SAYA tidak tahu seluk-beluk hukum dan birokrasi perburuhan, terutama menyangkut prosedur pengiriman tenaga kerja ke luar negri. Yang saya lihat hanyalah (semoga keliru): Pemerintah Republik Indonesia dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasinya tidak mampu mengurusi sendiri, sehingga menyerahkan urusan itu: perekrutan, pelatihan, pemberangkatan kepada pihak swasta yang bernama PJTKI yang kepanjangannya pun saya tidak pernah tahu persis, apakah Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia atau Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Apa pun kepanjangannya yang resmi, dalam pikiran saya, lembaga itu (PJTKI) adalah lembaga profit atau yang dibuat untuk mendapatkan keuntungan dari mengurusi manusia yang bernama (Calon) Tenaga Kerja Indonesia. Pikiran, dan apalagi perasaan saya, sungguh tidak bisa menerima kenyataan demikian, sebab melindungi segenap warga negara, mengatasi persoalan besar bangsa yang berupa makin menumpuknya pengangguran, adalah juga kewajiban pemerintah.Saya sempat melontarkan pokok pikiran demikian saat sarasehan yang dihadiri beberapa orang seniman Surabaya, tetapi seorang narasumber yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur segera menimpali, ’’Jangankan urusan tenaga kerja, urusan haji saja pemerintah kita ini tidak bisa menangani sendiri kok. Pernah diurusi hanya oleh pemerintah, kenyataannya malah kacau.
Tetapi, dalam kaitannya dengan pemberangkatan buruh ke luar negri ini, batin saya rasanya tetap menuntut, seluruh biaya seharusnya ditanggung oleh pemerintah. Pada tahun-tahun pertama dahulu pemerintah boleh punya alasan, misalnya, tidak punya dana. Tetapi, setelah puluhan tahun proyek mengekspor buruh itu berjalan dan bertrilyun-trilyun devisa didapat darinya, pemerintah mau bilang apa lagi, kini?
Saya pernah membaca buku Peraturan Pemerintah HK mengenai pekerja (asing) rumah tangga yang saya rasa cukup bagus, dan pastilah diterima oleh pihak pekerja. Sayangnya, kita sering mendengar, pada tataran pelaksanaannya sering melenceng. Contoh yang paling nyata adalah soal adanya underpayment itu, yang menurut catatan ATKI-HK angkanya pernah melewati 50 %. Itu berarti, lebih dari separoh perempuan pekerja rumah tangga asal Indonesia di HK digaji di bawah standar. Lalu, simaklah catatan Rini Widyawati, ’’Dan malam sebelum keberangkatan, salah satu hal yang tidak boleh dilupakan, jangan sampai kalau kami ditanya masyarakat Hong Kong kami mengaku kalau gaji kami hanya HKD 2.000. Atau bahkan juga bahwa tidak ada libur.’’ Lalu dilanjutkan begini, Rini menirukan kata-kata dari pihak PJTKI itu, ’’Bilang kalau gajimu itu HKD 3.670, libur tiap Minggu, dan satu lagi bilang kalau kamu ke sini tidak potong gaji. Itu harus kamu ingat baik-baik, karena kalau kamu dipulangkan ke Indonesia gara-gara ada yang tanya ke kamu, kemudian kamu bilang gajimu hanya HKD 2.000 dan itu menimbulkan masalah, dan jika akibatnya kamu dipulangkan, itu salahmu sendiri.’’ (CHSP, halaman: 60).
Itulah yang dicatat seorang BMI-HK yang di halaman lain di buku yang sama juga mengatakan bahwa jika di Indonesia ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji Rp 400 ribu saja per bulan, maka ia tidak akan pernah memilih bekerja di luar negri.
Saya baru lebih kurang 2 tahun berkenalan dengan BMI-HK, tetapi sudah berani berandai-andai bahwa jika dengan segenap potensi (BMI-HK dan Pemerintah HK dengan hukumnya yang tergolong bagus –menurut komentar para BMI-HK yang saya kenal) Pemerintah Indonesia tidak juga bisa segera menangani dengan baik berbagai urusan berkaitan dengan keberadaan BMI-HK, kita tidak bisa berharap persoalan buruh asal Indonesia di negara lain (selain HK) bisa ditangani dengan baik. Sementra ini, kita masih bisa menyaksikan, makin hari gelombang protes dari para BMI-HK terhadap Pemerintah Indonesia semakin besar saja.
Pada hari-hari libur para BMI-HK ada peluang untuk mengumpulkan mereka di suatu tempat dan memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan, dan apa saja kegiatan positif lainnya, satu hal yang rasanya sangat susah untuk dilaksanakan di negara-negara yang hampir boleh dikatakan menjadikan perempuan pekerja rumah tangga asal Indonesia sebagai tahanan rumah sejak kedatangan hingga mereka kembali pulang ke tanah air, seperti yang selama ini terjadi di Malaysia dan Saudi Arabia.
Secara SDM tak sedikit BMI-HK yang dari Indonesia sudah mengantongi ijasah sarjana. Lebih banyak lagi yang mengejar ketertinggalan pendidikan formal mereka dengan mengambil program diploma selama berada di HK. Maka, kalaulah Pemerintah tetap tak bisa mengurusi sendiri pemberangkatan buruh ke HK, mengapa tidak segera dicoba mendirikan sebuah PJTKI percontohan yang dimodali oleh negara yang sahamnya diberikan kepada para BMI-HK? Dengan demikian pastilah kita tidak sedang mengajari sebagian dari mereka untuk memeras dan mengisap keringat kaum mereka sendiri, melainkan untuk membimbing agar lambat-laun mereka bisa mengurus ’’diri sendiri.’’
Kendala-kendala di tataran teknis pastilah banyak, tetapi rasanya itulah cara paling ampuh agar tidak selamanya kita melihat Pemerintah dan Buruh (untuk sementara khusus BMI-HK) sebagai dua kubu yang selalu saling berhadap-hadapan dengan pandang mata yang tak pernah bersahabat. Bolehlah kita coba menghitung, berapa sih biaya yang diperlukan untuk mendirikan sebuah PJTKI? Lalu bandingkan dengan biaya untuk lembaga baru bernama BNP2TKI yang tampaknya dengan gampang didirikan oleh pemerintah?
Sekarang ini tercatat sekitar 110.000 perempuan pekerja rumah tangga asal Indonesia di HK. Sekitar 80%-nya berasal dari Jawa Timur. Maka, marilah berandai-andai begini: Andai 100.000 orang menanamkan modal bersama, masing-masing HKD 1.000 (lebih-kurang Rp 1 juta) –banyak BMI-HK yang tagihan pulsa-nya mendekatai angka itu dalam sebulan. Artinya, jika dalam waktu 2 atau 3 bulan mereka mau ngirit menelepon, Rp 1 juta itu tidak akan memberatkan mereka. Maka akan terkumpullah dana sejumlah Rp 100 milyar. Berapa ya, biaya yang diperlukan untuk mendirikan sebuah PJTKI itu?
Maka, jika pemerintah tak juga melihat program membangun PJTKI percontohan sebagai program yang bagus, penting, dan menarik, mengapa BMI-HK tidak mencoba memulainya? Kekuatan itu ada pada mereka. Hanya diperlukan soliditas dan solidaritas yang lebih baik lagi untuk merealisasikannya. Demikianlah saya kira!
Versi lengkapnya: Jurnal Perempuan No 56 Tahun 2007.
1 urun rembug:
Kami tergugah Pak Bon... Terima kasih atas curahan kasih sayangnya kepada kami para BMI ini.
Kalo boleh meminta lagi... Apakah kiranya langkah awal yang harus kami lakukan.... ( kami percaya ini akan membutuhkan ribuan langkah, tapi kami akan mulai melangkah.
Bantu kami ya Pak Bon.
Salam hormat.
~Andin~
Post a Comment