Oleh: Widodo Basuki
Ketua Sanggar Sastra (Jawa) Triwida, Sunarko Budiman, lewat tulisannya yang dimuat majalah Panjebar Semangat menggulirkan gagasan perlunya diadakan Kongres (Tandingan) Bahasa Jawa, untuk menandingi Kongres III Bahasa Jawa yang akan digelar di Yogyakarta, Juli 2001. Tampaknya gagasan Narko itu muncul karena terdorong rasa kesal, karena sebagai pengarang, dan bahkan sebagai Ketua Sanggar Triwida, dia masih harus beli tiket untuk dapat mengikuti KBJ di Yogya itu. Dia harus keluar duit Rp 500.000,00. Lima ratus ribu rupiah. Wah! Itu sama dengan honorarium 10 crita cekak (=cerita pendek berbahasa Jawa). Kekecewaan tambahannya, seperti yang juga dirasakan kebanyakan orang, adalah KBJ yang sudah 2 kali diselenggarakan itu sepertinya tidak menghasilkan apa-apa. Paling banter hanya berhenti sebagai keputusan di atas kertas yang tindak lanjutnya tak karuan juntrungnya.
Kesannya memang emosional. Atau mau mengikuti tren? Sedikit-sedikit bikin tandingan, organisasi tandingan, demo tandingan! Tetapi, sebagai ide, sebagai gagasan, patut juga dihargai. Jika benar nanti terlaksana, tak perlu dipandang terlalu miring. Toh, kekesalan itu tentu dilandasi pula oleh rasa melu handarbeni (=ikut memiliki) bahasa dan sastra Jawa. Jika tidak terlaksana, hanya berhenti sebagai gagasan, sisi positifnya akan muncul jika suara pengarang yang oleh kawan-kawannya dijuluki “Sodrun” itu didengar oleh Panitia Kongres III Bahasa Jawa, sehingga perhelatan yang biayanya sangat besar itu tidak sekedar menjadi Kongres “Omong Kosong” seperti yang sudah-sudah.
Senada, tetapi gagasan Bonari Nabonenar tampaknya lebih netral, walau, ketika dilontarkan pada pertemuan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) ada beberapa orang yang masih memiliki kesan “tandingan” karena masih memakai istilah “kongres”. Yang ada dalam angan-angan Bonari adalah Kongres Satra Jawa. “Teman-teman dari sastra Indonesia sudah berhasil menyelenggarakan Kongres Cerpen (Yogyakarta, …….). Mengapa kita tidak bisa menggelar Kongres Satra Jawa?” Demikian Bonari berapi-api.
“Jika sastra Jawa mati seperti yang pernah diramalkan Esmiet, mungkin saya tidak termasuk orang yang menangisinya. Tetapi sekarang, saya ingin menjerit karena sastra Jawa hidup hanya sekedar hidup, tidak dihormati, bahkan oleh para pengarang dan penyairnya sendiri,:” demikian lanjut Bonari.
Memang, Tjahjono Widijanto dalam acara Orasi Sastra Jawa di Blitar (1993) menuding para pengarang/penyair muda sastra Jawa jauh kalah “gila” oleh para pengarang/penyair muda sastra Indonesia. Para pengarang sastra Jawa rata-rata ya hanya mengarang ala kadarnya. Begitu pula penyairnya. Mereka seperti hanya mengandalkan bakat alam.
Tudingan itu harus diterima, walaupun tidak seluruhnya benar. Juga, termasuk penilaian Halim HD bahwa sastrawan Jawa modern punya stereotip: introvert. Mungkin memang begitu. Karena itulah, kapan lgi kalau bukan sekarang, sastrawan Jawa belajar unjuk gigi, belajar mem-PR(public relation)-i diri sendiri, memabangun komunitas yang sehat, dan menciptakan iklim yang kondusif demi terciptanya karya sastra Jawa modern yang tidak nglelingsemi (=memalukan).
Maka, bagaimanakah komunitas dan jaring komunikasi itu bisa dibangun, bagaimana menciptakan media alternatif untuk mensosialisasikan karya sastra Jawa, bagaimana hadiah sastra Jawa bisa diberikan oleh “orang Jawa” sendiri kepada pengarang/penyair yang berprestasi, bagaimana bisa diupayakan kegiatan-kegiatan bengkel penulisan kreatif, seminar, parade baca cerpen/puisi secara periodik, dan bahkan juga bagaimana cara merayu pemilik dana agar berani mensponsori kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sastra Jawa? Itu bukan pertanyaan-pertanyaan sepele yang bisa terjawab dalam seminar sehari, apalagi setengah hari, dengan pembicaraan setengah hati pula. Karena itulah, perlu adanya Kongres Sastra Jawa. Dan alangkah baiknya bila dapat diselenggarakan sebelum Kongres Bahasa Jawa. Tak perlu mahal. Tetapi harus tepat guna, tepat sasaran, dan tidak ngelantur, sehingga tindak lanjutnya juga tidak jelas.
Ada teman dari Semarang yang sudah menawarkan tempat. Bagus Putu Parto juga menyediakan Kampung Seniman-nya untuk Kongres Sastra Jawa ini. Tinggal duitnya yang belum dapat. “Jika ada lima juta rupiah saja, kami sanggup jadi penyelenggaranya!” Begitu suluk Bagus. Jumlah yang sangat sedikit, tentunya, jika mengingat hasil yang diharapkan. Nah!* (Widodo Basuki, pengurus PPSJS, penggurit pemenang hadiah Rancage Tahun 2000)
* dari Jawa Pos, Minggu, 11 Maret 2001
0 urun rembug:
Post a Comment