Cerpen Bonari nabonenar
Ketika Semar masih super, orang tak pernah dapat membayangkan bagaimana dan apa jadinya jika Desa Karangdempel kehilangan Semar. Luar biasa memang. Dengan kesuperannya Semar telah menggiring orang-orang (baca: para wayang) Karangdempel ke dalam dunia mimpi memabukkan; mimpi tentang desa yang adil dan makmur, bersatu, aman, damai, tata tentrem karta raharja.
Seumpama sampeyan adalah warga Desa Karangdempel yang coba-coba mempertanyakan keadilan itu, maka sampeyan harus segera sadar bahwa sampeyan telah mulai terjerumus ke dalam falsafah yang keliru mengenai keadilan itu sendiri. Keliru, setidak-tidanya menurut norma yang berlaku di Desa Karangdempel.
"Sudah adilkah jika aku seharian membanting tulang, memeras keringat, dan hanya mendapatkan sebungkus nasi serta pegal-pegal di sekujur badan, sementara mereka yang ongkang-ongkang di kursi goyang bisa memperoleh bertumpuk-tumpuk uang, berderet-deret jabatan, aneka ragam tanda jasa, tanda pangkat pating grembel, istana megah, dan wanita-wanita menggairahkan?"
"Lho! Sampeyan lupa bahwa mereka lebih memiliki otak daripada sampeyan. Mereka tak hanya mengandalkan otot dan tulang. Otak itu jauh lebih mahal daripada tulang, apalagi jika dibandingkan dengan keringat. Mereka juga mempertaruhkan modal yang besar. Dan jangan lupa, mereka dari semula sudah mengantongi warisan enak. Artinya mereka lahir dari keluarga kaya dan/atau berkuasa.
Mereka mewarisi bakat untuk dapat menikmati kehidupan ini dengan gaya mereka. Pada titik ini aksentuasinya lebih berada pada soal nasib, bukan pada adil atau tidak adil. Jangan lupa, sesungguhnya adil itu adalah jika yang kuat mendapat bagian yang besar, dan yang lemah mendapatkan bagiannya yang kecil; ialah jika majikan naik mersi dan para buruh trima berjalan kaki.
Ketika masih super, Semar adalah penguasa tunggal di Desa Karangdempel oleh karena dia adalah kepala desa. Semar adalah panutan. Dan jangan lupa, ini yang terpenting, Semar adalah juga sembahan, sebab sesungguhnya dia adalah dewa. Maka, siapa yang berani menentang Semar, secara fisik, lisan, dan bahkan dalam pikiran sekalipun, ganjarannya sudah jelas, adalah neraka.
Karena Semar adalah dewa, jangan heran jika dia dapat membangun neraka di mana-mana. Dan hanya dia pula yang berhak memilih dan menentukan siapa-siapa penghuninya. Sebaliknya bagi mereka yang jelas-jelas setia, selalu taat dan patuh dan suka minta petunjuknya, ganjaran yang setimpal tentu adalah surga. Dan seperti halanya neraka tadi, surga ini pun adalah surga dunia, sebab kita sedang bicara tentang dunia. Itupun masih harus dikhususkan, dibatasi, untuk tidak melebihi wilayah Desa Karangdempel.
Sungguh luar biasa. Jika sampeyan beruntung dan mendapatkan surga dari Tuan Semar, sampeyan akan dapat berhak dan punya kewenangan untuk mewariskannya kepada anak-cucu sampeyan. Maka, sekali-kali jangan sampai mewariskan neraka.
Orang yang khawatir akan kejeblos ke dalam neraka tentu jumlahnya lebih besar daripada yang merasa aman dan berani memimpikan gelimang kemewahan surga dunia Karangdempel. Maka ketenteraman Desa Karangdempel sesunguhnya adalah ketenteraman semu. Dan perhatikanlah wejangan para pamong desa yang selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, ini: "Siapa bilang desa kita ini tidak tenteram.
Siapa mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak lebih baik. Hanya orang-orang lupa yang dapat bicara begitu, atau tidak melek sejarah. Desa kita ini pernah dalam kurun ratusan tahun dicengkeram raja lalim yang setiap hari memangsa manusia. Kita tahu, Tuan Semar memakan nasi biasa, seperti kita juga."
Sesungguhnya pernyataan itu belum selesai, tetapi lanjutannya, ini: "...........dan minumannya adalah darah rakyatnya," cukup disimpan di dalam hati saja. Ingat: neraka!
Ketika masih super, Semar sangat sakti dan tak pernah lalai memanfaatkan kesaktiannya itu untuk kepentingan diri dan dinastinya sendiri. Sampeyan tentu pernah mendengar cerita Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja, tetapi tak pernah mendengar kisah Bagong menjadi presiden direktur dan Gareng menjadi konglomerat. Itu bisa dimaklumi, sebab ketika Semar masih super, Semarlah yang menentukan: cerita mana yang boleh diketahui orang.
Ingat lakon Semar Kuning? Dalam lakon Semar Kuning, Semar sukses menguningkan seluruh Karangdempel. Mitos barupun tercipta. Kuning menjadi warna pujaan, menjadi lambang kesaktian. Hanya nyamuk kurang ajar, atau terlalu nekad, yang masih berani menggigit orang berbaju kuning di Karangdempel.
Karena kuatnya mitos ini tertanam di dalam masyarakat, sampai-sampai tumbuh pula keyakinan baru bahwa gigi kuning lebih sehat daripada gigi putih. Maka lingkaran biru lambang pengendalian kelahiran bayi diubah pula menjadi lingkaran kuning. Celakanya masyarakat seperti tidak sadar, atau tidak berani menjadi sadar, bahwa sesungguhnya mereka telah dirongrong oleh penyakit baru, sebut saja penyakit kuning!
Ada yang tidak dapat menerima kenyataan itu dan berani secara terang-terangan mengatakannya, langsung kepada Semar pula! Dia adalah Togog, yang tidak lain dan tidak bukan adalah saudara Semar sendiri.
"Mengapa sampeyan obral warna kuning itu di desa ini?" tanya Togog tanpa ancang-ancang.
"Apakah kuning itu warna yang jelek?" Semar balik bertanya.
"Bukankah kuning adalah warna kebesaran Guru, saudara kita yang menjadi raja dewa di Kahyangan itu?"
"Kalau sudah begitu, apakah aku tidak boleh memakainya?"
"Dalam batas-batas tertentu, tentu saja boleh. Tidak ada larangan. Tetapi ini sudah di luar batas kewajaran. Aku hanya khawatir bahwa ini semua akan melupakan kita terhadap asal-usul, asal mula kejadian kita. Pada mulanya kita adalah sebutir telur. Bagian terluar adalah cangkok, putih warnanya, akulah jadinya. Bagian terdalam adalah intinya, berwarna kuning, itulah yang menjadi Guru, saudara kita itu.
Satu bagian lagi, di antara kedua bagian yang telah kusebut tadi, adalah bening, bukan putih seperti dikatakan banyak orang sebagaimana banyak orang pula mengatakan air bening sebagai air putih. Adalah samar, adalah maya. Itulah asal kejadian sampeyan. Maka sampeyan dijuluki Semar, juga Ismaya. Kita lahir dengan urusan, wewenang, tugas, dan tanggung jawab kita masing-masing. Dalam konteks inilah, pada kesempatan ini, sesungguhnya aku hanya hendak memperingatkan sampeyan untuk tidak sampai keluar dari batas-batas tugas, wewenang, dan tanggung jawab itu."
"O, begitu! Ya, sudah! Uruslah urusanmu sendiri. Ini urusanku. Kamu mau apa? Guru sendiri saja tidak protes, kok."
Togog terdiam. Seperti tak ada lagi kata-kata yang dapat diucapkan. Monyong Togog yang kelewat manyun itupun bertambah manyun. Lalu dia nguncluk entah ke mana. Ngeloyor, tanpa pamit.
Kalau Semar punya kemauan, jangankan manusia biasa, para dewa di Kahyanganpun sering tak dapat berbuat banyak jika harus menahannya. Ingat ketika Semar hendak membangun Kahyangan? Kahyangan Semar sendiri tentu saja.
Tak seorangpun pernah merasa curiga bahwa sekian banyak uang rakyat tersedot untuk proyek edan-edanan itu. Yang dibayangkan orang-orang adalah bahwa Semar benar-benar hendak membangun Kahyangan, membangun surga demi kehidupan abadi setelah kematiannya nanti. Itu memang selayaknya, sebab Semar memang sudah tua. Membangun surga begitu itu, tentu dengan memperbanyak amal kebajikan, tekun beribadah, berdoa, berusaha untuk selalu mengingat Yang
Mahakuasa.
Banyak yayasan didirikan untuk menyantuni si miskin, si lemah, si kecil. Tempat-tempat peribadahanpun didirikan di mana-mana di Desa Karangdempel, bahkan juga di desa seberang. Siapakah yang pernah curiga bahwa itu semua hanya akal-akalan untuk mendapatkan keuntungan material yang lebih besar, dan yang sesungguhnya dibangun Semar adalah istana mahamegah di bumi Karangdempel? Dibangun dengan uang, semen, kawat baja, batu bata, dan sebagainya, dan
bukan dengan ibadah dan amal baik. Megahnya berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan Planet Bali-nya mantan pedagang ayam itu.
Sungguh luar biasa. Orang-orang baru melek setelah kini Semar tak lagi super. Bahkan sekarang semua orang Karangdempel tahu bahwa sesungguhnya Semar yang mereka dewa-dewakan selama ini bukanlah Semar yang sesungguhnya. Dia tak lebih dari seorang manusia biasa, yang dengan sedikit kesaktian telah berlagak sebagai Semar. Semar ngawu-awu!
Maka, jika sampeyan ingin tahu juga, di mana Semar yang sesungguhnya sekarang ini berada, cobalah bertanya kepada Ki Manteb, Ki Anom, atau Ki Enthus.[]
Pernah dimuat Jawa Pos, dan telah –bersama beberapa cerprn lain dibukukan dalam SEMAR SUPER (Alfina, Surabaya, 2006)
0 urun rembug:
Post a Comment