Wednesday, 23 January 2008

Unas sebagai d(U)agelan NASional

Dalam diskusi panel yang diselenggarakan dalam rangka Milad ke-111 lembaga pendidikan berbasis Quran, Al Khairiyah Surabaya (Sabtu, 24 Juni 2006), Ketua MPR-RI Dr H Muhammad Hidayat Nurwahid menegaskan ketidaksetujuannya terhadap program Unas (Ujian Nasional) yang belakangan ini menambah keruwetan nasional. Bahkan, Presiden Partai Keadilan Sosial itu mengatakan bahwa ia pernah mendapat lampu hijau ketika mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap Unas yang sertamerta menentukan nasib para siswa itu di hadapan Presiden Bambang Susilo Yudoyono. Tetapi, kata Hidayat, karena tanggungjawab program ini ada di bawah Wapres, Presiden menyarankan agar Ketua MPR itu untuk berbicara dengan Wapres. Tetapi kemudian ternyata dalam perjalanan dari Istana Negara ke Gedung DPR/MPR Wapres sudah menelepon. ’’Selama setengah jam dalam perjalanan itu saya berdepat per handphone dengan Wapres mengenai Unas,’’ tutur Hidayat Nurwahid.

Pada prinsipnya, Ketua MPR-RI itu setuju ada Unas jika itu dimaksudkan untuk sekadar memetakan kualitas dan tingkat keberhasilan kegiatan belajar/mengajar di sekolah-sekolah. Tetapi tegas-tegas laki-laki asal Jogjakarta itu menolak jika kelulusan para siswa ditentukan melalui hasil Unas yang hanya menyakup tiga bidang studi: Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris itu.

’’Ini tidak masuk akal. Kalau kita menuntut hasil yang sama dari semua lembaga pendidikan yang ada di seluruh tanahair, konsekuensinya pemerintah harus pula menyiapkan segenap sarana/prasarana, termasuk tenaga pengajar yang sama kualifikasinya,’’ demikian Hidayat Nurwahid.

Peserta diskusi panel yang terdiri atas para guru dan wali murid itu seolah mendapat ruang untuk mengemukakan uneg-uneg berkaitan dengan Unas, apalagi hadir pula sebagai panelis Sekdaprov Jatim Dr H Soekarwo.

Sependapat dengan Ketua MPR-RI, Sekdaprov Jatim yang belakangan lebih familiar dengan sebutan Pakde itu mengatakan bahwa adalah tidak logis jika setelah melalui proses belajar dengan sekian banyak mata pelajaran selama 3 tahun itu kemudian tiba-tiba nasib siswa ditentukan hanya secara administratif berdasarkan nilai Unas yang hanya menyakup 3 mata pelajaran itu.

Di lapangan banyak bukti bahwa Unas tahun ini adalah produk pemerintah yang sangat tidak bijaksana. Lihatlah, di Semarang, ada seorang Juara Fisika yang diterima sebagai calon mahasiswa baru UNES (Universitas Negeri Semarang) melalui jalur PMDK ternyata tidak lulus Unas. Di tempat-tempat lain juga banyak kasus para juara kelas, atau masuk sepuluh besar di sekolahnya yang kemudian juga harus meratap sedih karena tidak lulus Unas. Celakanya, pemerintah tetap bergeming dan tidak mengakomodasi usulan agar diadakan Ujian Ulang. Mungkin karena malu, sebab dengan demikian secara tidak langsung akan terbaca sebagai mengakui kekeliruannya.

Lalu pejabat-pejabat terkait, semisal Kepala Diknas Jawa Timur, dan bahkan Wapres Yusuf Kalla menganjurkan agar para siswa yang tidak lulus itu segera mengikuti ujian Kejar (Kelompok Belajar) Paket. Lho, kalau ujung-ujungnya hanya njlekethek seperti itu, cukup ujian lewat Kejar Paket, apa tidak sepantasnya dibubarkan saja sekolah-sekolah itu, yang makin mahal dan membuat para orang tua murid yang tergolong miskin semakin klenger itu? Kemudian kita ucapkan selamat tinggal Era Sekolahan dan selamat datang Era Kejar Paket!

Ujian Nasional yang membuat para siswa yang tergolong pandai justru bergelimpangan (tidak lulus) harus kita akui pula sebagai salah satu produk Dagelan Nasional, yang membuat Republik kita tercinta ini ternyata jauh lebih lucu daripada Republik Benar Benar Mabuk!

Bagi saya yang awam tatapemerintahan, semakin populernya seorang Wapres karena ia jadi lebih sibuk berfatwa, dan bahkan berdebat soal Unas ini ketimbang seorang Menteri Pendidikan adalah lucu juga. Apa memang begitu seharusnya? Saya sungguh tidak berharap bahwa ini adalah titi mangsa kala (saatnya) pembuktian bahwa keputusan menempatkan Pak Bambang Sudibyo yang mantan Menkeu sebagai Mendiknas adalah keputusan yang tidak the right man in the right place.

Selain para siswa yang sudah bersusah-payah selama 3 tahun merebut posisi (ranking) atas di kelasnya, selalu suntuk belajar agar tidak membuat kesal orangtua mereka, sesungguhnya guru adalah korban berikutnya dari Dagelan Nasional ini. Sudah gajinya terbilang rendah, ternyata pada akhirnya para pahalawan bangsa tanpa tanda jasa itu (meminjam frase dari Hymne Guru karya Pak Sartono), pada akhirnya hanya diposisikan sebagai robot, ya paling banter tukang-lah. Sebab, mereka hanya boleh mengajar dengan segenap beban administrifnya, tetapi kuasa untuk menentukan apakah anak didik mereka sudah pantas lulus atau belum pun tidak diberikan kepada mereka. Sungguh malang nasibmu, guru (catatan: walaupun barangkali saya ini juga tidak lebih beruntung karena gagal menjadi guru, hehe)! Kalau sudah begitu, untuk apa lagi gembor-gembor soal peningkatan profesionalisme guru? Untuk apa sertifikasi? Jika pada akhirnya mereka tetap saja diposisikan sebagai robot?

Pada akhirnya, janganlah kita menjadi terlalu geram, jangan pula terlalu sedih. Marilah kita tertawa bersama-sama, sebab ini benar-benar lebih lucu daripada Srimulat.[]

0 urun rembug: