Beberapa waktu lalu beberapa orang secara interaktif melapor melalui Radio Suara Surabaya bahwa gara-gara kehabisan formulir –bahkan ternyata masih ditenderkan-- pengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di wilayah Sidoarjo menjadi terkatung-katung. Padahal, para pelapor itu adalah orang-orang bisnis yang sering terlibat urusan yang memerlukan KTP. Keadaan yang sama ternyata dialami teman saya di Kabupaten Malang, sudah sebulan menitipkan uang di kantor desa untuk pengurusan KTP dan belum ada kejelasan kapan akan beres. Satu-satunya penjelasan adalah bahwa pembuatan formulir KTP itu masih ditenderkan.
Lalu bayangkanlah, reaksi para pejabat dari tingkat desa, kecamatan, bahkan bupati, seperti dalam kalimat ini, ’’Lho, sudah dibilang masih ditenderkan itu kan artinya memang kita belum bisa melayani. Buat apa menunda-nunda pekerjaan bikin KTP itu kalau formulir sudah ada?’’ Sebuah kalimat yang menurut istilah Jawa bernada melehke, itu kalimat yang tajam menusuk. Andai benar pejabat bilang seperti itu, sama pula artinya dengan orang berada di pihak yang salah masih pula ngamuk. Jika yang bilang seperti itu pejabat di tingkat desa, kita hanya bisa ngelus dhadha, mengingat barangkali wawasan mereka masih kurang dan mereka adalah para pekerja yang nyaris tanpa imbalan (berapa sih, gaji mereka?). Tetapi, begitu yang bilang seperti itu adalah pegawai kecamatan yang berseragam licin, seorang rakyat layak mulai tersinggung.
Urusan KTP bukanlah urusan sepele. Kecuali para manula yang sudah mengantongi KTP seumur hidup, semua warga bangsa ini setiap waktu akan berurusan dengannya. Kalau ketahuan KTP mati akan ditilang, salah-salah malah dijebloskan ke dalam tahanan. Tetapi, begitu mau ngurus, enak aja pejabat ngomong: formulirnya masih ditenderkan. Mestinya para pejabat itu sadar bahwa urusan KTP adalah wajah Layanan Publik kita. Adalah cermin, apakah kita sudah mengimplementasikan amanat Reformasi atau belum. Apakah para pejabat itu sudah benar-benar rela menjadi pelayan masyarakat, atau sesungguhnya masih berjiwa penguasa atau pangreh praja.
Saya sendiri punya pengalaman, berurusan dengan birokrasi yang berhadapan langsung dengan rakyat kecil. Di balik meja yang hampir jadi antik itu duduklah seorang laki-laki lewat separuh umur, tampaknya sibuk membuat surat, entah surat apa, dengan mesin ketik butut (mudah-mudahan bukan warisan penjajah). Alih-alih ia bekerja dengan komputer, mesin ketik manual saja sudah terbilang antik! Saya lalu berpikir: inilah salah satu jawabannya, mengapa kita makin bobrok sebagai bangsa. Kita kualat alias terkutuk karena abai terhadap pemerintahan dan apa-apa yang ada di desa. Datanglah ke Kantor Kotamadya atau Kantor Kabupaten, dan Anda akan menemukan komputer dengan segala aksesories-nya di setiap meja. Dan di Kantor Desa? Sebiji pun tak ada! Ini sungguh keterlaluan.
Lalu, lihatlah akibatnya. Seperti yang saya alami, setiap ada urusan ke Kantor Desa untuk meminta tandatangan/stempel, kita mesti melampirkan fotokopi kartu pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Coba kalau sistem administrasi di desa sudah computerized, fotokopi PBB itu tak perlu lagi, sebab dengan melihatnya di komputer akan diketahui apakah kita sudah melunasi PBB kita atau belum. Memang, harga selembar fotokopi tak sampai Rp 100. Tetapi, itu bukan angka yang kecil setelah dikalikan berapa jumlah penduduk dan dikalikan lagi sesering apa mereka berurusan dengan administrasi desa. Inilah pula salah satu jawaban, mengapa negri yang suka disanjung-sanjung sebagai negri subur-makmur ini tak juga kunjung mentas dari daftar negara miskin. Karena, kita memang boros. Untuk belanja yang sesuai dengan prosedur-juklak-juknis saja kita ini boros. Dan celakanya lagi, karena pemborosan itu memang sesuai prosedur, Komisi Pemberantasan Korupsi pun tak akan bisa menyentuhnya.
Lalu saya bermimpi, kapan ya kita bisa mengurus KTP cukup dengan menelepon, lalu datang petugas memotret dan 2 - 3 hari kemudian datang lagi untuk mengantarkan hasilnya? Mimpi di siang bolong, memang. Tetapi, begitulah seharusnya pemerintah melayani rakyatnya, jika tak mamu membiarkan pikiran-pikiran nakal seperti yang pernah ada di kepala Dalang Edan Enthus Susmono, ’’Menurut saya kita ini sebagai bangsa perlu menyewa orang asing untuk menjadi Presiden. Seperti sepak bola itu lho, mendatangkan pelatih asing. Namanya menyewa, kalau hasilnya baik bisa kita teruskan, kalau ternyata buruj ya kita deportasi lho!’’
Atau, pernahkah Anda mendengar kalimat yang lebih ekstrim lagi: Lebih enak dijajah Belanda? []
0 urun rembug:
Post a Comment