Dalam kumpulan esainya yang dibukukan dalam Solilokui (1982) Budi Darma mengatakan bahwa karya sastra yang berhasil, yang bermutu, dan terutama yang berhak atas sebutan sebagai karya besar antara lain ditandai oleh kekuatannya memberikan inspirasi kepada pengarang-pengarang lain. Sebagai karya besar, kisah Mahabaratha dan Ramayana telah membuktikan hal itu.
(1)
CERITA wayang pada mulanya, konon, berbentuk lirik, diciptakan sebagai pengejawantahan ajaran-ajaran agama (Hindu). Cerita wayang, baik yang bersumber dari Mahabharata maupun Ramayana, menggambarkan tingkah laku, perbuatan, dharma, manusia dari yang paling jahat sampai yang paling mulia. Ada nistha, madya, utama. Ramayana dan Mahabharata itu kemudian di-Jawa-kan, diprosakan, dimasuki unsur-unsur baru semisal tokoh-tokoh panakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Tokoh-tokoh kisah Mahabharata dan Ramayana itu kemudian divisualisasikan dalam bentuk wayang (kulit), yang kemudian melahirkan bentuk pertunjukan yang kita kenal dengan wayangan, atau pakeliran. Kemudian juga berkembang pertunjukan wayang orang, teater tradisional yang mengambil cerita dan penggambaran sosok fisik tokoh-tokohnya seperti yang ada pada pakeliran.
Setelah WO Sriwedari (Sala), Ngesti Pandhawa (Semarang), dan Sri Wandowo (Surabaya), kini pementasan wayang orang tinggal sejarahnya. Berbeda dengan kethoprak yang ketika nyaris “bangkrut” muncul versi glenyengan-nya (baca: ketoprak humor) yang dipelopori Timbul Suhardi, wayang orang tidak bermetamorfose menjadi wayang orang humor. Tetapi versi pakeliran-nya, pergelaran wayang kulit, makin berkembang. Tampaknya, yang belakangan ngetren adalah pakeliran campursari. Kisah wayang glenyengan atau wayang humor justru berkembang dalam versi tulis, antara lain seperti yang muncul setiap edisi Minggu harian Jawa Pos dengan merek dagang Wayang Opo Maneh (ejaan bahasa Jawa-nya yang benar adalah: Wayang Apa Maneh).
(2)
Salah satu faktor yang membuat seni pakeliran atau seni pedalangan tetap eksis atau bahkan berkembang adalah fungsi ritual-nya, sebagai pementasan untuk memanjatkan semacam doa, tolak bala, untuk murwa kala atau ruwatan. Kisah Mahabharata maupun Ramayana juga menyediakan penggalan-penggalan kisah yang bisa sangat kontekstual dengan kepentingan sebuah acara, misalnya lakon Laire Wisanggeni untuk selamatan sepekan atau selapan (36 hari) kelahiran seorang bayi. Lakon Tumurune Wahyu Makutharama, atau wahyu lainnya bisa dipentaskan untuk pesta khitanan. Harapannya, terutama anak yang dikhitan (dulu paling tidak sudah berusia 15 tahun atau lebih, tidak seperti sekarang bayi lahir bisa langsung dikhitan atau disunat. Untuk pesta pernikahan bisa diambil lakon Rabine Gathutkaca atau tokoh-tokoh protagonis yang lain. Jangan sampai seorang dalang mementaskan lakon Rabine Mbilung untuk memeriahkan sebuah acara pernikahan, kalau tidak ingin “remuk.” Lakon Rama Tambak bisa dipentaskan untuk peresmian pembangunan jembatan. Pembangunan rumah atau bangunan gedung lainnya bisa diresmikan atau “disyukuri” dengan menggelar pakeliran lakon Mbangun Candhi Saptaarga, atau Semar Mbangun Kahyangan. Bahkan, pada masa kejayaannya, Soeharto pernah memesan lakon Semar Mbabar Jatidiri untuk memperkokoh citranya sebagai pemimpin bangsa.
Kisah Mahabharata maupun Ramayana adalah kisah panjang, sangat longgar untuk dipelintir-pelintir, diadaptasi, bahkan di tangan kreator sekaliber Sunan Kalijaga kisah yang merupakan peragaan ajaran Agama Hindu itu bisa menjadi sangat Islami.
Karena sifat longgarnya itulah, pakeliran bisa dimanfaatkan untuk “nyaris” segala keperluan termasuk: kritik, adu domba, propaganda, kampanye. Maka, karena itulah tampaknya, seorang tetangga saya yang tergolong berbakat harus puas menjadi pegawai negeri yang dikotak-kan, kemudian dipensiun dini, dan gagal mengantongi SIM (surat izin mendalang) karena pada masa itu ia dianggap tidak “bersih lingkungan.”
(3)
Kisah Mahabharata dan Ramayana juga menjadi salah satu sumber inspirasi para sastrawan modern kita yang kemudian menulis cerita pendek atau bahkan novel berlatar belakang cerita wayang. Yudhistira menulis cerita pendek berjudul Wawancara dengan Rahwana. Ada juga Yanusa Nugroho yang telah melahirkan sekian banyak cerpen berlatar belakang cerita wayang. Putu Wijaya pun menulis novel, misalnya Pool yang berkisah tentang seorang yang bermimpi bertemu Semar.
Perhatikan kutipan wawancara Sanjaya (S), seorang wartawan perang Bharatayuda (Yudhis tampaknya alpa bahwa Rahwana alias Dasamuka bukannya mati di padang Kurusetra tempat berlangsungnya perang besar Bharatayuda, melainkan pada perang besar yang lain, yakni Perang Brubuh Alengkadiraja) dengan Rahwana (R) ini:
S: “Apakah keuntungan anda dengan kekuasaan semacam itu?”
R: “Selalu saja begitu. Setiap orang selalu berpikir mengenai keuntungan dan kerugian. … Betapapun durjananya, kasta saya adalah kesatria. Kesatria tidak pernah berpikir seperti pedagang. Keuntungan atau kerugian tak ada artinya. Yang penting bagi saya adalah konsistensi terhadap cita-cita perjuangan. Saya harus memelihara kefatalan dan kehancuran martabat manusia. Tugas dan kewajiban sayalah yang membangun keangkaramurkaan di muka bumi ini.”
S: “Apakah tugas anda itu tidakmembuat anda pedih?”
R: “Aaah! Bagaimana sih, anda ini? Kepedihan, kegembiraan dan segala macam bunyi perasaan semacam itu, sebagaimana keuntungan dan kerugian, tak ada artinya bagi saya. Kessatria tidak secengeng itu. Seorang kesatria yang menggenggam kekuasaan besar, tak boleh menjadi melankolis. Ia harus tegas mengemban tugasnya. Sentimentalitas semacam itu hanya milik para budak. Para sudra. Sebab sekali seorang kesatria membiarkan dirinya terhanyut oleh perasaan, ia akan goyah. Kekuasaan akan luput dari tangannya. Sesudah itu adalah keruntuhan. Paham? Seorang kesatria pantang kehilangan apa yang sudah menjadi miliknya. Milik itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Tak ada kompromi.”
S: “Juga seandainya orang yang berada di bawah kekuasaan anda sengsara?”
R: “Kesengsaraan dan penderitaan para kawula adalah bagian terpenting dari kekuasaan mutlak. Tanpa ada kesengsaraan, tidaklah ada artinya sebuah kekuasaan. Tanpa penderitaan orang anyak bahkan tak mungkin sebuah kekuasaan bisa hadir dan kukuh.” (Wawancara dengan Rahwana, Grafiti Pers, 1982).
“Wayang” tampaknya telah menyelamatkan Yudhis dengan cerpennya yang setajam itu. Jika saja Yudhis tidak mengemasnya dengan latar kisah Ramayana, bisa-bisa dia berurusan dengan Koramil.
Sekali lagi, cerita wayang memang sangat longgar dan sangat lentur. Selain versi cerita pokoknya yang bisa melahirkan sekian banyak sanggit (versi cerita berdasarkann penafsiran tertentu), daricerita pokok itu bisa dibuat cerita-cerita carangan-nya, yang makin kondusif juga untuk mengemas kritik terhadap kekuasaan yang korup, misalnya, atau untuk kepentingan-kepentingan lain. Lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Menjadi Raja) misalnya, sepanjang kisahnya adalah kritik terhadap kekuasaan yang korup. Ketika Sang Raja menjadi lalim, Rakyat (yang dipersonifikasikan dengan Petruk) mengambil alih kekuasaan, walau hanya untuk sementara.
Semakin longgar dan semakin lentur lagi adalah versi glenyengan-nya, seperti yang bisa kita nikmati lewat rubrik Wayang Opo Maneh. Oleh karena itulah, cerita wayang humor, glenyengan, guyon-maton, guyonn parikena, itu bisa menjadi media yang sangat enak untuk mengkritik atau mengomentari hal-hal yang bersifat aktual. Oleh karenanya, dalam hal Wayang Opo Maneh, kebijaksanaan Jawa Pos untuk menyerahkan tanggung jawab mengisi rubrik itu kepada seorang saja adalah tepat, karena akan ada kendala teknis menyangkut persoalan redaksional jika rubrik itu dibuka untuk umum, misalnya ketika dalam sepekan ada sekian kiriman cerita dengan topik yang sama, maka yang tidak termuat pada pekan itu serta-merta akan kehilangan kesempatan. Ini berbeda dengan rubrik cerpen, misalnya.[]
0 urun rembug:
Post a Comment