Wednesday 12 December 2012

Selayang Pandang: Dunia Penulisan Kita

Novel berbahasa Jawa karya Suparto Brata

Semakin hari kehidupan kita cenderung semakin pragmatis. Nilai-nilai kemanusiaan pun makin menipis, karena hubungan antarmanusia lebih sering semata-mata bermotiv kepentingan pragmatis. Apalagi ketika Ekonomi sangat terasa dipanglimakan, baik oleh warga masyarakat maupun pemerintah. Lalu terjadilah komodifikasi di segala lini kehidupan, bahkan di dalam kehidupan beragama. Sastra sebagai salah satu cabang kesenian yang sangat dekat dengan pemikiran, seperti dikatakan Budi Darma, ”Dunia sastra adalah dunia pemikiran,” seharusnya lebih banyak mendapatkan perhatian di dalam situasi seperti ini. Sastra dalam pengertiannya kini, nyaris identik dengan tulisan. Tanpa menyepelekan keberadaan sastra lisan, memberi perhatian terhadap sastra pada dasarnya adalah bentuk kepedulian pula terhadap tradisi tulis-baca di tengah-tengah masyarakat, satu hal yang dapat menjadi pedoman untuk mengukur seberapa kemampuan kita sebagai bangsa mengejar ketertinggalan dalam bidang pemikiran, ilmu, pengetahuan, dan teknologi dari bangsa-bangsa lain yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju. Ironisnya, di sekolah-sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, pelajaran kesusasteraan hanya ditempelkan di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang sering pula disebut sebagai Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata pelajaran ini memang ikut menentukan apakah sesorang siswa lulus ujian atau boleh naik kelas. Tetapi, ia sering dipandang enteng. ”Toh, bahasa Indonesia adalah bahasa kita sendiri,” kira-kira begitulah alasannya. Maka, betapa mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tidak hanya jauh kalah gengsi di mata siswa dibandingkan dengan mata pelajaran lain yang diujikan dalam UNAS dan menenentukan seorang siswa boleh naik kelas atau tidak.
PROF. DR. AYU SUTARTO

Salah satu persoalan besar bangsa ini adalah kurangnya tradisi literasi (baca-tulis). Prof Dr Ayu Sutarto sering mengemukakan hal ini dengan, ”Masyarakat kita telah melompat dari kelisanan tahap pertama (oral) ke kelisanan tahap kedua (audio-visual). Dari tradisi tuturan/lisan dengan dongeng, petuah-petuah lisan pada zaman yang lebih ke belakang, seharusnya melangkah ke tradisi tulis seperti dialami kebanyakan bangsa yang sekarang sudah maju. Barulah, ketika tradisi literasi sudah menjadi, mereka menerima fasilitas teknologi baru dengan berkembangnya materi audio-visual, termasuk multimedia secara urut. Lompatan itu tentu membawa konsekuensi yang lain. Tradisi berpikir kritis, rasional, dan mendalam, tidak terbangun dengan baik. Di tengah-tengah zaman digital ketika hampir setiap individu, dari anak-anak hingga manula dilengkapi dengan perangkat multimedia, dari yang bernama ponsel, iphone, hingga komputer tablet, nyaris semuanya menjadi serba instan, serba cepat saji.

Kurikulum tidak mendukung (sebab ’sastra’ hanya ditempelkan dalam mata pelajaran Bahasa (Indonesia), sebagian guru yang kurang siap mengajak para siswanya menyukai kesusasteraan, ketersediaan buku-buku karya sastra di perpustakaan-perpustakaan sekolah yang sangat minim, adalah faktor-faktor yang menyempurnakan keterpinggiran sastra di sekolah-sekolah.

Jika ada yang menggembirakan, belakangan ini geliat kesusasteraan, setidaknya kecenderungan untuk menyukai kegiatan baca-tulis sedang mengalami tren naik di tengah-tengah masyarakat. Begitu, menyukai dunia sastra, biasanya anak-anak muda itu cenderung jadi militan: dengan kemampuan dana yang biasanya pas-pasan mereka tekun mengikuti pertemuan-pertemuan, bedah buku, festival, sarasehan sastra di berbagai kota. Bahkan, ikut berangkat ke luar negri, untuk menghadiri acara kesusasteraan, dengan biaya sendiri.

Budi Darma pernah menyatakan bahwa orang (termasuk anak-anak muda itu) menyukai sastra, giat mengikuti agenda-agendanya, rajin membaca buku-bukunya, didorong oleh keinginan untuk menjadi sastrawan. Akibatnya, banyak yang berguran, patah hati, dan tampak berhenti mencintai kesuasteraan karena merasa tidak lagi mampu bersaing untuk menempatkan namanya di dalam buku sejenis ”apa-siapa”-nya Kesusasteraan Indonesia. (Solilokui: 1984). Rasa gagal, dan patah hati itu muncul ketika karya-karya mereka tak kunjung dapat menembus saringan para redaktur media cetak, baik media umum maupun media khusus (sastra), dan apalagi menembus saringan penerbit buku.

Sekarang zaman sudah berganti. Untuk menembus media cetak barangkali memang masih susah bagi kebanyakan penulis pemula. Selain harus bersaing dalam hal kualitas dengan para penulis yang sudah mengantongi banyak ”jam terbang”, ruang bagi tulisan berkaitan dengan kesusasteraan: puisi, cerpen, esai, makin menyempit, atau bahkan dihapus oleh banyak media cetak, walau jumlah media cetaknya bertambah. Tetapi, kini ada alternatif lain: media online, yang dikelola dengan atau tanpa sistem penyaringan oleh admin. Bahkan, kini setiap orang dapat membuat media online-nya sendiri, secara gratis pula! Grup-grup bagi para pecinta sastra pun tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Kini, seharusnya tidak ada lagi yang ”patah hati” dan berhenti mencintai sastra karena setiap orang bisa jadi pemain, bisa tampil, dan menciptakan panggung masing-masing, baik secara perorangan maupun kelompok.

Demikian pula penerbitan buku. Jika sampai era 80-an para sastrawan seolah hanya bisa menunggu sampai ada pihak lain (dalam hal ini penerbit) menerbitkan buku-buku mereka, sekarang hampir setiap orang dapat menerbitkan bukunya, setidaknya dengan membiayai sendiri. Antologi bersama juga sangat sering/banyak diterbitkan dengan saringan yang kadang sangat longgar, atau bahkan tanpa seleksi! Baik penulis yang sudah memiliki banyak jam terbang maupun pemula sekarang punya peluang yang sama tidak hanya untuk menerbitkan buku, tetapi juga untuk menjadi penerbit buku. Dalam konteks ini, boleh dikata sekarang ini sesungguhnya sedang terjadi banjir buku, bukan mengacu pada banyaknya buku yang terbit dalam datuan waktu tertentu, melainkan karena nyaris tiadanya seleksi. Dalam sebuah tulisannya, Budi Darma pun mengakui bahwa sekarang ini para pengamat/kritikus pun sudah kewalahan untuk memonitor karya-karya sastra yang beredar.

Penerbitan buku secara indie kini memang sedang sangat marak. Menariknya, seorang penulis sekaliber Suparto Brata yang pernah mendapatkan SEA Write Award pun banyak menerbitkan bukunya secara indie. Suparto Brata sadar, bahwa buku-buku berbahasa Jawa tidaklah ”seksi” di mata penerbit. Oleh karenanya, di samping karya-karya (cerpen dan novel) berbahasa Indonesia-nya yang banyak diterbitkan secara ”major label” Suparto Brata menerbitkan karya-karya berbahasa Jawa-nya dengan ”indie label”.

Di tengah-tengah masyarakat, komunitas pecinta sastra pun bermunculan, baik yang dimulai dengan jejaring online maupun sebaliknya. Fasilitas teknologo komunikasi yang mengalami kemajua luar biasa belakangan ini sungguh telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap gerakan literasi. Sekali lagi, ini kabar baik untuk urusan kuantitas: banyaknya tulisan yang beredar, semakin dekatnya ”jarak psikologis” antara penulis/sastrawan dengan sesama penulis/sastrawan maupun dengan pembaca. Komunitas-komunitas bernuaansa ”fans-club” pun bermunculan, baik merujuk sosok (sastrawan) maupun (karya).
FOTO: diambil dari akun FB Muntamah Sekar Cendani

Sangatlah besar peranan komunitas-komunitas itu, baik yang online maupun yang off-line, terhadap pertumbuhan minat baca-tulis di tengah-tengah masyarakat kita. Kalau kita mau membandingkannya dengan lembaga-lembaga formal, bahkan gerakan masyarakat itu tampak jauh lebih progresif. Banyak kawan-kawan saya yang guru, hanya menggelengkan kepala ketika saya tanyai, apakah buku ini atau buku itu teersedia di perpustakaan sekolahnya. Guru-guru Bahasa Indonesia pun dituntut (terlalu banyak di sita waktunya) oleh kurikulum untuk mengajarkan materi-materi yang sudah tidak ’hangat.’ Sementara itu, komunitas-komunitas yang tumbuh di masyarakat langsung berurusan dengan isu-isu terkini dalam dunia sastra dan perbukuan pada umumnya.

Yang jauh lebih menarik perhatian saya adalah gerakan masyarakat buruh migran dalam bidang literasi ini, setidaknya yang saya lihat sendiri di Hong Kong. Para pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong, tergolong ’rakus’ terhadap buku. Beberapa di antara mereka malahan layak dijuluki bukumania, ketika berlibur ke tanah air bisa habis berjuta-juta rupiah untuk berbelanja buku. Beberapa di antara mereka malah membangun perpustakaan di kampung halaman, seperti dilakukan Maria bo Niok dengan Rumah Baca Istana Rumbia (Wonosobo, Jawa tengah), dan Muntamah dengan Pondhok Maos Cendhani (Kediri, Jawa Timur).

Bukan hanya urusan membaca dan memasyarakatkan minat baca, kawan-kawan di Hong Kong itu juga sangat maju di bidang penulisan. Salah seorang di antara mereka, Etik Juwita (sekarang ia mahasiswa Jurusan Sastra Inggris di Universitas Gajayana, Malang) memasukkan sebuah cerita pendek Bukan Yem (kali pertama dimuat Jawa Pos) ke dalam 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008 versi Pena Kencana. Peranan komunitas-komunitas penulis, termasuk Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Hong Kong tentu sangat besar terhadap kemajuan dunia penulisan di kalangan para pekerja migran itu. Tentu, tak boleh dilupakan pula peranan beberapa media cetak berbahasa Indonesia yang khusus beredar di antara sekitar 150.000 orang asal Indonesia di Hong Kong itu. Karenanya, di Hong Kong kita tidak hanya akan bertemu dengan para pekerja rumah tangga yang sekaligus adalah seorang penulis fiksi, melainkan juga dengan beberapa orang yang sekaligus adalah kontributor atau bahkan jurnalis untuk media cetak, baik yang terbit di Hong Kong maupun di Indonesia.

Buku-buku pun banyak terbit dari kalangan para pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong. Seminar-seminar, workshop dan lomba penulisan, pun digelar atas upaya dan jerih-payah mereka. Setahu saya, lembagaa-lembaga resmi pemerintah kita belum berperan secara signifikan untuk mendukung gerakan yang sangat mulia itu.

Padahal, bukankah jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, maka kita harus memacu gerakan literasi ini?*

*)dimuat di Majalah "Anu" (maaf, lupa namanya, kiriman nomor bukti belum datang)

0 urun rembug: