Monday 28 January 2008

Seruling Asmara

Aku masih ingat dan haqul yakin bahwa tidak ada yang salah pada ingatanku, bahwa hari itu adalah hari Senin-Legi malam Selasa-Kliwon. Aku bukan panitia, tetapi menjadi salah seorang pengisi acara pagelaran seni di salah satu jurusan di Universitas 21 April pada waktu itu benar-benar membuatku sibuk sejak pagi. Aku hanya harus menyanyikan dua buah lagu, Jaka Lelur dan Minggat. Aku sibuk terutama bukan di fisik, tetapi di batin. Aku mesti tampil prima karena ini akan menjadi penampilan pertamaku di almamaterku (aku lulus dari Jurusan Sastra Indonesia Universitas 21 April dua tahun lalu).

Untunglah, akhirnya acara gladhi resik dari pukul tiga hingga empat sore berjalan lancar. Bahkan di luar dugaanku, aku merasa mendapatkan suntikan semangat yang luar biasa dahsyatnya. Kekuatan asmara? Itulah yang kurasakan bekerja di dalam jiwa-ragaku, jika terlalu mewah kalau aku menyebutnya sebagai kekuatan cinta.

Suara seruling itulah! Oh, suara serulingnya ataukah peniupnya? Entahlah. Yang pasti kurasa adalah, saat menyanyi, rasanya semua suara instrumen musik Campursari Tresnalaras hilang ditelan oleh suara seruling itu. Entah bagaimana aku harus menggambarkannya. Aku hanya merasakan bahwa hanya suara seruling itulah yang menuntunku menyanyi. Dengan suara seruling itulah suaraku, vokalku, jalin-menjalin, pilin-memilin, meniti anak tangga di udara, menuju awang-awang, menuju langit, mengangkasa, mendekati Kahyangan Batara Kama dan Dewi Ratih? Oh, betapa indahnya.

Pantaskah aku mengagumi diriku sendiri? Oh, tidak! Aku hanya mengalami –atau jangan-jangan hanya merasa mengalami— sebuah keharmonisan, paling tidak antara suaraku dengan suara seruling itu, yang terbangun sedemikian cepat. Nah, tapi apakah aku hanya jatuh hati pada seruling? Tentu tidak. Aku jatuh hati pada peniupnya. Pada orangnya. Dan tentu lebih dari sekedar kebetulan jika peniup seruling itu ialah laki-laki yang telah kukenal sejak aku menginjakkan kaki pertama kali di Universitas 21 April.

Ia adik kelasku. Namanya Turasmara. Entah, aku tak tahu dan tidak pernah menanyakannya, apa arti namanya itu. Mungkin aku lupa menanyakan makna di balik nama itu karena selalu terpesona oleh ketampanannya. Dulu memang begitu, tetapi sekarang, kehidupan telah cukup mengajariku, dan aku tidak gampang terpesona oleh ketampanan laki-laki. Dulu aku dibuatnya mabuk tak terobati, oleh ketampanannya. Ia tak pernah menerima cintaku, walau juga tidak terang-terangan menolak.

’’Kita bersahabat saja. Aku jadi seperti adikmu, kau jadi kakakku. Itu lebih dari cukup bagiku,’’ katanya.

Yang lebih menyakitkan hatiku, ia selalu bercerita dan bahkan curhat ke aku jika ada sesuatu yang menurutnya istimewa dalam hubungannya dengan kekasih-kekasihnya. Ia berganti pacar sampai empat atau lima kali dalam setahun. Kurang ajar, ya? Tetapi aku lebih kurang ajar lagi. Aku tetap saja menginginkannya, menginginkan cintanya, menginginkan tubuh, keringat, jerit, dan tawanya! Tetapi tak pernah mendapatkannya. Bahkan, ia tegas menolak ketika aku berusaha merenggut keperjakaannya secara kasar (Ah, apa iya ia masih perjaka? Mengakunya sih, begitu). Ia terlalu kukuh. Tetapi waktu itu aku menganggapnya terlalu angkuh.

’’Jangankan yang seperti ini, yang nyata begini,’’ katanya, ’’sedangkan di daalam mimpi pun aku tak pernah membiarkan keperjakaanku terenggut sebelum aku menikah dengan perempuan pilihanku.’’

’’Nah, pilihlah aku. Lalu kita menikah, ddan jika kau tetap tak bersedia menyerahkan keperjakaanmu, maka renggutlah keperawananku,’’ tantangku.
Tetapi ia hanya tertawa. Tetapi tampaknya gemas juga. Diraihnya bahuku, dipeluknya aku, lalu diciumlah keningku. Enak? Samasekali tidak! Nanggung!

Itu sekitar tiga tahun lalu, ketika ia masih aktif di organisasi pecinta alam. Tak pernah sekali pun kulihat ia bermain musik. Yang aku tahu selama itu, keseniannya ya olahraga itu. Paling banter seni beladiri, pencak silat.

Kini, ia tampil dengan wajahnya yang dulu, yang tampan. Yang sungguh mengejutkan adalah, sejak kapan ia belajar bermain seruling dan kemudian bergabung dengan grup campursari Tresnalaras itu?

Ah, jika saja bisa kembali sejenak ke masa lalu, tentu aku dapat mengoreksi kesalahanku.

Begitu lulus, membawa hati yang patah, lalu kubiarkan tubuhku terjatuh ke dalam pangkuan lelaki yang sesungguhnya tidak begitu menarik. Kaya sih kaya, tetapi jiwanya kering. Setiap hari yang ada di hati, otak, dan bahkan di kelopak matanya hanyalah angka-angka. Buktinya, ia selalu menyebut angka. Segala sesuatu diukur dengan angka. Sedangkan aku lebih suka mengukur segala sesuatu dengan nada.

Aku suka menyanyi. Sejak usia belasan tahun aku sudah suka menyanyi. Lagu apa saja, aliran musik apa saja yang sempat kupelajari. Aku tidak pilih-pilih lagu dan jenis musik pada awalnya, sampai akhirnya merasa lebih pas di campursari. Aku sadar terlalu jauh jalan menuju ibukota. Dulu belum ada AFI, belum ada Indonesian Idol. Maka kupikir, selayaknyalah jika kemudian aku memilih setia kepada campursari byang telah membawa, menerbangkanku ke negeri-negeri impian. Maksudku, negeri yang semula hanya bisa kuangankan di dalam lamunan: Singapura, China, Strali, Belanda. Sumpah setia yang nyaris kukhianati sendiri karena kekangan suamiku. Untunglah ada perempuan lain yang secara tidak langsung mempercepat proses pelepasan diriku dari kekangannya.

Aku bercerai dengan Mas Aryok. Baru tiga bulan yang lalu. Kami bertengkar sedemikian hebat, begitu secara tak sengaja kutemukan sisa kondom di saku celananya. Untungnya, kami belum punya anak.

Aku menyesal, mengapa serta-merta memutus hubungan --setidaknya hubungan persahabatan-- dengan Turasmara begitu aku lulus kuliah. Kini aku tahu, seharusnya sesekali aku mengontaknya. Setidaknya untuk menanyakan kabar terakhirnya, hingga aku tidak perlu terkejut ketika tiba-tiba sudah menemukannya sebagai seorang peniup seruling.

’’Kini aku mencintai seruling ini lebih dari apa pun juga,’’ katanya setelah menceritakan kisah cintanya yang ternyata tak kalah konyol dengan kisah cintaku.

’’Apakah itu nggak bisa diubah?’’ tanyaku.

’’Diubah bagaimana?’’

’’Sasarannya….’’

Lalu pembicaraan kami pun melantur tak karuan. Kami sama-sama senang, karena pagelaran seni itu telah sukses.

’’Ra…?’’

’’Apa?’’

’’Aku bosan menjadi manusia.’’

’’Haaa…?’’

’’Aku ingin menjadi sebuah seruling. Maukah kau meniupku?’’
Aabrakadabra! Dan jadilah aku sebuah seruling. Irama tiupan Turasmara benar-benar bagaikan menerbangkanku, membuatku melayang-layang di antara gemerlap bintang. Rembulan pun serasa hanya tinggal sejengkal dari ujung telunjukku.

Aku terus meliuk-liuk di antara serpih awan, menerjang rintik hujan. Inilah kenikmatan yang bertahun-tahun hanya dapat kuangankan. Sekarang menjadi kenyataan. Jemari Turasmara, tiupan lembutnya, sentuhan lidahnya, membuatku makin melambung, melayang-layang di awing-awang.

Lengking suara itu, oh, suaraku sendiri? Dan kini, kami telah menciptakan sebuah lagu baru: Kehidupan Baru.[]



Catatan:
Minggat adalah judul lagu karya Sonny Josz
Jaka Lelur adalah judul lagu karya Ranto Edy Gudel

0 urun rembug: