Monday 28 January 2008

Pengarang Sastra Jawa Pengarang Numpang Lewat

“Sekali belum Berarti, Tak Mau Berkarya Lagi!”


“Sekali berarti, sudah itu mati.” Itu kata Chairil. Tetapi, banyak di antara penyair Jawa modern (penggurit) –begitu pula pengarang prosanya-- yang keburu mandeg berkarya sebelum benar-benar menjadi. Sastrawan Jawa modern pada umumnya adalah sastrawan numpang lewat. Hal itu sempat mengemuka dalam Diskusi Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos bulan ini (20/4) –yang sengaja memilih tema Sumbangan Chairil Anwar terhadap Perkembangan Puisi Jawa Modern-- sekalian memperingati hari wafatnya Raja Penyair Angkatan 45 itu. Seperti biasanya, diskusi diselenggarakan di Deteksi Room, Lantai 3 Gedung Graha Pena Jawa Pos (Sabtu, 20 April 2002).


Dipilih sebagai pembicara ialah Drs. Suwardi Endraswara M.Hum, dosen Universitas Negeri Yogyakarta, dan Drs. Sugeng Wiyadi, dosen Universitas Negeri Surabaya. Keduanya, selain akademikus juga sama-sama kreator, sama-sama aktif sebagai penyair sastra Jawa, pengarang crita cekak (cerpen Jawa), penulis kritik sastra Jawa, yang juga menulis dengan bahasa Indonesia. Diskusi yang dimoderatori Bonari Nabonenar ini dihadiri pula oleh beberapa sastrawan Jawa yang juga rajin menulis dengan bahasa Indonesia: Tjahjono Widarmanto, Suharmono Kasiyun, Suparto Brata, Widodo Basuki, dan Budi Palopo.

Bukannya baru sekarang para pengarang sastra Jawa memiliki hubungan yang erat dengan para sastrawan Indonesia, melainkan sudah sejak awalnya, sejak bahasa Indonesia lahir (Sumpah Pemuda). Sebutlah nama Intojo dan St Iesmaniasita yang disebut-sebut sebagai pelopor “sajak bebas” dalam sastra Jawa itu. Lalu ada nama Subagijo Ilham Notodijojo, seorang tokoh pers nasional yang di jagad sastra Jawa modern lebih dikenal dengan sebutan Pak SIN itu. Jika mau dibeber, daftar sastrawan Jawa yang tak dapat hanya disebut memiliki hubungan yang erat dengan sastrawan Indonesia –karena mereka juga berkarya dengan bahasa Indonesia—akan sangat panjang. Sebutlah beberapa saja: Arswendo Atmowiloto, Basuki Rachmat, Efix Mulyadi, Esmiet, Piek Ardijanto Soeprijadi, Poer Adhie Prawoto, Ragil Suwarno Pragolapati, Roeswardijatmo, Suripan Sadi Hutomo, Trim Sutedja, Totilowati Tjitrowarsito. Konon, pada awalnya seorang Sapardi Djoko Damono pun sempat mencoba menulis guritan. Pada generasi mutakhir ada pula nama-nama Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Daniel Tito, Es Danar Pangeran, Gunoto Sapari, Irul Es Budianto, Keliek Eswe, Krishna Mihardja, Suparto Brata, Suwardi Endraswara, Widodo Basuki. Bahkan ada nama Widji Thukul, yang tampaknya justru dilupakan banyak orang bahawa dia pada awalnya juga seorang penggurit, sebelum kemudian terkenal dengan puisi-puisi pemberontakan sosialnya.

Chairil dan Sastra Jawa

Lalu, Sugeng Wiyadi yang di jagad sastra Jawa juga ngetop dengan nama Keliek Eswe itu, seperti diamini Suwardi dan para peserta diskusi, mengatakan bahwa saling pengaruh-mempengaruhi dalam sastra adalah hal yang lumrah. Apalagi antara sastra Jawa dengan sastra Indonesia, yang banyak di antara para kreatornya aktif di kedua “wilayah” itu.

Dengan demikian, memang, hubungan timbal balik, interaksi, pada akhirnya juga terlihat dalam teks, baik teks sastra Jawa (modern) maupun teks sastra Indonesia. Itulah yang disebut hubungan intertekstualitas. Kita bisa melihat sajak-sajak Darmanto Jatman yang njawani, misalnya, atau Pengakuan Pariyem, prosa liris Linus Suryadi yang terkenal itu, cerita-cerita Danarto, Umar Kayam, dan Ahmad Tohari. Nama-nama itu sekedar contoh saja.

Kita juga bisa melihat guritan Widodo Basuki berjudul Critane Laron Sajodho (Kisah Sepasang Laron) ini: Ana laron sajodho/Nyangking lar acundhuk mawar/Kekarone coba-coba dolanan geni/Pyar!/Lar kesenggol panase/Mawar kerayuk cahyane//Laron loro nangis kekitrang/Apa aku bisa mabur tanpa lar?/Ngono kandhane si laron wadon/Si laron lanang rumangsa eram/Ana wewadi sing lagi dakmangerti, ngono jawabe/Aja samar/Lar kang dhek wingi ambyar/Bakal gumanti urip kang makantar-kantar. (Ada sepasang laron/Menenteng sayap bersumping mawar/Keduanya coba-coba bermain api/Pyar!/Sayap tersentuh panasnya/Mawar tergapai cahayanya//Sepasang laron menangis berkelejotan/Bisakah aku terbang tanpa sayap?/Begitu kata laron perempuan/Si laron laki-laki merasa heran/Ada rahasia yang baru kupahami, begitu jawabnya/Jangan khawatir/Sayap yang kemarin berantakan/Akan berganti hidup penuh semangat).

Menurut Suwardi, guritan Widodo Basuki berjudul Critane Laron Sajodho itu memiliki hubungan intertekstualitas dengan puisi Chairil Anwar, Lagu Siul I berikut ini: Laron pada mati/Terbakar di sumbu lampu/Aku juga menemu/Ajal di cerlang caya matamu/Heran! Ini badan yang selama berjaga/Habis hangus di api matamu/Kau kayak tidak tahu saja.

Pada akhir diskusi, pengarang kawakan Suparto Brata menegaskan bahwa para sastrawan tak perlu takut terpengaruh. Bahkan, pengarang maupun penyair Jawa jangan hanya membuka diri untuk menerima pengaruh dari sastra Indonesia, melainkan, seharusnya juga membuka diri terhadap pengaruh sastra asing. Suparto Brata bahkan tanpa tedeng aling-aling mengaku melahirkan kisah-kisah ditektif dalam sastra Jawa dengan secara sengaja menerima pengaruh sastra Barat.

Sastrawan Numpang Lewat

Menurut Sugeng Wiyadi, hampir boleh dikatakan bahwa penggurit atau penyair Jawa modern tak ada yang benar-benar jadi. Kebanyakan penggurit hanya numpang lewat saja. Arswendo Atmowiloto, Bambang Sadono SY, Yusuf Susilo Hartono, Roeswardiyatmo, Titah Rahayu, Anggarpati, dan segudang lagi nama lain, “pensiun dini” dari sastra Jawa. Budi Palopo dengan guritan-guritannya yang khas, suka mempermainkan kata-kata dari kitab-kitab lama yang kini sudah tidak populer, justru –tampaknya— karena sebagai orang pesisiran dia “menolak” bahasa Jawa halus model keraton itu, kini juga mulai mandeg. Bonari Nabonenar juga sudah tidak begitu produktif sebagai penggurit. Tampaknya memang begitulah kecenderungan para pengarang/penyair Jawa, terutama yang juga menulis dengan bahasa Indonesia. Banyak yang beranggapan bahwa hal seperti itu terjadi karena pengaruh honor. Jelasnya, dari segi honor, menulis dengan bahasa Indonesia lebih menjanjikan! Tetapi jangan lupa, Suparto Brata dan Suripan Sadi Hutomo tetap setia menulis dengan bahasa Jawa selain juga produktif menulis dengan bahasa Indonesia. Apapun penyebabnya, bahwa sastrawan Jawa pada umumnya adalah sastrawan numpang lewat merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri.

Masih menurut Sugeng Wiyadi, ada nama Soekarman Sastradiwirja, penggurit dari Blora yang telah mencapai kematangan dan menemukan bentuknya. Sayangnya, seperti halnya Chairil, ia mati terlalu muda. Poer Adhie Prawoto, yang sering disebut-sebut sebagai penggurit terkemuka –sampai akhir hayatnya-- juga terkesan terus mencari-cari bentuk. Seandainya Poer bisa setia pada guritan balada-nya, dia akan lebih berwibawa lagi sebagai penggurit. Sayang, Poer terlalu suka, dan sering berganti-ganti gaya. Kini bikin guritan balada, esoknya bermain-main dengan tipografi, lusa bermain mantra, dan pada kesempatan berikutnya tiba-tiba muncul dengan guritan-guritan “pariwisata”-nya. Lebih eman-nya lagi, Poer juga menambah barisan penggurit yang mati terlalu muda, menyusul: Soekarman, Ragil Suwarno, Bene Sugiharto.
“Sekali berarti/sudah itu mati!” Begitu kata Chairil. Kata, yang pada akhirnya “memakan” dirinya sendiri. Seperti sudah disebut tadi, banyak juga penyair Jawa mati muda. Tetapi lebih banyak lagi yang “sekali-(pun) belum berarti, sudah tak mau berkarya lagi!


Keberanian

Cerpenis Shoim Anwar sempat pula melontarkan pendapat yang cukup menarik. Menurut cerpenis, guru, dan penghobi perkutut ini, sastra Jawa memiliki akar yang lebih kuat daripada sastra Indonesia. Membandingkan puisi Jawa dengan puisi Indonesia, masih menurut Shoim, harus mengingat bahwa puisi Jawa pada umumnya impresif, lebih berdimensi rohani, sedangkan puisi indonesia ada umumnya impresif, berdimensi kebebasan. Dengan demikian bukan berarti penyair Jawa antikebebasan. Bahkan, terlepas dari sosok Chairil Anwar, sekitar tahun 1942 seorang Intojo sudah melakukan semacam pemberontakan estetika dengan guritan Dayaning Sastra-nya. Hal yang kurang lebih sama dilakukan oleh St Iesmaniasita dengan guritannya Apa Kowe wis Lega yang ditutup dengan sebuah pertanyaan: Apa kowe wis lega/sesindhenan lagu warisan? (Sudah puaskah kau, melagukan tembang warisan?)

Selain keberanian menciptakan bentuk baru (sajak bebas), dalam diskusi sempat pula muncul gugatan bahwa penyair Jawa kurang total mengeksplorasi kata-kata. Misalnya, kurang berani menampilkan kata-kata yang dalam konteks keseharian dianggap tabu. Gugatan itu pun segera ditampik dengan bukti adanya serat Darmagandhul dan Gatoloco. Serat Centhini pun –yang disebut-sebut sebagai bothekan atau brankas-nya orang Jawa itu-- boleh disebut sangat berani, misalnya ketika menjelaskan berbagai macam persoalan seks, sehingga mereka yang sudah membaca Darmagandhul, Gatholoco, ataupun Centhini, tak akan terkejut saat membaca Larung-nya Ayu Utami.

Di sisi lain, sastra Jawa juga syarat pasemon, syarat simbol. Karena itulah, dari sisi semiotik, sistem tanda, simbol-simbol, perlambang, bahasa Jawa yang digunakan masyarakat sehari-hari itu pun boleh dikatakan sangat sastrawi. Kekayaan bahasa Jawa memang sangat memungkinkan hal itu. Dalam hal ini, sebenarnya bisa juga dikatakan bahwa penyair Jawa sangat dimanjakan oleh bahasa Jawa itu sendiri.

Sementara itu Srihono menampik penilaian bahwa para penggurit Jawa tidak memiliki keberanian menampilkan kata-kata yang dinilai tabu oleh masyarakat. Menurut Srihono, bahasa Jawa sangatlah kaya, sehingga memungkinkan para pengarang maupun penyair menghindari pemakaian kata-kata vulgar, atau, lebih-lebih, yang hanya dimaksudkan untuk gagah-gagahan. Bukan persoalan berani atau tidak berani, menurut Suharmono Kasiyun, tetapi persoalan empan papan. Bukankah orang Jawa dapat dikatakan sangat berani dan demikian nakalnya ketika menamai jajan pasar, kue, dengan “turuk bintul” (turuk= organ intim perempuan, bintul=bintik/berbintik)? Juga ada jajan yang dinamai “pelikipu”(peli= organ intim laki-laki, kipu= mandi debu)! Lalu, prinsip empan-papan, dimensi waktu dan tempat akhirnya jadi pertimbangan, termasuk dalam kebijakan pemilihan kata itu.

Kritikus Sastra Jawa

Chairil Anwar besar karena peran HB Jassin. Paus sastra Indonesia yang meninggal tahun 2001 itulah yang menemukan Chairil Anwar. Bahkan setelah itu Jassin-lah yang menjadi juru bicara Chairil Anwar, termasuk yang membela Chairil ketika si “Binatang Jalang” ini digempur sebagai penjiplak puisi asing.

Nah, dalam sastra Jawa modern siapakah kritikus seperti Jassin? Hampir tidak ada. “Sastra Jawa modern tidak punya kritikus seperti Jassin dan A. Teuw yang menemukan Pramudya Ananta Toer,” kata Sugeng Wiyadi.

Kekosongan kritikus itu kian terasa sepeninggal Suripan Sadi Hutomo, dan Poer Adhi Prawoto. Padahal kedua orang ini –mula-mula oleh Suparto Brata— telah dijuluki sebagai HB Jassin dan Jakob Soemardjo-nya sastra Jawa. Lagi-lagi menjadi pertanyaan: Siapa pengganti Suripan? “Itu menjadi persoalan dalam sastra Jawa,” kata Suwardi.

Tipikal orang Jawa, tak suka menerima kritik, apalagi yang disampaikan secara lugas. Jika mau diterima, pakailah pasemon, atau guyon parikena. DR Setya Yuwono bahkan sempat melontarkan pernyataan yang cukup mengagetkan. Disebutnya beberapa nama penyair Jawa yang berhenti berkarya setelah “ditelanjangi” dengan kritik yang terang-terangan. Tak kurang, itu sempat membuat DR Setya Yuwono merasa berdosa, dan pada gilirannya juga ogah-ogahan mengkritik.

Tetapi, Widodo Basuki menyangsikan akurasi pengakuan DR Setya Yuwono itu. “Siapa bilang orang Jawa (sastrawan Jawa, red) tak dapat menerima kritik?” tanya Widodo, yang, kemudian juga sempat melontarkan bahwa kebanyakan kritikus sastra Jawa itu pada umumnya justru tak dapat menulis dengan bahasa secara baik.

Berbeda dengan Widodo yang tidak begitu tinggi penghargaannya terhadap kritikus, Tjahjono Widarmanto mengatakan bahwa kritikus-kritikus dari kalangan akademis patut diberi ruang pula. Mereka wajib mengkritik, sesuai disiplin ilmu yang digelutinya, dan justru berdosa jika tidak melakukan tugasnya itu.

Pendapat Tjahjono itu didukung oleh Shoim Anwar, dengan sedikit catatan, yakni bahwa biarlah para kritikus itu muncul dan berkiprah secara alamiah. Janganlah sastrawan Jawa, misalnya, ditarik-tarik untuk bikin kritik yang tak lain dan tak bukan hanya untuk menjadi public relation-nya sastrawan Jawa. Begitu catatan Shoim.

Pada akhirnya, Suparto Brata menutup perdebatan ini (karena keterbatasan waktu) dengan pernyataan yang mengamini teori resepsi sastra, bahwa kritikus sejati adalah pembaca.* (Budi Santosa, Humas Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya)


* dari Jawa Pos, Minggu, 28 April 2002

0 urun rembug: