Thursday 10 January 2008

Kreativitas Dalang: Antara Ideologi Pasar dan Estetika

Kebudayaan, kesenian, adalah sesuatu yang hidup, tumbuh, berkembang. Tak terkecuali seni pedalangan, pakeliran (wayang kulit). Oleh karenanya persoalan mengenai –meminjam istilah A Teeuw ketika ia ngomong soal sastra—ketegangan antara konvensi dan inovasi, selalu dapat menjadi pembicaraan yang menarik, seperti pada acara Sarasehan Dalang dengan tema “Problematika Seni Pedalangan” di Ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur, 4 – 5 September 2002 lalu. Tampil sebagai pembicara kunci dalam sarasehan yang sangat gayeng itu ialah DR Setya Yuwono Sudikan (dosen Unesa), M Soleh Adipramono (dalang, Malang), Ki Manteb Sudarsono (dalang, Surakarta), Ki Panut Darmoko (dalang, Nganjuk), dan Ki Soenarjo, Msi (dalang, Surabaya). Sesuai dengan temanya, berbagai persoalan berkaitan dengan Seni Pedalangan –dari persoalan manajemen, hubungan dalang dengan para niyaga dan pesindhen, hingga persoalan garap pakeliran— dibahas dalam sarasehan itu, hingga waktu yang cuma 2 hari jadi terasa sangat pendek.

Berkaitan dengan manajemen pedalangan, DR Setya Yuwono menyarankan pengadaptasian manajemen modern, sehingga hubungan antara dalang – niyaga/pengrawit/kru musik – pesindhen, menjadi lebih demokratis, tidak seperti hubungan anatara juragan dengan para buruhnya. Mengenai seni garap pakeliran, Setya Yuwana membaginya dalam 3 kategori, yakni pakeliran ruwatan, yang, menurut dosen Unesa ini tidak boleh diganggu gugat, kemudian pakeliran sebagai pertunjukan hiburan, dan pakeliran televisi.

Kebudayaan Jawa terkenal kelenturannya, sangat akomodatif, sehingga kreasi, inovasi, eksperimentasi, atau apa sajalah namanya, mendapat tempat yang sangat luas, khususnya di bidang kesenian. Kelenturan, yang menurut istilah Arswendo “penuh lembaga ralat” dan yang disebut Darmanto Jatman –dengan bahasa glenyengan khas-nya sebagai ke-ngeyel-an budaya Jawa itulah yang justru makin memperkokoh eksistensi kebudayaan Jawa. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa inovasi menjadi persoalan yang begitu menyita banyak perhatian, bahkan di antara para dalang sendiri?

DR Setya Yuwana menyebut Ki Nartosabdo sebagai peletak dasar pakeliran modern, untuk tidak menyebutnya sebagai seorang dalang yang telah melakukan pemberontakan terhadap pakem pakeliran. Nartosabdo bisa mengulur adegan Gara-Gara hingga 2 atau bahkan 3 jam, menawarkan lakon banjaran (mengisahkan kehidupan sesosok tokoh wayang dari lahir hingga kematiannya), dan menurut RM Yunani Prawiranegara juga mengubah posisi duduk pesindhen dari semula (hingga tahun 60-an) yang berada di belakang dalang menjadi di samping kanan dalang (kini malah duduk di sebelah kanan dalang dengan membelakangi kelir, sehingga juga “berfungsi sebagai” tontonan tersendiri. Mengapa Ki Nartosabdo tidak mendapatkan julukan dalang mbeling, gendheng, atau bahkan dalang edan? Jawabannya, karena Nartosabdo melakukan segala inovasi itu dengan penuh tanggung jawab, berdasarkan konsep dan kemampuan yang benar-benar matang, modal yang lebih dari cukup sebagai seorang dalang. Hingga kini pun belum ada dalang yang kemampuan sastrawi, dramaturgi, musik (gamelan), maupun sanggit-nya mampu menandingi Ki Nartosabdo. Jika ada yang bisa ditandingi oleh para dalang sekarang, tampaknya baru pada soal sabet saja.

Rata-rata para dalang sekarang, baik yang mendapat julukan dalang edan dan sejenisnya maupun yang dianggap masih konvensional, sibuk mengisi pakelirannya dengan perangkat keras, “kosmetika” atau pupur, dan seolah melupakan perangkat lunaknya. Akibatnya, cerita meluncur begitu saja, dengan alur yang juga simpel atau ndlujur, dengan tokoh-tokoh hitam putih. Mungkin mereka beralasan bahwa pakeliran memang harus menyampaikan pesan moral kepada masyarakat, penonton, mengingat pertunjukan wayang kulit atau pakeliran memiliki fungsi tontonan, tuntunan, dan kini bisa ditambah satu “tun” lagi, yakni tuntutan, dengan kritik sosial yag kontekstual. Sementara itu, Nartosabdo bisa menampilkan tokoh yang tidak sekadar hitam putih, tetapi juga abu-abu. Narto bisa menampilkan sisi baik dari tokoh wayang yang terkenal jahat, atau sebaliknya. Di tangan Nartosabdo, wayang menjadi “manusiawi” sekali. Suatu ketika Dursasana menjalankan tugas dari kakaknya (Duryudana, Raja Astina) yang terjun ke medan pertempuran, menjaga kakak iparnya, Dewi Banowati. Pada kesempatan demikian Nartosabdo dapat menampilkan perdebatan yang sangat menarik, lucu, sekaligus filosofis, antara Duryudana yang merasa telah menjalankan tugas menjaga ibu negara dengan Dewi Banowati yang memperolok adik iparnya itu sebagai sastria yang takut berperang, dan berpandangan picik (memandang istri seorang raja lebih berharga dari negaranya sendiri). Sampai menjelang berakhirnya perdebatan panjang itu penonton benar-benar “diteror” oleh perdebatan sengit antara dua kubu yang sama-sama kuat mempertahankan kebenaran masing-masing. Kemampuan seperti itu jarang bisa kita dapatkan pada para dalang sekarang, baik mereka yang hanya bermodal bakat alam maupun yang sudah kenyang teori seni pertunjukan dari perguruan tinggi. Lebih-lebih para dalang muda --dari sisi pengalaman dan apalagi usia—dalam persoalan bahasa saja, bahasa Jawa sebagai pengantar seni pakeliran, rata-rata mereka sangat lemah. Dari mereka yang –sehari-hari tidak menggunakan bahasa Jawa “yang baik” tentu berlebihan jika kita mengharapkan bahasa pakeliran yang alami (lancar, fasih, diksi yang baik) seperti yang dapat ditunjukkan oleh Ki Nartosabdo atau Ki Timbul Hadiprayitno.

Nah, inovasi ataupun kreasi yang terlalu difokuskan pada pupur itulah yang kemudian menimbulkan persoalan. Campursari bukanlah jelek. Tetapi jika 4 sampai 6 jam dari 8 –9 jam (durasi pakeliran) dihabiskan untuk dagelan dan campursari, apalagi yang masih tersisa?

Pemanfaatan proyektor, slide, seperti yang dilakukan Ki Sunaryo, misalnya, bisa memperkaya seni pakeliran selama dilakukan secara tepat, seperti yang dalam ketoprak dilakukan oleh Bondan Nusantara. Tetapi jika dilakukan asal berkesan “wah”, jadinya justru hanya akan memasung imajinasi penonton, seperti yang dikecam Hazim Amir (alm) ketika TVRI mementaskan lakon Bima Suci dengan menampilkan Bima (kecil) yang dapat digenggam oleh Bima (besar) dengan bantuan animasi. Slide atau film mungkin tepat untuk menggambarkan adegan kilas balik, tetapi pemanfaatan film wayang orang untuk mendukung pertunjukan wayang kulit, misalnya, seperti yang juga biasa ditampilkan Ki Soenaryo, mungkin perlu dipertimbangkan kembali.

Karena citra televisi sudah sedemikian kuatnya pada benak penonton, tak ada jeleknya pula diupayakan inovasi pakeliran non-televisi dengan mengambil semangat televisi, seperti semangat yang diambil oleh teater Gandrik yang kemudian diperkenalkan dengan sebutan teatronik itu.

Sebenarnya masih banyak persoalan estetik berkaitan dengan pakeliran yang bisa jadi perbincangan menarik, lebih menarik daripada hanya sekedar meng-ubek-ubek persoalan hubungan profesional antara dalang dengan pesindhen-nya. Kalau hubungan pribadi antara dalang dengan pesindhen sih, memang lebih menarik lagi untuk di-rasani di warung kopi.

Ujung pembicaraan mengenai seni pedalangan, tak lain adalah pasar. Pakem bukanlah hal keramat bagi kreativitas. Tetapi ketika pasar ikut mengacaukannya, inilah yang perlu dipikirkan. Oleh karenanya, berkaitan dengan kreativitas itu, dalang mesti sadar, di mana ia menggelar pakeliran, siapa penyandang dananya, perorangan atau lembaga/instansi. Mendalang pada kesempatan Sarasehan Dalang itu, misalnya, mestinya menjadi momentum yang sangat baik untuk upaya-upaya kreatif mengeksplorasi segenap daya estetik. Sedangkan kesempatan lainnya mungkin lebih tepat untuk upaya “kreatif “ dalam rangka penetrasi pasar, dengan mengedepankan ideologi pasar: waton payu (asal laku). Mungkin begitu. []

Sumber: Jawa Pos

0 urun rembug: