Monday 28 January 2008

Kongres Sastra Jawa: Mati Ketawa ala Sastra Jawa

''BANDINGKAN dengan wayang kulit, ketoprak, dan campursari. Sastra Jawa, juga media berbahasa Jawa, menjadi sangat jauh ketinggalan, sengsara, miskin, dan tidak diperhitungkan.''

Tak perlu kaget. Bambang Sadono, pemilik kalimat yang mengejutkan itu, memang mengaku jadi provokator Kongres Sastra Jawa (KSJ) di Taman Budaya Surakarta (TBS), 6-7 Juli. Tak perlu heran pula jika akhirnya dia menyatakan sastra Jawa mirip orang yang menghadapi kematian, namun masih bisa tertawa lepas saat memperbincangkan ajal yang menakutkan itu.

''Bandingkan dengan ketoprak! Mungkin mereka gagal di tobong-tobong dan pentas tradisional, tetapi justru berhasil menundukkan telvisi dengan gilang gemilang,'' ucap mantan pengarang sastra Jawa itu lewat makalah ''Sastra Jawa, Tidak Cerdas dan Tidak Kreatif.''

Karena itulah, tandas dia, sebaiknya sastrawan dan sastra Jawa tak perlu minder. Berpikir jauh dan kreatiflah mencari kesempatan. ''Kuncinya pada manjemen. Yakni kemampuan mengorganisasikan pemikiran dan kegiatan untuk mencapai posisi yang diinginkan. Karena itu cita-citanya harus jelas.''

Apakah pernyataan itu sekadar provokasi? Agaknya tidak. Sebab, paling tidak kata Suwardi Endraswara, sastra Jawa memang belum melakukan sosialisasi memadai. Karena itulah selain mengusulkan sastrawan masuk kampus, dia berharap ada mahasiswa masuk sanggar dan dapur sastrawan, bedah skripsi dan sastra. Bahkan tak tanggung-tanggung, dosen dan sastrawan itu meminta sastrawan dan mahasiswa masuk penjara. ''Kalau perlu masuk juga ke kompleks pelacuran untuk menyosialisasikan sastra,'' ujar Mbah Brintik, perempuan penembang macapatan yang hadir dalam pertemuan itu.

Bukti lain betapa sastra Jawa terseok-seok juga ditunjukkan dengan cukup nyinyir oleh Didiek Kiswandi Teha. Menurut pendapat pengarang yang mengaku belajar menulis secara autodidak itu, sastra Jawa modern ibarat bus tua antarkota.

''Jalannya terseok-seok, hanya mengutamakan keselamatan sampai ke kota tujuan. Parahnya, ia tidak mampu bersaing dengan produk budaya yang berpenampilan lebih modern dan bersifat universal.''

Karena itulah, dia berpendapat ibarat penumpang bus, penikmat sastra Jawa akhirnya berpaling ke bus-bus yang lebih trendy, modern, berteknologi canggih, dan menawarkan kenyamanan dan ketepatan waktu.

Didiek memang tak membandingkan sastra Jawa dan novel Saman atau Supernova. Namun pemikirannya mungkin mengarah ke perlunya sastra Jawa memperhatikan ''kosmologi baru''.

Sebuah kosmologi yang tak melulu digelantungi klenik, katresnan lelembut, dan wuyung ala Kenya saka Gunung Slamet. Sebuah kosmologi yang memperhatikan internet, eksplorasi teknologi, sosilogi, dan psikologi modern.

Maka, tak mengherankan, jika dia mengusulkan kebaruan tema dan gaya. Sebab, jika tak begitu, penikmat tak akan mendapatkan wawasan, kecanggihan gaya, dan kreativitas. ''Sastrawan Jawa tidak boleh takut menawarkan tema, plot, setting, karakter, dan bahasa ungkap yang berbeda dari yang sudah ada,'' ujar dia.

Benarkah jika sudah menjalankan manajemen yang bagus, eksplorasi kreatif yang memadai, sastra Jawa akan terus hidup? Arswendo Atmowiloto, salah satu sastrawan yang pernah mendeklarasikan kematian sastra Jawa, punya jawaban.

''Sastra Jawa saged teras ngrembaka, gegandhengan kaliyan sastra Indonesia utawi sastra donya. Jer ing kabudayan punika mboten wonten 'paten-pinaten'. Alam kabudayan punika kasunyatan: wontenipun 'multikultur', werni-werni kabudayan, kados dene manungsa inggih benten-benten, tuwuhipun inggih benten-benten, sato kewan inggih benten-benten.''

Meski begitu, KSJ dan (mungkin) sastra Jawa agaknya sedang dikondisikan hidup dari sesuatu yang lain. ''Dari dana, dari uang, apalagi kalau bukan itu?'' kata Kepala TBS Murtidjono. Karena itulah, meski tahu uang bukan satu-satunya juru selamat, Arswendo berjanji mendanai penerbitan sastra Jawa (belum disepakati bentuknya) sejumlah tiga sampai empat edisi. ''Setelah itu bergerak dan hidupkan sebaik mungkin. Jangan hanya bergantung pada saya,'' kata dia.* (Triyanto Triwikromo)

* dari Suara Merdeka

0 urun rembug: