayang, misalnya, banyak memaparkan kekuasahan Tuhan, keagungan cinta, hukuman bagi si jahat, hadiah bagi si baik, dan kepahlawanan.

KEHIDUPAN modern dengan segala pernik-perniknya telah meminggirkan kesenian rakyat. Orang punya hajat tak perlu lagi menggelar ludruk atau ketoprak semalam suntuk. Untung kalau pertunjukan ludruk atau ketoprak secara live itu diganti dengan memutar VCD-nya. Sering, yang diputar di acara hajatan: khitanan, pernikahan, dan lain-lain itu adalah film-film yang sebenarnya tidak ditujukan untuk segala umur. Salah satu jenis kesenian rakyat yang masih cukup kokoh berpijak di masyarakatnya hingga kini adalah pakeliran (pertunjukan) wayang kulit.

Layar tancap, televisi, telah mendepak produk-produk kesenian rakyat ke dalam posisi yang sangat mengenaskan: dijauhi masyarakatnya sendiri. Sementara itu para pembuat kebijakan, pemerintah, atau pihak-pihak yang memiliki cukup kekuatan, sebenarnya masih melihat kesenian rakyat sebagai potensi yang perlu mendapatkan (diberi) simpati. Dan pada akhirnya simpati itu diberikan dengan motivasi “tertentu” yang ujung-unjungnya malah membuat kesenian rakyat semakin tidak berdaya.

Pemerintah Orde Baru sering menggunakan kesenian rakyat untuk mengkampanyekan program-program pembangunannya. Apalagi pada saat-saat menjelang musim Pemilu, para artis kesenian rakyat yang biasanya sepi tanggapan jadi seperti mengalami musim panen. Beberapa grup kesenian rakyat dipilih untuk disafarikan ke kampung-kampung. Mereka pun senang. Padahal, pada saat yang sama pemerintah telah menimpakan beban yang terlalu berat pada kesenian rakyat itu sendiri. Lakon menjadi tidak penting, kreasi artistik dilupakan. Yang penting adalah pesan sponsor, dalam hal ini pemerintah. Bahkan kostum pun harus berwarna kuning (warna Golkar yang pada masa Orde Baru adalah Partai Pemerintah). Masyarakat pedesaan yang biasanya menonton dengan karcis murah, atau menonton gratis di pesta hajatan (di desa, biasanya orang malu melihat pertunjukan keseniannya jika tidak menyumbangkan sejumlah uang kepada si empunya hajat atau buwuh) mendapat tontonan gratis. Seketika memang terasa menyenangkan, tetapi semua itu justru tidak kondusif keberlangsungan hidup kesenian rakyat.

Ada lagi kasus yang sering terjadi dalam kaitannya dengan kesenian wayang kulit. Para penentu kebijaksanaan dan pemegang kekuasaan, terutama di tingkat lokal: kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, sering tampak ingin dipandang sebagai ikut berprihatin terhadap nasib kesenian rakyat. Maka sering-seringlah digelar pertunjukan, dalam hal ini wayang kulit. Pada hampir setiap hari besar nasional diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Karena demi kepentingan nasional, Panitia pun –dengan alasan minim dana-- meminta para dalang dari desa-desa untuk mendalang secara gratis alias kerja bakti. Tetapi, ketika gilirannya datang proyek dengan dana cukup, yang diundang bukanlah dalang-dalang kelas kampung yang biasa dikerjabaktikan itu, melainkan dalang terkenal dengan tarif yang tidak murah. Pada tahap ini tentu bukan kesenian rakyatnya lagi yang patut diprihatinkan, melainkan mental orang-orang yang terlibat di dalam kepanitiaan itu.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang sekilas tampak sebagai upaya memberdayakan, yang sebenarnya tak kurang dan tak lebih dari tindakan memperdaya kesenian rakyat.

Kesenian rakyat bisa diberdayakan dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, maksudnya adalah dari dalam wilayah kesenian rakyat itu sendiri, bagaimana upaya-upaya kreatif dilakukan agar tidak ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Banyak seniman melakukan upaya ini, di antaranya dengan jalan pintas. Misalnya, memasukkan jenis kesenian lain yang sedang populer: memasukkan dangdut ke dalam ludruk, ke dalam pakeliran, memasukkan campursari ke dalam jaran kepang, dan sebagainya. Upaya-upaya seperti itu memang hasilnya cepat terlihat, jumlah penonton meningkat pesat, tetapi banyak pihak mempertanyakan sisi positifnya untuk jangka panjang. Polemik mengenai kreasi-kreasi instant seperti itu pun terus bergulir. Dan seperti sudah jadi keniscayaan bagi dunia yang dihegemoni oleh kapitalisme, pasarlah yang pada akhirnya menentukan segala-galanya.

Untuk ketoprak, upaya dari dalam telah pula dilakukan oleh Ki Siswondo (almarhum) dari Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung. Adegan perkelahian diperindah dengan memadukan usur-unsur silat dan kungfu. Juga sangat diperhatikan kaidah-kaidah teater modern (pada zamannya, Ki Siswondo sering mendatangkan teaterawan untuk memberikan semacam workshop bagi para pemain Siswo Budoyo). Dengan upaya-upaya itu terbukti Ki Siswondo berhasil membawa Ketoprak Siswo Budoyo ke puncak kejayaannya. Sayangnya, sepeninggal Ki Siswondo, Ketoprak Siswo Budoyo mengalami semacam antiklimaks, dan sekarang malah berada pada posisi yang benarr-benar memprihatinkan.

Upaya pemberdayaan kesenian rakyat (ketoprak) dari dalam juga dilakukan oleh pentolan ketoprak asal Jogjakarta, Bondan Nusantara. Bondanlah yang mula-mula memasukkan ketoprak ke dalam televisi dengan kemasan “ketoprak sayembara” (disertai kuis untuk pemirsa dengan iming-iming hadiah menggiurkan dari pihak sponsor). Dari tangan Bondan pula lahir ketoprak multimedia, sebuah pagelaran ketoprak dengan memanfaatkan pula teknologi LCD (laser compact disc). Sebuah upaya yang tergolong cerdas. Sayangnya, tampaknya Bondan tidak mendapatkan dukungan yang cukup, misalnya dari pemerintah melalui institusi yang bertugas mengurusi kebudayaan/kesenian. Untuk mementaskan lakon dengan kemasan multimedia itu pun Bondan hanya mendapatkan dukungan dana dari Yayasan Kelola.

Mirip yang dilakukan Bondan, di Surabaya Bawong SN menggarap ludruk. Bahkan Bawong telah membawa pula lakon Dodol Gombal-nya ke Jakarta. Kalangan seniman merespon positif upaya Bawong untuk mengangkat ludruk menjadi pertunjukan rakyat yang tidak kampungan. Tetapi, lagi-lagi, tentu kita akan jadi sangat naïf jika membebankan tugas besar “memberdayakan ludruk” itu hanya pada pundak seorang Bawong.

Mengapa potensi-potensi yang ada pada diri Bawong atau Bondan itu, misalnya, tidak dilihat oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan dalam bidang budaya/kesenian? Inilah saatnya kita mempertanyaakan wawasan seni/budaya mereka yang selama ini telanjur menempati posisi penting di instansi-instansi pemerintah –baik di tingkat lokal maupun nasional-- yang mengurus bidang seni/budaya.

Upaya dari luar, termasuk dari pemerintah, biasanya berupa bantuan dana yang bersipat temporer. Tidak terencana, dan tidak berkesinambungan. Bahkan sering terjadi, saat dana bantuan mengucur, para seniman (rakyat) itu sibuk mempertengkarkan pembagiannya, bukannya sibuk berkreasi. Tidak adanya upaya yang serius, tidak adanya perencanaan yang jelas, tidak adanya koordinasi yang baik antarinstansi yang sama-sama bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan kesenian (termasuk kesenian rakyat) itu bisa dilihat di taman pusat-pusat hiburan, bahkan yang telanjur dinamai Taman Hiburan Rakyat (THR) seperti yang ada di Surabaya. Jika saban hari rakyat hanya disuguhi dangdut, misalnya, apakah kita masih bisa mengataan bahwa kesenian di sana tumbuh secara sehat? []

0 urun rembug: