Wednesday 23 January 2008

Dari Otonomi Daerah ke Seniman Sound System

Setelah tekun mengikuti sebuah diskusi seputar kesenian, seorang teman berkomentar, “Kok, seniman di sini tampaknya lebih suka ribut berdebat daripada berkarya, ya?” Teman saya itu cakap menangkap suasana, tetapi kepongahan dan sok keminter-nya membuat ia menghasilkan simpulan yang tolol. Tentu di dalam pikirannya bercampur-aduk pengertian antara seniman, pemerhati kesenian, dan pekerja seni. Tampak pula ia menuntut seniman bekerja seperti buruh pabrik, sehingga jangan buang-buang waktu untuk berdiskusi atau berdebat. Bekerjalah. Bekerja, dan bukan berkreasi? Dengan kata lain orang demikian akan menilai karya seniman hanya secara kuantitatif, bukan kualitatif.

Padahal, banyak persoalan muncul di dalam upaya meningkatkan mutu kesenian kita. Misalnya yang berkaitan dengan era otonomi daerah. Apakah otonomi daerah membawa angin segar pula bagi kehidupan kesenian, termasuk senimannya, seperti halnya bagi sektor kehidupan lainnya?

“Dalam praktiknya (yang keliru –bon), otonomi lebih banyak diterima daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal lainnya. Akibatnya, UU 22/1999 lebih mencerminkan pengaturan tentang "otonomi pemerintahan daerah" daripada "otonomi daerah" itu sendiri. Hal ini bisa disimak dari gelombang devolusi kewenangan yang teramat besar dari pusat ke daerah, yang disusul dengan penataan kelembagaan yang cenderung gemuk dan membebani anggaran. Akibatnya mutu pelayanan publik bukan semakin membaik, namun beban masyarakatlah yang justru bertambah berat dengan ditetapkannya berbagai perda tentang pungutan retribusi.” Begitulah, dengan bagus Tri Widodo W Utomo membuka artikelnya yang berjudul Otonomi dan Ancaman Otoritarianisme di Daerah (Kompas, 1 Mei 2003).

Nah, salah satu contoh perda yang mencerminkan otoritarianisme daerah (kabupaten/kota) itu ialah Perda Kabupaten Tuban 13 Mei 2003 soal Retribusi Seniman. Banyak kalangan mempersoalkannya, terutama kalangan seniman sendiri. Salah satu raksi paling keras ialah dari seorang sastrawan Asia Tenggara asal Lamongan, Viddy AD Daery yang mengekspresikan kegeramannya atas Perda itu dengan tulisan bertajuk Memeras Ya Memeras tetapi Jangan “Nggragas” (Kompas-Jawa Timur, 18 Desember 2003).
Pada takaran yang lebih kurang sama, saya pun merasa geram. Tetapi, berbeda dengan kegeraman Viddy, saya menjadi geram terutama ketika menyadari betapa miskinnya pemahaman pemerintah dan siapapun yang terlibat pembuatan Perda itu terhadap kesenian. Kebetulan, secara sekilas saya sempat ikut membaca fotokopian Perda Kabupaten Tuban 13 Mei 2003 soal Retribusi Seniman itu.

Bagi pemerintah, usaha menaikkan pendapatan dari sektor pajak adalah halal hukumnya. Boleh-boleh saja, tetapi bisa jadi persoalan jika dalam penghimpunan pajak itu terlihat dan terasa adanya ketidakadilan. Pajak dikenakan atas harta kekayaan atau pendapatan. Maka, semakin kaya seseorang, semakin besar pendapatannya, seharusnya semakin tinggi pula pajak yang mesti dibayarkan kepada negara. Padahal kenyataannya, rakyat kecil dan kaum miskin, rasanya, adalah pembayar pajak terbesar. Sebutlah seorang petani, yang harus membayar pajak atas sebidang sawah, ladang, atau pekarangannya, terutama yang terkenal dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan itu. Terlambat sedikit saja, mereka diuber-uber, didesak-desak, bahkan spanduk-spanduk dibuat untuk mengingatkan mereka. Pernahkah dibuat spanduk untuk mengingatkan para konglomerat, misalnya agar tidak memanipulasi jumlah pajak yang harus mereka bayarkan? Rakyat kecil, walau tidak secara langsung, sebenarnya bahkan juga membantu membayarkan pajak para konglomerat dan para pengusaha besar itu. Jangan lupa, harga barbagai barang yang harus dibeli rakyat kecil menjadi mahal karena selain biaya produksi dan distribusi, termasuk di dalam harga itu adalah juga biaya promosi dan pajak.

Kita bisa pula menghitung, berapa besar dana yang bisa dikorek-korek pemerintah melalui pajak, apalagi dari para seniman miskin? Dalam sebuah talk show yang disiarkan SCTV (Rabu Malam, 17 Desember 2003), Kwik Kian Gie mengatakan bahwa dana yang bisa didapat (baca: dihemat) Pemerintah sungguh luar biasa besarnya jika korupsi bisa ditekan sedemikian rupa. Tetapi ini juga bukan pekerjaan yang gampang, sehingga perlu pula dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kembali ke persoalan pajak dan seniman. Rasanya memang jadi humor pahit ketika Pemerintah “berani” memungut pajak dari seniman/kesenian miskin. Sebut saja pemain ludruk atau ketoprak yang hanya mendapatkan honor lima ribu rupiah untuk satu malam. Itu pun tidak mesti setiap malam mereka berkesempatan manggung. Kalau mereka diperas (meminjam istilah Viddy) bukan lagi keringat yang menetes, tetapi darah. “Kematian” mereka sudah begitu dekat. Padahal, Pemerintah adalah lembaga yang paling bertanggung jawab melestarikan seni/budaya bangsa. Ironis sekali. Nah, kalau pajak, retribusi, atau apapun namanya itu ditarik dari seniman kaya seperti Mas Dibyo (pelukis, tinggal di Tuban), itu masih masuk akal. Tetapi kalau seniman miskin, yang mestinya disantuni malah diharuskan membayar pajak, tidakkah Pemerintah takut kuwalat atau terkutuk?

Celakanya, Pemerintah, apalagi pemerintah kota/kabupaten semacam Tuban itu, tampaknya tidak memiliki wawasan budaya, wawasan seni yang cukup, jika tidak boleh disebut tidak memilikinya sama sekali. Saat membaca fotokopian Perda Retribusi Seniman itu, salah seorang teman saya tiba-tiba naik pitam dan inilah lebih kurang kata-katanya: “Saya sungguh tak habis pikir. Bukankah Perda itu dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Bupati? Di antara sekian banyak orang itu, mestinya kan ada yang pernah bersekolah. Dan oleh karenanya masih ingat bahwa seni itu bagian dari budaya. Ada sekian cabang seni, ada seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater, seni sastra, dan seterusnya. Maka, atas dasar apa mereka memasukkan seorang pemilik sound system sebagai seorang seniman ini? Apa nggak gila!”

Memang, di dalam fotokopian Perda Retribusi Seniman Kabupaten Tuban itu tercantum “pemilik sound system” sebagai seniman perorangan, seperti halnya: pramugari, waranggana, sindhen, dhalang, pemain ludruk, pemain ketoprak, dan seterusnya. Nah, bukankah memang selayaknya jika kemudian ada pertanyaan, “Sekolah manakah yang mengajarkan pengelompokan semacam itu?”

Kalau Pemerintah sudah tidak paham benar mana seniman, mana tukang, mana pengusaha, mana calo, janganlah kita terlalu berharap. Apalagi bermimpi seperti Viddy, memimpikan kehidupan seni/seniman yang sejahtera seperti di negeri tetangga, Malaysia dan Singapura.

Itula humor pahit yang mesti kita telan hari-hari ini. Maka, jangan terkejut jika suatu harinanti Pemerintah Kabupaten Tuban memilih seorang pemilik sound system untuk menerima penghargaan seni tahunan.[]

Pernah dimuat di Surabaya News

0 urun rembug: