Ibu saya seorang pegawai negeri sipil, walau kenyataannya hanya seorang guru yang memulai karirnya dari golongan 2-a dan kemudian tak juga naik-naik pangkat, alias macet pada golongan 3-b hingga memasuki masa pensiun. Ketika menikah dengan ibu --yang kala itu sudah mulai menjadi guru sukarelawan—ayah adalah seorang petani gurem. Beberapa tahun setelah menikah dengan ibu, ayah terpilih menjadi Uceng, di tempat lain disebut Kamituwa, sebuah “pangkat” di dalam sistem pemerintahan desa setara Ketua RW. Jabatan sebagai Uceng itu secara ekonomi merugikan, karena dengan demikian waktu ayah lebih banyak tersita untuk mengurusi kampung. Produktivitasnya sebagai petani anjlog, dan bahkan kemudian ia juga meninggalkan total kerja sambilannya sebagai tukang kayu. Ayah hanya memperoleh kebanggaan sebagai seorang tokoh kampung yang juga sering disebut sebagai pamong desa.
SAYA seorang anak sulung dari lima bersaudara, yang semuanya pernah mencicipi bangku kuliah. Saya lulus sebagai sarjana, adik saya drop out dari sebuah perguruan tinggi negeri padahal tinggal menulis skripsi, si nomor 3 meninggalkan bangku kuliah karena memilih berkonsentrasi mengurusi suami, sedang si nomor 4 dan 5 masing-masing mengantongi ijasah diploma.
Dulu, ketika saya belum berkeluarga, saya menganggap tidak ada yang istimewa di dalam kehidupan keluarga saya. Tetapi begitu saya merasakan bagaimana hidup berkeluarga, dengan seorang anak masih kelas satu sekolah dasar, seolah saya baru sadar, bahwa ada keluarbiasaan di dalam keluarga saya, terutama pada diri ibu saya.
Sungguh sulit masuk di akal saya, bagaimana ibu dengan gaji PNS golongan 2-c waktu itu, “dikeroyok” 5 orang anak: nomor 1 dan 2 di perguruan tinggi, nomor 3 di SMU, nomor 4 SLTP, dan si bungsu yang masih di SD. Sementara itu, dari pangkatnya sebagai pamong desa ayah boleh dikata tidak memperoleh apa-apa secara ekonomi. Selain produktivitasnya sebagai petani gurem dan tukang kayu mampet, ibu pun sering mengeluh, karena sejak ayah menjadi Uceng keluarga saya makin sering menerima tamu, selain para warga, tetangga, juga dari kecamatan, bahkan dari kabupaten yang dengan demikian pengeluaran untuk membeli teh, gula, dan kopi melonjak drastis. Selain itu, jika ketika masih warga biasa ayah bisa mendatangi hajatan sanak-saudara dan warga kampung dengan uang buwuh lima ribu rupiah, begitu mejadi Uceng merasa malu kalau hanya buwuh lima ribu; minimal ya sepuluh ribu rupiah. Lebih lucu lagi, jika suatu saat panen jagung atau kacang, jangankan sampai menjualnya ke pasar, dibagikan ke para tetangga dan pihak-pihak yang kepada mereka keluarga saya berhutang budi –karena ibu sering meminjam kepada mereka, terutama jika ada permintaan kiriman mendadak dari kedua anaknya yang di perguruan tinggi— pun kadang masih kurang.
Ibu mungkin terkenal sebagai pengutang. Tetapi untungnya, tidak sampai tercatat sebagai pengemplang. Saya melihat, bahkan ibu saya menjadi orang yang sangat “terhormat” di kampung, antara lain karena ia dikenal pula sebagai pengutang yang baik, yang selalu melunasinya pada waktu yang dijanjikan. Maka adalah biasa jika pada awal bulan ibu hanya membawa beras jatah ke rumah, dan nyaris tak serupiah pun ia membawa uang dari gajinya, karena habis untuk menutup “lubang”.
Biasanya, pagi-pagi sekali ibu sudah bangun. Menyiapkan sarapan untuk keluarga dan kemudian bernagkat ke sekolah. Jika suatu saat bangun kesiangan karena terlalu lelah atau kurang enak badan, ia pun meninggalkan dandang ngadeg di dapur, dan ayahlah yang biasanya menungguinya sampai masak, memanaskan sayur, dan lain-lainnya. Tak jarang pula saya melihat ayah mencuci pakaian keluarga: pakaiannya sendiri, pakaian ibu, plus pakaian adik saya yang kurang ajar.
Tidak ada pembagian tugas yang jelas di antara ayah dan ibu di dalam keluarga saya. Kadang saya melihat ibu begitu dominan dalam menentukan sebuah keputusan, tetapi pada kesempatan lain ayah lebih berperan. Secara ekonomi ayah memang tidak punya power. Tetapi, begitu ibu bilang kepalanya cekot-cekot karena gagal mencari pinjaman, tanpa pamit ayah segera pergi, dan pulang membawa uang. Biasanya untuk keadaan “gawat darurat” semacam itu, ayah mendatangi Pak Lurah, meminjam uang pajak atau apa begitu. Dan pasti dapat, karena Pak Luar pun sudah hafal, kalau ayah sudah maju ke gelanggang untuk mencari utangan, artinya keadaan sudah benar-benar gawat.
Apakah keluarga saya, terutama hubungan ayah ibu bisa dikategorikan zero conflict? Oh, tidak. Mereka sering juga berdebat alias bertengkar. Bahkan sering pula benar-benar tidak mutu perdebatan mereka. Tidak ilmiah, bahkan juga jauh dari demokratis. Bagaimana mau disebut demokratis kalau, misalnya, ketika ayah merasa terpojok, diam-diam ia akan mundur dari perdebatan dan pergi entah ke mana. Ia akan pulang ketika malam sudah larut. Pagi harinya, sebelum matahari bersinar lagi mereka sudah bangun dari tempat tidur yang sama. Artinya, ayah dan ibu sudah tidak bersitegang lagi.
Maka, ketika suatu saat teman saya mencoba menyadarkan saya akan pentingnya perjuangan untuk memberdayakan perempuan, dengan membeberkan data-data arogansi dan kesewenang-wenangan laki-laki di masyarakat, seolah saya tersentak. Apalagi ketika dipaparkan pula sistem yang coba di bangun di dalam masyarakat, kebijaksanaan-kebijaksanaan publik yang menurut teman saya itu sangat berpihak kepada arogansi laki-laki. Sebab, sejak kecil saya diasuh dan dilahirkan oleh perempuan perkasa, perempuan yang sudah sangat berdaya, di tengah-tengah masyarakat – di kemudian hari saya akui pula — yang sangat patriarkhis.
Dalam khasanah bahasa Jawa terdapat unen-unen, kata-kata, semacam pengibaratan, begini: “ibu bumi bapa angkasa.” Ibu ibarat bumi, bapa ibarat langit/angkasa. Oh, betapa jauhnya. Nah, kan? Makanya, jangan dimaknai searah dengan perbandingan bumi-langit seperti yang terdapat dalam kalimat begini, “Dua perempuan itu dalam soal kecantikan ibarat bumi dengan langit.” Kalimat dalam tanda kutip itu maksudnya, perempuan yang satu sangat jelek, sementara perempuan satunya lagi sangatlah cantik.
Laki-laki dengan perempuan, ayah dengan ibu, memang berlawanan jenis kelamin. Tetapi itulah juga antara lain yang mempersatukan mereka. Juga, jangan pernah menilai langit lebih mulia daripada bumi atau sebaliknya, lha wong keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, kok. Kalau sudah bersatu dalam ikatan pernikahan, kemudian perkawinan, kemudian mereka disebut sebagai orang tua, ayah-ibu, sudah tidak sepantasnya lagi dipersoalkan siapa yang lebih unggul, apalagi jika kemudian sampai terjadi posisi kalah menang. Bukankah persatuan demikian itu juga diibaratkan sebagai curiga manjing warangka, warangka manjing curiga (terjemahan harfiah: keris masuk ke dalam rangkanya, rangka masuk ke dalam kerisnya) yang oleh teman saya yang kurang ajar dimaknai sebagai perkawinan dengan gaya enam sembilan itu?
Lalu, siapa sebenarnya paling layak jadi pemimpin di dalam sebuah keluarga? Laki-laki? Secara de yure bolehlah. Tetapi dalam praktiknya, kalau bertemu dengan urusan yang lebih dipahami perempuan, apakah laki-laki tetap akan ngotot minta di depan? Kalau kemudian yang didapat adalah keputusan yang salah, bukankah seluruh keluarga juga yang jadi korban? Laki-laki wajib menafkahi istri? Aturan boleh berkata demikian. Tetapi jika kenyataannya si istri “pangkat”-nya sudah sangat tinggi di dalam ekonomi dan secara sukarela si suami memilih lebih banyak mendekati anak-anak dengan meninggalkan “pangkat”-nya yang rendah, tidak ada yang salah, bukan? Apalagi, kalau mereka sudah saling sepakat?
Maka, keluarga bahagia lahir-batin itu ialah keluarga yang dipimpin oleh cinta dan kasih sayang, tak peduli apa jenis kelaminnya.[]
0 urun rembug:
Post a Comment