Tuesday 25 August 2009

Bulan Berserakah

Memang, Allah menciptakan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah. Tetapi, yang namanya manusia, kita ini, sering jadi kelewat usil. Dan untuk keusilan yang tak jarang menjurus-jurus ke hal-hal jahat itu kita sematkan sebutan atau istilah-istilah pembenar: kreativitas. Dhasar menus! Ya, ta? Enak ta? Sudah benar-benar salah pun masih berkelit.


Mengaku atau pun mungkir, banyak di antara kita ini adalah manusia pendendam. Ketika siang hari mesti menahan lapar dan dahaga, tidak makan dan tidak minum (dan diam-diam masih suka ngintip hal-hal yang potensial membatalkan puasa?) maka lihatlah pasar-pasar modern maupun tradisional: manusia berjubel bahkan ngantre pun dilakoni untuk berbelanja kebutuhan perut.

Dan ketika bedug maghrib ditabuh dan adzan dikumandangkan, kata yang pertama terlontar pun adalah: ’’Serrrrrbbbbuuuuuu....!’’ Benar-benar ekspresi sebuah pembalasan dendam. Meja pun tiba-tiba kurang luas untuk menampung nasi, sayur, lauk, buah, dan aneka menu takjil. Lalu, manusia pun menjelma Prabu Dewatacengkar: jangankan lembu atau rusa, kalau bisa (sesama) manusia pun dilahapnya. Dan bulan penuh berkah pun menjelma bulan berserakah.

Keserakahan perut ternyata belum seberapa. Keserakahan hati bisa jadi lebih nggegirisi. Di atas keserakahan hati itu, perbuatan baik pun bisa menelan korban. Berpuluh jiwa bisa melayang karenanya. Karena manusia serakah, karena beramal pun menjadi media penyaluran syahwat bergagah-gagah. Ada yang menyebarkan duit dari langit (dengan pesawat), ada yang menjejal-jejalkan manusia lain di tanah lapang. Alih-alih kegembiraan karena bisa ikut menikmati sedekah, berpuluh orang, tahun lalu, meregang nyawa, karena terhimpit dan terinjak-injak manusia lain ketika mengantre sedekah atau zakat.

Korban sudah terlalu banyak, dan kita layak mengenangnya untuk memerkaya pemahaman kita tentang kehidupan yang makin hari makin rumit ini.

Suatu hari, Sumi yang sedang kemaruk-kemaruknya menjadi menantu baru itu pun mengajak suaminya ke desa, menjenguk sekalian mengirimi mertuanya makanan-makanan khas kota: berbagai jenis kue dan roti, pokoknya yang aneh-aneh. Beberapa hari Sumi menjelajah berbagai mal untuk mendapatkan makanan aneh-aneh yang ia berharap, mertuanya belum pernah menyantap, bahkan melihatnya.

Sumi membelanjakan lebih dari sejuta rupiah uangnya, dari gaji suaminya, dengan riang. Kalau bicara soal ikhlas, dalam hal memberikan makanan, dan kelak juga pakaian kalau sudah mendekati lebaran, kepada Sang Mertua, keikhlasan Sumi lebih dari 1000 persen. Suaminya yang ngrejekeni dan gagah bin tampan itu tidak bisa dinilai dengan harta benda bukan? Sumi menyadari itu sepenuhnya. Dan seandainya orangtua suaminya bukan mertuanya yang sekarang ini, apakah bersedia juga menyerahkan putra tertampannya ke dalam pelukannya agar bisa digendong di mana-mana? Iya ta? Enak ta?

Singkat cerita, Sang Mertua sangat terharu dengan ketergopohan Sang Menantu. Wis datang jauh keraya-raya, bermobil ratusan kilometer hanya untuk mengantarkan badhogan, jal ta! Rak ndlomok tenan ta? Maka, ora ketang rada asing di perasaan, dilahaplah makanan antaran Sang Menantu itu. Senajan rasane saka rumangsana galor-ngidul, ya dienak-enakke. Nggo nyenengke sing ngeteri.

Dan akibatanya ialah: mencret! Celakanya, Sumi tak pernah diberi tahu. Dan perihal mencret karena makanan kutha kuwi mau tetap mejadi rahasia sampai sehari sebelum tulisan ini dibuat.

Semoga pada saat yang tidak terlalu lama lagi Sumi pun tahu untuk kemudian menyadari bahwa sebaiknya, jika mau memberikan sesuatu kepada orang lain pakailah ukuran kebutuhan orang yang akan kita beri dan bukannya memakai ukuran kita. Sebab, selalu memakai ukuran diri sendiri pada hakikatnya adalah keserakahan juga. [Kang Ndemun]

0 urun rembug: