Wednesday, 9 January 2008

Tasik-Surabaya dengan Bus Estetika

oleh: Beni Setia

PADA satu minggu terakhir ini saya mengalami peristiwa puisi massal yang agak aneh dan bertolak belakang. Pertama, "Muktamar Penyair Jawa Barat", yang diselenggarakan oleh Sanggar Sastra Tasik di Gedung Dakwah Islamiah, Tasikmalaya, 29-30 Maret 2003. Selain itu, "Malam 1001 Puisi Perdamaian" yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian jawa Timur (DKTJ), Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos, dan Taman Budaya Jawa Timur, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jatim, Surabaya, 4 April 2003.

**
YANG pertama dirancang jauh hari, di muka momen penyerangan Amerika Serikat atas Irak, dan meski dalam acara itu ada pernyataan sikap, tetapi relatif bersih dari kemelut internasional mutakhir. Memang ada diselipkan kalimat protes atas agresi Amerika Serikat, tetapi yang jadi kejaran pokok adalah protes atas tiadanya perhatian pemda dan media massa pada olah kreasi dan publikasi sastra -- terutama puisi. Kenapa begitu? Kenapa eksekutif dan Legislatif tak punya kepedulian pada puisi dan penyair, seni dan seniman?

Dengan latar belakang macam itu, saya seperti sedang melakoni perjalan estetik di ranah puisi estetik. Tidak ada letupan akibat benturan dan konflik sosial. Kalaupun ada selain Deddy Koral atau Taty Hartati yang menurut masalah gender, masalah itu sudah dibungkus dalam kabut estetika dan ekspresi liris. Seperti yang diungkapkan Soni Farid Maulana, Juniarso Ridwan, Nenden Lilies A., atau Sarabunis Mubarok meski dengan ungkapan dan imaji yang keras. Seakan-akan mereka hidup dalam asylum dan terjebak oleh bius asylum -- periksa antologi Muktamar Penyair Jawa Barat.

Lantas mana masalah penggalian liar situs Batu Tulis, lantas mana reaksi masyarakat atas uang kadeudeuh anggota DPR Jawa Barat, dan mana masalah pembantaian sosial atas orang dituduh tukang santet di Ciamis dan Sukabumi? Lalu apa mungkin kita membayangkan masalah embargo atas Irak dan kebijaksanaan Oil for Food sebelum agresi Amerika Serikat akan terhadirkan di dalam puisi mereka? Terlebih pemihakan. Di mana masalah itu jadi bahan bakar protes atas invasi Amerika Serikat ke Irak. Yang saat itu jadi tren demo dan pentas happening art jalanan? Seakan-akan, seperti yang telah disinggung, mereka melarikan diri dari kenyataan sosial dan bebas dalam ranah puisi yang rilis dan penuh kabut emosi dan kilasan imaji. Sebuah asylum selepas kerja.

**
SITUASI kebalikan justru terjadi di Jawa Timur, di mana tiap orang diminta untuk terlibat di dalam ekspresi pernyataan sikap dengan melakukan desakralisasi puisi. Puisi menjadi semacam keranjang sampah di mana setiap orang bisa menulis hal khusus digelar sebagai simpati kepada kemanusiaan dan protes kepada agresi Amerika Serikat c.q. Irak. Nyaris seperti katarsis di dalam terapi psikologi khusus agar setiap orang terbebas dari stres, depresi, atau neurotik, di mana estetika menjadi nomor sekian karena yang dipentingkan adalah opini dan keberanian untuk memihak dan menghujat.

Ketika puisi menjadi sesuatu yang terbuka, ketika sakralitasnya tercabut, mitos orisinalitas tema dan idiom ungkapan di satu sisi, serta ketatnya tuntutan pada kekentalan ungkapan, kepekatan emosi, dan ekonomi kata di sisi lainnya jadi berlebihan. Di titik itu kita menemukan eksemplar, neraka kuantitas yang menggunung menjadi tumpukan sampah. Ada dekadensi meski estetika dan kemurnian ekspresi bukan tujuan. Tujuan mereka adalah pernyataan sikap, penggalangan massa dengan penyamaan persepsi dan visi, dan setelah itu pulang karena melakukan semacam kebulatan tekad. Akan tetapi, apakah puisi harus dimassalkan secara begitu?

Karena itu pula, meski dari sisi lain, puisi bisa menjadi asylum untuk berteriak dan media untuk menyatakan sikap, setelah berhari pengap oleh masalah.

**
ADA dua ekstrem yang -- suka atau tak suka -- memiliki kesamaan, di mana kedua ekspresi itu bermula dari kebutuhan subjektif oleh si penyair. Kontrasnya, pada yang ini hal subjektif penting itu berurusan dengan eksistensi dari aku, sedangkan pada yang lain hal subjektif itu berurusan dengan eksistensi orang lain yang terancam oleh agresi pihak ketiga. Secara ekstrem kedua kontras ini bisa disimpulkan sebagai egoisme ekstrem dan altruisme ekstrem. Keduanya merupakan hasil dari pemihakan. Oleh karena itu, si penyair kehilangan jarak, tidak mampu melakukan pengamatan yang kritis, gagal mencapai pemahaman karena tak berhasil membangun dialog seimbang dalam diskursus batin yang ada di level sadar tak sadar.
Ketika ilham tak didekati dengan kritis dan cerdas, ketika diskursus tidak dibangun dalam kepekaan dan di tengah kedalaman wawasan sehingga muncul jadi tema puisi yang matang, ungkapan jadi terantuk-antuk. Hal terakhir ini terlihat jelas dalam puisi kuantitatif jenis kedua karena dalam ouisi etetik liris terkadang dicapai kematangan ungkapan, dan (puisi) menjadi menonjol karena kematangan ungkapan meski yang diungkapkannya hanya masalah sepele dan mungkin nonsens. Kita pun tahu persis, tragedi puisi Indonesia ada dalam tataran ini, dan terus jadi masalah karena kita tidak pernah bisa membebaskan diri dari kungkungan itu. Terjebak naluri puisi pamflet dan insting liris estetis bermain bahasa. Di titik ini, kita membutuhkan pendekatan lain dalam penulisan puisi.

Menjadi semakin liris saat mengamti realitas sosial, semakin puitis saat menerima dengan ilham dan menggabungkannya ke dalam diskursus mental dengan pengetahuan yang tertanam di alam sadar, setengah sadar, dan bawah sadar, serta sangat ketat memperlakukan kata yang dipilih buat mengungkapkannya di ruang publik sehingga terbentuk jaringan kata yang saling menguatkan dan tak bisa direduksi. Akan tetapi, apakah itu mungkin?

**
DI sini kita sedang menggabungkan dua fase dari momen kreatif penulisan puisi. Fase prapenulisan, yang bermakna menunggu ilham dan mencari ilham -- dan bagaimana ilham itu diolah sehingga mencapai kematangan sebagai tema ungkap puisi yang akan ditulis. Yang disusul dengan fase realisasi tema puisi itu, dengan penulisan, agar tiba ditarap penampakkan memikat di ruang publik, yang melulu berkaitan dan berkutetan dengan masalah bahasa. Di sini seorang penyair melulu dituntut untuk menggeluti hal-hal estetik. Dari mempertimbangkan daya saran kata, membangun representasi simbol dari penjaman imaji dan dalam jaringan kata-kata, mempertimbangkan kemulusan persanjakan dan irama dari kata-kata yang dipilih, sampai ke tipografi yang dipilih untuk memperkuat daya saran kata dan kalimat.

Bila kita menyadari kematangan sebuah puisi ditentukan oleh hal yang dilakukan penyair secara serius dan sungguh-sungguh pada fase penulisan puisi, kita akan menemukan dua konsekuensi. Pertama, puisi baik tak tergantung dari apa tema yang diungkapkan dalam puisi yang ditulisnya -- bahkan macam apa ilhamnya. Kedua, ungkapan, aspek bagaimana, yang melulu berkutetan dengan hal estetik dan teknik mematangkan ekspresi, jadi penting, bisa menjadi faktor vital meski bukan segala-galanya.

Bila hal itu yang dijadikan patokan dan dijadikan alat analisis pada antologi puisi Muktamar Penyair Jawa Barat, kita akan menemukan fakta bahwa tak banyak penyair yang telah mencapai kematangan estetik, kematangan ungkapan. Cecep Syamsul Hari, Soni Farid Maulana, Juniarso Ridwan, dan Nenden Lilies A. jauh di muka. Untuk generasi barunya bisa dicatat Sarabunis Mubaraok, Eriyandi Budiman, Nandang Darana, Atasi Amin, dan Deden Abdul Azis. Dari nama-nama ini, rasanya kontribusi Sarabunis Mubarok dan Eriyandi Budiman telah menjanjikan. Semoga saja.***

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0503/01/khazanah/lainnya02.htm

2 urun rembug:

pak.. apa sebenarnya puisi itu semcamam pelarian para penyair pada keterbatasannya sendiri ya?

dan puisi yang baik.. siapa yg berhak menilai sebenarnya? toh awampun tak mengenal berbagai macam teknik penulisan. apalagi yg bermain main imaji sampai sampai puyeng juga bacanya. hehehehe..

weheheh... ini pertanyaan yangpuitis, jadi jawabannya mesti lebih puitis:)) >>pelarian? iya dan tidak. penyair, seniman, dan sejenisnya adalah orang yang suka hilir-mudik antara dunia batin dan dunia wadag. jadi, semacam gerilyawan juga kali ya? soal penilaian? semuanyaberhak menilai. tetapi untuk acuan ya kita hormat saja kepada para "ahli"-nya. ibarat anggur, ada yang bisa mabuk dengan yang kadar puitisnya 70% dan ada yang baru mulai nggliyeng kalau sudah menenggak yang kadar puitisnya 90%. sajak yang sangat indah bagi si kaliber 90% malah akan mematikan si kaliber 70 %. dan silakan mimilih anggur terbaik kita masing-masing.