Sekitar pukul 09.00 pagi itu, di Kampung Seni-nya Bagus Putu Parto, saya masih asyik berbincang-bincang dengan Pak Hoery, Pak Djayus, dan Pak Parto . Usai mengikuti acara Temu Sastrawan Jawa Timur di Patria, saya bersepeda motor ke Tarang Galih, mampir mengurus SIM sebelum melanjutkan perjalanan ke Pangkur (menjemput istri yang sedang berlibur di Banjar, Pangkur, sementara rumah orang tua saya sendiri di Cangkul, Dongkrek).
TIBA di Kantor Lantas Tarang Galih pukul 12.30 WIB. Ruang pendaftaran masih buka, masih ada petugas, tetapi ada tulisan TUTUP di atas meja. Saya mencoba menyapa Si Petugas dan mencoba meminta, barangkali masih bisa dilayani, sambil mengatakan bahwa saya dari jauh, dari Surabaya, dan akan kembali ke Surabaya keesokan harinya.
“Ya wis, pokoke sampeyan ngerti aku wae,” (“Ya, sudahlah, asal sampeyan pengertian terhadap saya”), kurang lebih begitu jawaban petugas. Saya pun mencicil lega, karena merasa akan terhindar dari keharusan hilir-mudik Surabaya-Tarang Galih untuk mengurus SIM. Saya pun segera memfotokopi KTP di tempat fotokopian yang hanya berjarak beberapa meter dari/di luar kantor Satlantas Tarang Galih. Dan dari tempat fotokopian itulah kisah ini berawal.
Indahnya Indonesia
Ndilalah, petugas fotokopi, seorang perempuan kira-kira 30-an tahun, kok ya tanya ke saya. “Mas, kok siang ta? Apa belum tutup?” Maka, jawab saya, “Ya, sebenarnya sih sudah tutup, tapi kan masih bisa dibuka lagi. Itulah indahnya Indonesia, semua bisa diatur!”
Seorang pria usia sekitar 50-an tahun yang ada di situ, tiba-tiba menanyai saya, “Rumahnya mana, Mas?”
“Cangkul, Dongkrek, Pak,” jawab saya.
Saat itu, saya pikir itu hanya sebuah pertanyaan basa-basi. Pria itu, dari dandanannya (baju biru telur dan celana biru tua dengan lencana di saku bajunya) tampak sebagai bukan pria sembarangan. Sinar wajahnya pun mengabarkan bahwa dia bukan seorang pegawai rendahan.
Ketika saya sibuk berurusan membayar fotokopian, Pria Perlente itu pun berlalu setelah menjelaskan kepada saya, bahwa petugas telah berbaik hati menolong saya karena tahu saya orang jauh (Tarang Galih – Cangkul itu hampir 50 km!).
Setelah urusan fotokopi beres, maka saya pun kembali ke tempat pendaftaran, menemui petugas yang ternyata sudah methentheng menahan amarah. “Tutup, Mas! Urus besok saja! Saya sudah berbaik hati menolong sampeyan, tapi malah sampeyan mengumbar kata-kata tidak enak di fotokopian,” sungutnya.
“Oh, ya Pak. Saya akan kembali besok,” jawab saya sambil menahan senyum kecut. Betapapun sulit menerima anggapan bahwa saya bersalah dengan pernyataan itu, pikiran saya bisa menerima kalau petugas ini jadi merah telinganya mendengar pengaduan Pria Berseragam Biru-biru tadi.
Maka, dengan ini saya mohon maaf karena telah membikin marah Bapak Petugas. Tetapi di sisi lain saya juga masih belum bisa menerima tuduhan bahwa saya telah melakukan “kesalahan”. Itulah sesungguhnya yang coba hendak saya klarifikasi dengan tulisan ini.
Saya berani bersumpah bahwa di dalam rangkaian kalimat yang saya ungkapkan untuk menjawab pertanyaan perempuan di fotokopian itu tidak ada satu patah pun yang menyebut ’polisi’, apalagi ’Polisi’ Tarang Galih. Sekali lagi, saya hanya mengatakan bahwa: “Itulah indahnya Indonesia. Yang sudah tutup pun bisa dibuka lagi. Semua bisa diatur.”
Para pakar sastra lisan yang menekuni ilmu folkloor akan menilai ungkapan seperti yang saya katakan itu sebagai sebuah kearifan rakyat kecil untuk melepaskan diri dari himpitan kesulitan hidup yang antara lain timbul akibat relasinya dengan negara, kekuasaan, atau aparat yang menjalankan kekuasaan. Itu bahkan akan dinilai juga sebagai semacam humor, guyon, yang pada akhirnya juga menertawakan diri sendiri. Bukankah Indonesia berada di papan atas barisan negara-negara terkorup di dunia? Dan dengan menertawakan “kekonyolan” Indonesia, bukankah pada akhirnya saya juga menertawakan diri saya sendiri, yang ternyata juga “nyaris” menikmati “keindahan” itu (melanggar peraturan kantor, mencoba menerobos “pintu” yang sudah “ditutup” dengan semacam “pengertian”? Bukankah saya juga anak bangsa Indonesia?
Dengan begitu, hingga sekarang saya merasa menyesal karena telah membuat Bapak Petugas di Kantor Satlantas Tarang Galih marah. Tetapi, sekali lagi, saya masih juga beranggapan tidak ada yang salah dalam kata-kata saya yang saya lontarkan di fotokopian itu.
Pertimbangan Khusus
Maka, tanpa merasa berdosa (tetapi masih menyesal) keesokan harinya saya kembali mendaftar untuk mendapatkan SIM, diterima oleh petugas yang sama. Dan lancar-lancar saja. Saya membayar biaya pengurusan SIM sebesar Rp 52.500,00 (dengan kuitansi). Lalu saya pun dipotret (pemotretan pertama) dengan membayar Rp 5.000,00 (tanpa kuitansi), dan kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan dengan biaya Rp 7.000,00 (tanpa kuitansi).
Di meja berikutnya, ketahuanlah oleh petugas bahwa SIM saya yang lama sudah mati 1 tahun lebih, itu pun saya dapatkan di luar Tarang Galih (ketika itu saya ber-KTP Gresik). Oleh karenanya, saya dianggap mengurus SIM baru, dan karena tidak bisa menyertakan berkas-berkas pengurusan SIM lama saya harus membayar biaya tambahan sebesar Rp 55.000,00 (tanpa kuitansi). Sampai di sini tidak ada persoalan.
Tetapi menjelang pemotretan terakhir, berkas saya diamati oleh petugas, seolah-olah ada yang tidak beres. Dan dipanggillah saya ke ruangan tempat saya membayarkan Rp 55.000,00 tadi. Petugas menanyai saya, asli saya mana, bekerja di mana, yang, terus terang sempat membuat saya bengong. Beberapa detik kemudian barulah saya ngeh, ketika Si Petugas menyatakan bahwa karena saya seorang wartawan, maka dia bermaksud mengembalikan Rp25.000,00 dari Rp 55.000,00 itu.
“Kami memiliki pertimbangan khusus karena sampeyan wartawan,” kurang lebih begitulah ucapnya. Saya sudah mencoba menolak dengan halus, tetapi dipaksakannya uang yang hingga saat ini bentuk lipatannya pun belum saya ubah itu dimasukkan ke dalam saku celana saya. Inilah kemudian yang jadi penyesalan saya berikutnya. Kok, ternyata saya juga tidak punya cukup nyali untuk langsung menolak uang “pertimbangan khusus” itu.
Bukannya saya sok suci, tetapi sungguh berat rasanya menerima “pertimbangan khusus” itu, lebih-lebih jika sya teringat tulisan-tulisan, artikel-artikel saya selama ini. Sungguh, saya sangat gelisah, dan bahkan sempat susah tidur karenanya. Maka, karena uang itu telanjur masuk ke dalam saku saya, anggap saja saya telah menerimanya. Tetapi saya sangat berharap agar uang ini bisa saya serahkan kepada Yang Terhormat Bapak Perlente yang menanyai dan mengomentari saya di fotokopian itu. Ini bukan sedekah, bukan sumbangan, bukan hadiah, tetapi hanya semacam simbol ketulusan hati saya untuk berbagi pengalaman hidup ini, dan sampai kapan pun saya akan mengingatnya sebagai orang tak saya kenal yang telah ikut mengasah inspirasi saya.
Pengalaman Baik
Akhirnya, saya sangat berterima kasih khususnya kepada Kepolisian Tarang Galih yang telah mempercayai saya untuk pegang SIM C. Saya tak akan pernah melupakan jasa baik orang, walau tak bisa membalasnya. Saya sangat banyak berhutang kepada orang-orang, termasuk sahabat, yang kebetulan bekerja sebagai polisi, di/dari Tarang Galih: Mas Cipto, Mas Dibyo, Mas Dian (alm.), Mas Moengin, Mas Prayitno (yang dulu satu kos ketika saya di SPG Sore dan mereka bertugas sebagai para polisi anyar di Polres Tarang Galih.
Tak akan pernah saya lupakan juga jasa Mas Darto (sekarang entah di mana) polisi asal Tarang Galih yang memberi saya tumpangan di asramanya, kompleks Rutan Kalisosok, ketika saya mendaftar dan menjalani ujian masuk IKIP Surabaya (1982).
Jadi, sejauh ini, saya selalu punya pengalaman baik bersama polisi. Maka, jika tiba-tiba kemarin itu ada seorang Petugas yang menganggap saya sebagai “bocah Cangkul” yang tak tahu diuntung, tentu itu hanya sebuah kesalahpahaman belaka.
Selamat ulang tahun Polisi Indonesia![]
0 urun rembug:
Post a Comment