Thursday 24 January 2008

Kenaikan BBM dan Kearifan Nasional

Bahan Bakar Minyak (BBM) bukannya telah mengalami kenaikan harga per 1 Oktober lalu, melainkan telah berlipat-lipat ganda. Niki boten mindhak kok Yu, namung ganti regi,’’ kata Mbok Bakul di Pasar Legi di kampung Jawa nun jauh di sana. (Ini bukannya naik kok Mbak, hanya berganti harga). Ungkapan seperti itu akan selalu muncul di pasar-pasar tradisional, ketika harga-harga naik tajam. Ungkapan demikian mencerminkan kearifan penuturnya dalam menyikapi hal-hal yang menekan, mengimpit, menyodok, dan mengiris perasaan. Sekilas terasa sepele, karena ungkapan-ungkapan demikian lazim dilontarkan dengan nada enteng, bahkan dengan nuansa humor yang kental. Padahal, sesungguhnya ia tak lain adalah shock breaker (peredam kejut) yang sangat hebat.

KENAIKAN atau pergantian harga BBM kali ini boleh jadi adalah kenaikan paling tajam di dalam sejarah per-BBM-an kita. Minyak Tanah, salah satu jenis BBM yang sebagian besar pemakainya golongan menengah ke bawah justru naik 185 %! Hampir tiga kali lipat! Dan pada praktiknya, di kampung-kampung nun jauh dari kota, bisa benar-benar tiga kali lipat, atau bahkan lebih!

’’Loh, katanya harga baru minyak tanah dua ribu rupiah? Kok saya beli tiga ribu rupiah?’’ tanya (bernada protes) Mbak Menik kepada tetangga sebelahnya.

’’Lha, memang Mbak, yang dua ribu rupiah per liter itu kan harga di televisi (maksudnya harga resmi yang disiarkan pemerintah melalui televisi)!’’ jawab si tetangga itu enteng. Mbak Menik pun hanya bisa tertawa kecut.

Ibarat pisau pula, ia menikam puluhan juta rakyat miskin yang tampaknya telah benar-benar putus asa dirundung penderitaan. Kenaikan harga BBM, seperti biasanya pula selalu diikuti oleh kenaikan (baca: lonjakan) harga-harga kebutuhan hidup lainnya: dari jasa angkutan hingga kebutuhan pokok yang ujung-ujungnya hanya membuat rakyat kecil semakin menderita.

Hebatnya, dalam keadaan tak henti-henti digulung penderitaan, rakyat kecil itu masih bisa tertawa! Termasuk, melalui SMS (short massage service) alias sandek (pesan pendek) berantai yang beredar pada tanggal 30 September ini, ’’Kabar gembira, BBM nggak jadi naik, bahkan kita akan bebas fiskal jika ke luar negeri. Ikuti penjelasan selengkapnya oleh Presiden malam ini di televisi dalam acara Mimpi Kali Ye!’’ Lalu, keesokan harinya setelah kenaikan harga BBM diumumkan, bertaburan pula sandek, kira-kira begini, ’’Kenaikan BBM memang terbukti mengurangi rakyat miskin. Dari setiap sejuta rakyat miskin, 20 orang mati kelaparan, 20 orang bunuh diri karena stress, 20 orang mati dihajar massa karena mencuri, dan bahkan yang barangkali tidak tergolong miskin pun ikut-ikutan mati kena bom yang meledak lagi di Bali.’’

Kita boleh berdebat, apakah pemilik telepon genggam yang ikut andil dalam penyebaran sandek berantai itu benar-benar tergolong miskin. Yang pasti, mereka adalah golongan yang sebenarnya ikut kesal dan bahkan marah akibat lonjakan harga BBM itu, kelompok masyarakat yang sebenarnya kritis, menyetujui analisa para pakar yang menulis artikel di koran-koran yang hampir semuanya mengecam atau setidak-tidaknya menyayangkan ’’kesewenang-wenangan’’ Pemerintah, tetapi merasa bahwa teriakan para cendekiawan dan kaum yang kritis itu hanya akan menjadi teriakan musafir kehausan di tengah padang pasir. Musafir itu hanya akan mendapati suaranya sendiri yang menggema di udara dan kembali memantul dan memenuhi genderang telinganya sendiri. Mungkin ia akan berteriak sampai mati. Mungkin juga akan lebh baik seandainya ia bisa tertawa, betapapun kecutnya, sambil merangkai kata-kata bijak, berlomba-lomba menunjukkan kearifan pribadi yang dengan teknologi selular dalam sekejap bisa berkembang menjadi kearifan nasional!

Golongan yang kritis telah bertubi-tubi mempertanyakan, mengapa bukan Petamina yang diurus dulu untuk membersihkan koruptor, pencuri minyak (dengan pipa bawah laut yang edan-edanan itu), misalnya, sehingga Negara tidak terlalu merugi dengan tidak tergesa-gesa melonjakkan harga BBM. Juga, mengapa Pemerintah tidak memilih menarik kembali harta Negara yang disimpan di rekening para koruptor kakap agar bisa segera disalurkan untuk menekan angka kemiskinan, sehingga jika kelak subsidi BBM dicabut pun rakyat kecil tidak jadi sedemikian klenger?

Hebatnya, tampaknya pertanyaan-pertanyaan kritis itu pun akhirnya terpental oleh hanya sebuah retorika bahwa ’’kebijakan Pemerintah’’ melonjakkan harga BBM ini ibarat sebuah pil pahit. Seketika terasa pahit, tetapi efeknya akan menyehatkan untuk jangka yang lebih panjang ke depan.

Pada akhirnya, orang atau siapapun boleh mengadakan jajak pendapat dan kemudian mendapati popularitas Pemerintahan sekarang ini menurun drastis berbanding terbalik dengan lonjakan harga BBM, demo boleh marak di mana-mana, tetapi satu hal pantas dicatat: Pemerintah telah menuai sukses gemilang dengan ’’kebijakan’’ melonjakkan harga BBM kali ini. Apakah semua itu berkat efektivitas iklan yang dipasang di media cetak dan ditayangkan di media elektronik?

Ah, jangan-jangan sandek berantai itu yang sesungguhnya lebih sakti! Ah, jangan-jangan sandek berantai itu juga diciptakan oleh ’’Pemerintah’’ seperti halnya sandek-sandek yang secara resmi disebarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, ’’Mari kita dukung kebijakan kenaikan harga BBM, dan mari kita awasi penyaluran dana kompensasinya kepada rakyat miskin….’’

Jika dugaan-dugaan itu tidak meleset, berarti Pemerintah telah dengan demikian jeli melihat potensi budaya dan sekaligus memanfaatkan titik sensitifnya untuk kepentingannya. Satu hal yang kurang adil sebenarnya, jika mengingat tuntutan untuk dibentuknya sebuah Kementerian Kebudayaan yang mandiri (tidak hanya nggandol di Departemen Pariwisata atau Departemen Pendidikan) yang ternyata sudah diteriakkan oleh para budayawan kita sejak tahun 1945 (lihat rekomendasi Kongres Kesenian Indonesia II, Padepokan Pencak Silat, Kompleks TMII, Jakarta, 26 – 30 September 2005 seperti yang dimuat Jawa Pos Minggu, 4 Oktober 2005).

Rakyat sudah arif. Sebagaimana Ronggo Warsito tidak perlu melampiaskan kekecewaannya kepada kerajaan dengan tindakan makar atau setidaknya membentuk partai baru, melainkan justru mengelola kegeramannya hingga kemudian muncullah Serat Kalatidha yang terkenal itu (… sabeja-bejane wong lali isih luwih beja sing eling lawan waspada = Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa/kalap masih lebih beruntung [mereka] yang [selalu] ingat dan [selalu] waspada).

Tetapi, kok ya kebangeten (keterlaluan) jika Pemerintah hanya bertindak sebagaimana Horgroonje, yang mendalami budaya masyarakat Aceh untuk kemudian menekuknya demi kepentingan Pemerintah Belanda (baca: penjajah).[]

0 urun rembug: