Tuesday 1 April 2008

SUDUT BACA, PILIHAN ATAU KEHARUSAN ?

Oleh :Dwi Prihastuti*

Sungguh menarik saat membaca apa yang disampaikan oleh Bonari Nabobenar dalam opininya yang dimuat di harian Jawa Pos hari Selasa (18/03) kemarin. Dalam opininya tersebut Bonari seolah-olah (atau memang?) mengajak pembaca untuk memilih mana yang lebih penting antara hotspotisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemkot dengan penyediaan sudut baca di Kota Surabaya.


Bagi saya pribadi, sebagai seorang pustakawati tentu akan memilih kedua-duanya karena sama-sama penting. Karena membaca dan mengakses internet bisa dibilang merupakan kebutuhan utama. Saya membaca untuk menambah ilmu sekaligus untuk rekreasi dengan bacaan yang ringan dan menyejukkan seperti novel Ayat-Ayat Cinta. Disisi yang lain, dalam mengakses internet pun juga ada aktivitas membaca. Baik membaca email dari teman dan kolega ataupun membaca info-info terbaru melalui situs berita seperti beritajatim.com dan detiksurabaya.com. Juga untuk berseluncur di situs-situs milik perpustakaan lain untuk meningkatkan kelimuan di bidang pustaka.

Tapi jika harus memilih salah satu, tentu saya memilih penyediaan sudut baca jauh lebih penting dari pada program hotspotisasi. Karena saya melihat bahwa menyediakan fasilitas yang mencerdaskan warganya seperti sudut baca merupakan sesuatu tanggung jawab yang mutlak bagi pemerintah kota Surabaya.

Meski hal tersebut sebetulnya tanggung jawab bersama, hingga saat ini setahu saya belum banyak pihak swasta yang mau membuka sudut baca. Seperti misal pak Kartono, mantan mucikari yang kini membuka taman bacaan Kawan Kami di lokalisasi Dolly. Bandingkan dengan fasilitas hotspot yang sudah banyak disediakan berbagai pihak. Mulai dari hotel-hotel, café di mall yang bertebaran di seantero kota Surabaya hingga Stasiun Pasar Turi tak luput dari fasilitas hotspost tersebut. Tapi apakah di kawasan tersebut tersedia fasilitas sudut baca? Anda bisa menjawab semua.

Namun demikian, bukan berarti saya anti hotspotisasi. Menurut hemat saya, itu bukan kebutuhan utama warga kota Surabaya. Setidaknya hingga lima tahun kedepan. Sebagaimana pertanyaan Bonari dalam opininya, perlu penelitan lebih lanjut tentang kebutuhan warga akan hotspotisasi. Berapa banyakkah warga kota Surabaya yang hobi ngenet di alam terbuka seperti taman prestasi, taman bungkul atau taman terbuka lainnya? Apalagi dalam musim hujan seperti sekarang ini. Jika saya punya laptop, saya pasti berpikir ribuan kali untuk ngenet di tempat terbuka dengan resiko kehujanan sewaktu-waktu. Masih enak ngenet di warnet atau di kantor.

Bukan hanya itu, jika dibandingkan dengan maraknya penderita gizi buruk di Surabaya akhir-akhir ini, kebutuhan akan hotspotisasi yang dibiayai oleh APBD juga perlu dipertanyakan. Sekali lagi, benarkah program tersebut dibutuhkan warga Surabaya mengingat masih banyak balita yang kurang gizi. Baik dalam artian gizi untuk tubuhnya yang dipenuhi oleh nutrisi dalam makanan dan gizi untuk otak dan jiwanya yang bisa dipenuhi dengan bacaan bermutu.

Selain tingkat kebutuhan, anggaran untuk penyediaan hotspotisasi mencapai Rp 3,5 Milyar juga sangat besar untuk kebutuhan yang tidak terlalu mendesak. Jika dana tersebut dihibahkan untuk mengelola taman bacaan atau sudut baca dengan asumsi tiap sudut baca butuh Rp 100 juta, maka akan tersedia 35 sudut baca bagi masyarakat di Surabaya.

Dengan dana tersebut, akan lebih banyak lagi anak-anak tidak mampu yang bisa melihat dunia melalui “jendela dunia” bernama buku. Dengan dana sebesar itu, kehadiran sudut baca bisa membius banyak anak-anak yang kurang bacaan menjadi pecandu. Pecandu buku! Itu karena berdasar pengalaman saya selama masih menjadi pustakawati di mobil pustaka PBA Sampoerna yang memberikan pelayanan ke SD-SD pinggiran. Saya melihat mereka sangat antusias untuk “menyerbu dan memamah” koleksi kami dengan lahap. Artinya, minat baca mereka sebetulnya cukup tinggi, namun fasilitas yang tersedia masih jauh dari cukup. Apalagi layak.

Saya percaya, jika diwujudkan, 35 sudut baca tersebut akan banyak berarti bagi masa depan Surabaya. Katakanlah setiap sudut baca itu dikunjungi 50 anak per hari, maka dalam sebulan akan ada 52.000 anak yang mendapat tambahan gizi bagi jiwa dan otaknya ! Bayangkan jika lebih banyak lagi sudut baca di kota metropolis ini.

Selain anak-anak yang dapat menikmati fasilitas sudut baca tersebut , perlu juga disediakan bahan bacaan untuk orang tua karena mereka juga punya peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan mianat baca anak. Alangkah asyiknya jika banyak menemui orang tua dan anak asyik membaca buku bersama sebagaimana yang sering saya temui di taman bungkul setiap akhir pekan. Seharusnya layanan seperti perpustakaan keliling Badan Arsip dan Perpustakaan Surabaya tersebut diperbanyak.

Namun pada akhirnya semua kembali kepada kebijakan dari pemerintah kota Surabaya. Apakah pemkot benar-benar konsisten dengan Visi dan Misinya menjadi kota yang Smart and Care (Cerdas dan Perduli) dengan menyediakan fasilitas yang mencerdaskan rakyatnya yang tidak mampu. Atau hanya mencerdaskan mereka yang mampu. (mampu beli laptop dan mampu browsing gratis di cafe-café serta hotel). Atau, jauh lebih bijak dan merupakan win-win solution jika Pemkot mengakomodir kebutuhan warganya yang berasal dari dua strata tersebut. Hotspotisasi oke, sudut baca juga oke. []

*) Penulis adalah pustakawati SD Al Falah 1 Tropodo,
sedang alih jenjang di Fisip Unair.



CATATAN: Tulisan ini juga pernah dimuat di Jawa Pos, terima kasih kepada penulisnya yang telah memenuhi permintaan (setelah saya lacak di JP-online ora ketemu) untuk mengirim salinannya.

0 urun rembug: