Monday 11 November 2013

Mengendarai Kuda Lumping*


FOTO: eastjava.com

Kesenian lahir sebagai salah satu bentuk upaya manusia untuk meningkatkan derajat kemanusiaannya, bersama sektor lainnya seperti: sistem kekeluargaan, politik, teknologi. Terutama pada kebudayaan lama, sebelum lahir agama-agama, pada kesenian konon sangat menonjol fungsi komunikasi vertikalnya (baca: komunikasi dengan Yang Maha Kuasa).

Kesenian lahir sebagai bentuk ekspresi, dan karenanya memiliki fungsi komunikasi. Di dalam perkembangannya kemudian, komunikasi horisontal-nya tampak lebih mengemuka. Bahkan, kemudian berkembang pula jenis komunikasi ke dalam; barangkali itu yang dapat kita katakan untuk ciptaan (baca: karya seni) yang kelahirannya didorong oleh paham ”seni untuk seni.” Sementara itu, orang Jawa terbiasa menyebut karya seni sebagai kagunan (ke + guna + an) yang berarti: sesuatu yang bermanfaat. Manfaat yang dimaksudkan di dalam sebutan ”kagunan” itu tentulah bukan sebatas manfaat bagi dirinya (seni itu) sendiri, melainkan juga bagi masyarakat, bagi jagad gedhe (makrokosmos).

Kuda Lumping dan Pasar

Kuda lumping, jaran kepang, atau jaranan merupakan salah satu seni warisan leluhur yang memiliki daya tahan luar biasa. Ketika kethoprak, wayang orang, dan bahkan ludruk menunjukkan tanda-tanda kepunahan, jaranan justru berkembang biak. Fungsi ritualnya mungkin sudah tergerus. Dugaan sementara, jaranan lebih bersahaja, lebih praktis, dan lebih ’murah’ dibandingkan jenis seni tradisional lainnya. Di pihak lain, fungsi ritual secara sadar digeser ke fungsi ekonomi dengan menjadikan jaranan sebagai komoditas dan tunduk terhadap kemauan pasar. Maka, muncullah jenis jaranan campursari.

Ketika jaranan sudah menjadi semata-mata komoditas, beberapa konsekuensi harus dihadapi para pelakunya: (1) tuntutan perubahan bentuk komunitas dari paguyuban ke patembayan, berbadan hukum, agar perselisihan dapat segera diatasi secara hukum, (2) kesulitan membuat format pembagian honor/bayaran yang memenuhi rasa keadilan semua pihak, (3) ketika seseorang atau sekelompok kecil bertindak sebagai juragan, para pemain cenderung hanya menjadi semacam buruh, (4) kesakralannya cenderung hilang, dapat diganti atau hanya sejajar kedudukannya dengan jenis kesenian profan lainnya. Kita memang dihadapkan pada pilihan: mau menjaga jaranan agar tetap menjadi kesenian yang sakral ataukah merelakannya tumbuh menjadi barang dagangan.

Kita patut bersyukur karena memiliki Pak Pamrih dan Pak Muan yang bersama komunitasnya di awal tahun 80-an telah menggali nilai-nilai dalam ritual bersih desa –di tempat lain disebut ”merti desa”—dan mengaktualisasikannya ke dalam bentuk kreasi seni jaranan turangga yaksa seperti kita kenal sekarang ini. Jika benar demikian muasal kelahirannya, para kreator itu tentu tidak pernah berpikir untuk menjadikan turangga yaksa sebagai barang dagangan. Saya yakin, hal itu masih dengan erat dipedomani para penerusnya hingga kini. Oleh karena itu, sebagai pengantar diskusi, tulisan pendek ini akan saya lanjutkan dengan ajakan untuk mengoptimalisasi peran kesenian jaranan –bukan hanya turangga yaksa-- di wilayah Kecamatan Dongko khususnya, bagi penguatan nilai-nilai kemasyarakatan: persatuan, persaudaraan, gotong-royong, untuk ambil bagian dalam upaya memayu hayuning bawana.

Bersih Desa

Ketika mendengar istilah ”bersih desa” pikiran kita biasanya menggambarkan sebuah upacara ritual, membakar kemenyan di tempat-tempat yang dikeramatkan, ndhas kali/mason, dhanyangan, dan sebagainya, dan tak jarang pula sambil memperkuat penolakan terhadapnya. Terlepas dari pro dan kontra-nya, mari kita lihat di sekitar kita, di kampung-kampung, di desa-desa, betapa sumber air banyak yang tidak terurus, mati merana, dan kali-kali, termasuk kalen, dipenuhi sampah. Lebih mengerikan lagi, sampah itu berupa berbagai serpihan atau barang berbahan plastik yang nyaris tak akan terurai.

Mungkin inilah saat yang bagus untuk menafsir ulang atau mendefinisikan kembali ”bersih desa.” Kalau menepikan atau membuang sebuah ranting yang merintang di tengah jalan adalah satu perbuatan baik, pastilah membersihkan sepanjang jalan dari rumah ke kali/belik/mason bernilai banyak kebaikan. Jika kita alergi aroma kemenyan, mungkin ramuan rempah-rempah atau bahan aromatheraphy jenis lain bisa dipakai, sekaligus untuk mengusir nyamuk dan sejenisnya. Pasti tidak ada satu pun sistem keyakinan, kepercayaan, yang menolak kegiatan menanam pohon, membangun dan merawat jalan, merawat sumber air, dan tindakan-tindakan lain dalam kerangka konservasi lingkungan/alam. Di sinilah kesenian tradisional seperti jaranan dapat mengambil peran, ketika kita sepakat mengembalikan ke dalam fitrahnya sebagai kesenian rakyat pengusung nilai-nilai kearifan, dan bukannya mendorongnya untuk memasuki pasar bebas sebagai barang dagangan.

Tidak bolehkah kelompok jaranan menerima upah dari pementasannya? Tentu boleh. Bahkan, pasanglah tarif yang layak! Yang patut disayangkan dan pantas membuat kita merasa kehilangan adalah ketika jaranan menjadi semata-mata barang dagangan, dan seluruh kerja kreatif (penciptaan) berlangsung dengan sepenuhnya tunduk kepada hukum pasar. Kalau ada satu-dua kelompok yang memang secara sadar memilih mengemas jaranan sebagai barang dagangan pun, mereka bukanlah musuh kita. Menentukan pilihan secara sadar itu lebih baik daripada setengah sadar atau bahkan tidak sadar ketika sudah hanyut dan terombang-ambing di atas gelombang pasar.

Zaman terus berubah. Kebudayaan pun terus tumbuh dan berkembang. Orang Jawa punya satu resep untuk bertahan dari gempuran perubahan itu: ”Nut ing jaman kelakone.” Pasti, yang dimaksudkannya bukanlah mengikut membabi-buta, atau pasrah total, hanyut mengikuti arus. Saran atau resep, ”nut ing jaman kelakone,” mestilah kita maknai sebagai sebuah keluwesan yang merupakan buah kecerdasan dan kepintaran kita menempatkan segala sesuatu pada konteks kekinian, sambil terus berupaya melakukan penafsiran ulang, mendefinisikan kembali.

Potensi

Sebagaimana bentuk kesenian lainnya, yang tradisional maupun yang modern, jaranan pertama-tama berpotensi menjadi ruang kreasi dan saluran ekspresi masyarakat, terutama kaum muda. Apalagi jika kita dapat mengoptimalkan peranannya sebagai kesenian tradisional dengan segala ciri khasnya. Tentu harus dimulai dari dalam, secara internal. Para pengurus dan pemain secara intensif tak henti-henti membangun kesadaran interaktif dengan alam (bisa diintegrasikan dengan program latihan) untuk kemudian mengajak masyarakat di sekitarnya untuk menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Kita bisa berharap, misalnya, kelak kelompok-kelompok jaranan menjadikan kegiatan merawat sumber air dan penanaman pohon sebagai salah satu syarat yang mesti dipenuhi sebelum sebuah pementasan digelar. Dengan demikian, kita tidak sekadar menjadi agen pelestarian kesenian warisan leluhur, melainkan juga menegaskan fungsinya sesuai konteks zaman (kekinian). Kalau harapan seperti itu dapat kita wujudkan, yakinlah, orang tak akan lagi punya alasan untuk mengolok-olok jaranan sebagai sebentuk kesenian yang ketinggalan zaman. Saat itulah, tanpa harus merasa pongah, kita pasti tampak lebih gagah, mengendarai kuda lumping, sambil menatap masa depan yang lebih cerah. Semoga! [Bonari Nabonenar]

*)Dibuat sebagai pengantar diskusi pada SEMINAR SEHARI DENGAN TEMA
”Menapak Turonggo Yakso masa dulu, sekarang dan masa depan” (6 November 2013)

0 urun rembug: