Thursday 10 January 2008

Dari FSS ke Perda Kesenian di Jawa Timur

Saya merasa mendapatkan banyak tambahan informasi dari dua tulisan yang masing-masing dibuat oleh Amang Mawardi...... dan Henry Nurcahyo....... Tulisan Amang Mawardi yang dinilai Henry terlalu banyak bumbu subyektivitasnya pun bagi saya tetap sangat menarik. Saya jadi sedikit lebih melek terhadap FSS (Festival Seni Surabaya) berkat dua tulisan itu.

Adalah menarik, cerita Amang Mawardi bahwa seorang Kadaruslan pernah kepothokan soal dana (FSS 1996) hingga harus menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya. Ini mengingatkan saya kepada sosok Suparto Brata yang pada awal dekade 80-an harus menggadaikan sepeda motor bututnya untuk nomboki acara Sarasehan Jatidiri Sastra Daerah di Bojonegoro. Suparto Brata telah mendapatkan penghargaan Walikota Surabaya (saya lupa tahunnya) dan bahkan juga Penghargaan Gubernur (Jawa Timur). Lalu, kapan penggerak kesenian sekaliber Kadaruslan itu mendapatkan Penghargaan Gubernur Jatim, sementara yuniornya, Henry Nurcahyo dan Amang Mawardi telah mendapatkannya sekian tahun yang lalu?


Adalah juga sangat menarik, melihat perjalanan festival seni yang kemudian kita kenal sebagai FSS ini, dari semangat swasta, semangat inpres, dan kemudian masuknya Jawa Pos sebagai sponsor utama seperti yang dipaparkan Henry dalam tulisannya itu. Pada tataran praktisnya saya juga sedikit tahu bahwa Panitia FSS setiap tahun selalu senam jantung dalam urusan dana. Tahun 2004 lalu saya sempat menemani --hanya sekadar menemani-- Arief Santosa, wira-wiri Surabaya – Gresik mengantarkan proposal dan melacaknya untuk mengetahui apakah mendapatkan respon positif. Juga ke salah satu perwakilan pabrik rokok yang berkantor di kawasan Kedungdoro Surabaya. Saya pun kemudian jatuh cinta pada rokok sponsor FSS itu.


Panitia FSS makin senam jantung lagi, hingga kini, karena lembaga-lembaga pemerintah seperti Pemprop, Pemkot (melalui Dinas Pariwisata) tampaknya memberikan bantuan sesuai dengan mood pejabatnya. Maksudnya, tidak ada plafon dana yang jelas, misalnya untuk iven sekaliber FSS itu Pemkot paling sedikit harus membantu berapa, Pemprop berapa, dan seterusnya. Kita menuntut kejelasan itu karena kesenian, kebudayaan, adalah juga bidang garap pembangunan yang pasti ada cantolannya di dalam UUD 45, TAP MPR, GBHN, dan seharusnya pula di dalam rencana strategis pembangunan nasional, daerah, kabupaten/kota, dan oleh karenanya pula mesti ada mata anggarannya di dalam RAPBN/RAPBD.

Iven kesenian sekaliber FSS yang sekian tahun lalu saja sudah menarik perhatian dunia internasional (Australia) yang bahkan menawarkan networking yang tentu akan sangat positif jika bisa terus dibangun, selayaknyalah diberi dukungan, dimasukkan ke dalam iven yang layak memperoleh bantuan dana yang jelas dari pemerintah. Hanya dengan kejelasan itu kita bisa berharap banyak dari FSS. Harapan itu, antara lain, FSS tidak sekadar menjadi proyek rog-rog asem seperti sekian banyak festival lainnya, yang, kadang juga tak jelas kelanjutannya.


Dengan bahasa yang lebih jelas, barangkali, sesungguhnya saya hanya ingin mengatakan bahwa kita harus segera keluar dari situasi ketidakpastian ini. Langkah yang paling strategis, tampaknya, adalah segera mengamandemen perda yang meliputi wilayah kesenian, syukur-syukur bisa segera dibuat (jika selama ini memang belum ada) Perda Kesenian.


Adalah sangat naif jika lembaga-lembaga yang sungguh gagah di nama: Dewan Kesenian (Surabaya dan Jawa Timur), misalnya, selama ini juga hanya diberi dana secara improvisatoris. Lebih celaka lagi, jumlahnya juga sangat memalukan. Sebagai perbandingan, Dewan Kesenian Riau mendapatkan dana operasional Rp 1,5 milyar/tahun, sedangkan Dewan Kesenian Jawa Timur Rp 100 juta/tahun. Seorang pengurus harian Dewan Kesenian Jakarta digaji beberapa juta per bulan, sedangkan pengurus harian Dewan Kesenian Jawa Timur hanya mendapatkan ganti uang transportasi untuk rapat Rp 75 ribu/sekali rapat dengan frekuensi rapat rata-rata sekali dalam sebulan.

Cak Kadar (Kadaruslan) adalah penggerak kesenian yang selalu jadi geram ketika mengingat bahwa sering seniman terpaksa menjadi ’pengemis’ membawa proposal kesana-kemari untuk mendapatkan bantuan dana keseniannya. Lebih repot lagi, banyak pihak: pelajar, mahasiswa, bahkan komunitas seni, menganggap Dewan Kesenian Jawa Timur adalah tempatnya uang, sehingga proposal untuk meminta bantuan dana pun terus berdatangan. Mereka, para pengirim proposal itu juga tidak bisa disalahkan. Barangkali proposal yang dikirimkan ke Dewan Kesenian Jatim itu hanyalah salah satu saja dari sekian banyak salinan yang juga dikirimkan ke Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Taman Budaya, dan bahkan juga ke Biro Mental/Spiritual Pemprop Jatim. Jika ada regulasi kesenian di Jawa Timur, kerepotan-kerepotan itu diharapkan bisa diatasi dengan gampang.



Seperti dikemukakan Henry Nurcahyo saat berdialog dengan Ketua DPRD Jatim Saleh Mukadar beberapa waktu di Batu (pada pembukaan work shop musik pertunjukan yang digelar Dewan Kesenian Jatim bersama Subdin Kebudayaan Jatim), lembaga-lembaga kesenian di Jawa Timur sekarang ini sangat lemah. Yang lebih kuat justru adalah orang per orang, misal Bambang Sudjiono yang berkat jasanya pula lalu ada Penghargaan Gubernur untuk seniman berprestasi yang diberikan setiap tahun, termasuk taliasih yang biasanya diberikan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Juga orang-orang tertentu lainnya jauh lebih sakti daripada lembaga atau institusi kesenian, karena pihak yang menentukan sebuah proposal ditolak atau diterima tampak lebih melihat siapa yang membawa proposal itu. Saya pernah mengajukan proposal penerbitan buku dengan spesifikasi, jenis, dan kualitas materi sama dengan yang pernah didanai oleh sebuah instansi, tetapi ditolak. Proposal saya untuk mendapatkan bantuan uang transportasi ketika saya diundang sanggar sastra buruh migran di Hong Kong untuk acara workshop penulisan, Juli 2005 juga tertolak. Bahkan bantuan surat untuk mengurus bebas fiskal pun gagal saya peroleh. Akhirnya, berangkatlah saya ke Hong Kong atas biaya sepenuhnya dari teman-teman yang sudah berjasa mengalirkan devisa dengan keringat dan air mata, bahkan kadang juga darah mereka, yang bahkan masih dipalak juga di bandara ketika mereka pulang menjenguk kampung halaman. Yakinlah, itu semua tertolak bukan karena proposalnya yang kurang bermutu, melainkan karena saya tidak termasuk dalam daftar ’’orang-orang sakti’’ itu.


Maka, kini saatnya kita bicara regulasi kesenian di Jawa Timur, saatnya kita merancang Perda Kesenian. Tentu, yang kita maksud adalah Perda Kesenian yang tidak ngawur seperti yang memasukkan ke dalam kategori seniman: pemilik pengeras suara, penyedia jasa terop, dan pemilik genset!** (Bonari Nabonenar adalah pengurus harian (Komite Sastra) Dewan Kesenian Jawa Timur).[]

Sumber: Jawa Pos

0 urun rembug: