Friday 4 January 2008

Membangun Komunitas Sastra di Jatim


Rame ing Pamrih, Rame ing Gawe*)

KOMUNITAS Sastra, seperti halnya komunitas lain, terbangun karena ikatan persaudaraan, persahabatan, pertemanan --yang erat, antar-orang-orang yang memiliki minat pada bidang yang sama: sastra. Oleh karena itu ikatan dalam hal ini tidak memuat pengertian yang kaku seperti ikatan dalam sebuah sekte, partai politik, atau organisasi formal.

Salah Kaprah

Di Jawa Timur (Jatim) kita mengenal berbagai nama komunitas sastra, baik yang berpusat di Jatim atau pun yang merupakan cabang dari sebuah ikatan yang lebih besar yang berpusat di Jakarta atau di wilayah lain. Sekedar menyebut beberapa contoh, ada yang kita kenal sebagai HP3N (Himpunan Pengarang, Penyair, dan Penulis Nusantara) Surabaya, Batu, Lamongan. Setahu saya (mohon dikoreksi) HP3N berpusat di Mataram dengan pucuk pimpinan Putu Arya Tirtawirya. Di Jawa Timur, saya pernah mengenal dua nama besar yang sangat gigih berjuang membangkitkan/menyemarakkan kehidupan bersastra melalui HP3N, yakni Herry Lamongan dan Akaha Taufan Aminoedhin Batu. Ada juga Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto) dengan Aming dan Suyitno Ethex-nya, ada Sanggar Triwida dengan Tamsir AS (kini diketuai Sunarko ’’Sodrun’’ Budiman, ada Sanggar Parikuning di Banyuwangi yang tampaknya lenyap bersama ’’sang provokator’’-nya: Esmiet. Ada juga Forum Lingkar Tanah Kapur-nya Yon Kembar (Ngawi), ada Barisan Seniman Muda Blitar (sekedar mengingatkan: beberapa saat lagi hendaknya diubah namanya menjadi Barisan Seniman Tua Blitar) yang dikomandani Bagus Putu Parto. Ada juga Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) dengan boss JFX Hoerry yang setahu saya (mohon dikoreksi) jabatan pengurus harian lainnya dirangkap oleh Djayus Pete yang tampaknya pula bertindak sebagai anggota. Dengan kata lain, yang saya tahu PSJB itu ya hanya berisi wong loro konthal-kanthil: Hoerry dan Djayus! Lalu di Surabaya ada Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang kelahirannya dibidani Suripan Sadihutomo bersama Suharmono Kasiyun, kini ketuanya saya (hehehe….!).

Itu sekedar contoh. Saya khawatir dijiplak Aming yang konon malas meneliti itu jika menyebutkan semuanya (baca: sebenarnya memang saya tidak hafal untuk menyebutkan satu per satu).

Pak Suripan, mungkin dulu menyadari bahwa nyaris semua pengarang sastra Jawa yang tinggal di surabaya adalah orang-orang udik yang perlu diperketat keguyubannya sehingga memilih kata paguyuban untuk menamai komunitas pengarang sastra Jawa yang dibangunnya. Bagus Putu Parto juga pernah bercerita kepada saya bahwa ia memilih nama barisan, dengan maksud siapa pun bisa jadi komandannya. Mungkin, juga kalau lelah sewaktu-waktu bisa istirahat di tempat, siap, atau bubar jalan, untuk kemudian sewaktu-waktu diperlukan: dirapatkan lagi!

Sanggar Triwida pada awalnya –justru ketika saya belum masuk jadi anggotanya— benar-benar representatif sebagai sebuah sanggar. Peran Suripan Sadihutomo ketika itu terhadap Triwida tak bisa dipandanag sepele: mendorong dan bahkan menjadi narasumber untuk workshop penulisan, mempropagandakan Triwida melalui tulisan-tulisannya.

Tamsir AS juga tergolong sosok pilih tanding dalam membangun Sanggar Sastra Triwida. Ia benar-benar menjadi boss yang murah hati, ia pula yang menuntun anak-anak muda yang masih gagap untuk bisa membuat cerita yang bagus, membuat buku, memperkenalkannya dengan penerbit-penerbit, sampai kemudian anak-anak muda itu bisa tahu jalan ke penerbit-penerbit lain.

Sayangnya, belakangan, namanya saja masih memakai istilah sanggar, tetapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan tak jauh berbeda dengan apa yang biasanya dilakukan oleh kelompok Ibu-ibu PKK: arisan. Menerbitkan buku pun dilakukan dengan cara ’urunan’. Maksudnya bukan urunan uang untuk membiayai penerbitan itu, tetapi urunan: karya. Saya pikir hal seperti ini agak fatal.

Sanggar berarti tempat. Jadi, Sanggar sastra seharusnya juga menjadi tempat, ajang, untuk berkreasi di bidang sastra/penulisan. Maka, walau saya belum sempat melihat langsung: saya sangat hormat kepada Sanggar Adinda (sekarang juga sudah tidak terdengar lagi gaungnya) di Sumenep, Madura, yang menurut cerita teman saya, St. Sri Purnanto, berlangganan sekian banyak koran Minggu, menyediakan sekian banyak mesin ketik (manual) sehingga setiap anggota bisa datang kapan saja untuk secara gratis membaca karya sastra yang dimuat koran Minggu, dan menulis dengan mesin ketik yang tersedia di sanggar. Dan yang tak kalah pentingnya: bisa bertemu dengan teman-teman sesama pecinta/kreator sastra untuk berdiskusi seputar persoalan kesusastraan.

Komunitas Sastra
bukan Partai Politik

Saya punya seorang teman, sebut saja namanya Kasep. Ia masuk menjadi anggota sebuah sanggar sastra, belajar meningkatkan kualitas tulisan-tulisannya, belajar bergaul, berorganisasi, hingga ia segera menyusul senior-seniornya: tulisannya semakin diperhitungkan, sampai-sampai sebuah penerbitan tertarik untuk mempekerjakan, mengangkat pengarang yang pengangguran ini jadi karyawannya.

Maka, ia harus berpindah ke tempat lain, ke kota lain, yang juga ada sanggar sastranya. Kasep pun melamar untuk menjadi anggota sanggar sastra di tempat tinggalnya yang baru. Karena ketekunannya, atau hanya sedang ditimpa nasib baik, Kasep pun mengalami kemajuan yang cukup pesat di komunitasnya yang baru ini. Tetapi ia bukanlah kacang yang lupa kulitnya. Kasep tetap berusaha untuk dapat selalu hadir setiap ia menerima undangan untuk pertemuan-pertemuan sanggar sastra yang diakui telah berperanan besar dalam membentuk dirinya, bahkan: melahirkannya.

Mungkin memang Kasep agak besar plus keras kepala. Lingkungan barunya mengajarinya untuk jadi individu yang lebih terbuka, berani jujur dan berterus-terang. Maka kritik terhadap teman-teman lamanya di sangarnya yang lama pun dilancarkannya tanpa basa-basi. Kasep tampaknya terlalu sadar bahwa sebagai penulis seharusnya orang (teman-temannya) lebih suka dikritik daripada didiamkan. Tetapi, hasilnya adalah: kawan-kawan lama Kasep lalu menjuluki anak kampung yang satu ini dengan: Si Keminter.

Maka, kini tokoh kita bernama Keminter. Lha, justru karena keminter itulah, tampaknya, kini Si Keminter diangkat menjadi Ketua Sanggar Baru di Kota Baru. Dan serta-merta pula Keminter merasa bodoh dan terbengong-bengong saat mendengar reaksi Ketua Sanggar Lama-nya: ’’Lho, bagaimana sih, Si Keminter itu? Kok dia lalu jadi Ketua Sanggar Baru itu bagaimana? Masih merasa sebagai anggota sanggar kita atau tidak, sih?’’

Tanpa bermaksud membela secara berlebihan terhadap Keminter yang malang itu, tampaknya kita harus sepakat bahwa komunitas seni, komunitas sastra, sanggar sastra, bukanlah partai politik. Jadi, keanggotaan rangkap seperti yang dialami/dipilih Keminter itu tidak selayaknya dipandang sebagai sebuah pelanggaran, apalagi pelanggaran berat. Bukankah Sang Ketua Sanggar Lama itu sebenarnya pantas menepuk dada: ’’Lihat, Si Keminter itu! Di sini ia hanya anggota biasa, dan di sana jadi ketua!’’ Mungkin memang akan lebih baik jika Ketua Sanggar Lama itu berpikir bahwa Sanggar Baru tak lebih dari salah satu ’’provinsi’’-nya.

Tanggung Jawab

Pekerjaan menulis, mengarang, pada hakikatnya adalah pekerjaan individual, walau tidak tertutup kemungkinan: sebuah tulisan dikerjakan secara keroyokan. Paling tidak, seorang pengarang bisa bekerja sendiri bukan seperti seorang aktor.

Maka, menjadi anggota sanggar tentu juga tidak wajib hukumnya. Ada pengarang/penyair/penulis yang merasa tidak perlu menjadi anggota sanggar, ada yang menganggapnya sebagai penting, dan ada yang mula-mula menganggap penting tetapi lalu menganggap sudah cukup untuk berkarya sendiri pada suatu saat.

Tidak ada salahnya pula seseorang memandang sanggar atau komunitas sastra sebagai ’’sekolahan’’ terbuka, yang ketika ia merasa sudah lulus maka lalu menyatakan atau diam-diam keluar dari sanggar/komunitasnya untuk bertekad: lebih produktif dengan ’’menyendiri.’’

Jika anda seorang pengarang/penyair/penulis yang sudah jadi dan tetap merasa perlu aktif di dalam sanggar/komunitas, tentulah anda diam-diam atau terang-terangan menyadari tanggungjawab sosial, untuk membantu generasi yang lebih muda, untuk membangun kehidupan berkesenian, bersastra, dengan cara bekerja bersama-sama.

Adalah sah-sah juga, jika anda memiliki tujuan-tujuan politis yang lebih berkaitan dengan kepentingan pribadi: misalnya untuk popularitas atau membangun citra diri, selama anda tetap berada pada koridor kerja sama saling menguntungkan dan tidak semata-mata mengeksploitasi kawan.

Kesusastraan selalu berhubungan dengan hakikat manusia dengan segenap kemanusiaannya, dan oleh karenanya tentu akan sangat konyol jika di dalam komunitas sastra orang lalu bermain politik secara kasar. Maka, ketika seorang kawan kita memiliki ide dan mencoba meyakinkan bahwa idenya itu bagus untuk direalisasikan, tampaknya pertanyaan, ’’Jika proyek itu terlaksana, siapakah yang paling mengeruk keuntungan (secara moral, atau bahkan juga material)?’’ adalah terlalu naif. Maka, wahai para aktivis sanggar/komunitas sastra, marilah kita bertanya, apakah kita suka menjadi Rendra, Umbu Landu Paranggi, Emha Ainun Najib, Budi Darma, Beni Setia, atau Herry Lamongan.

Maka, jika orang Jawa punya pepatah, ’’Sepi ing pamrih rame ing gawe,’’ untuk urusan membangun komunitas satra, khususnya di Jawa Timur, saya punya tawaran, bagaimana jika pepatah itu kita adaptasi menjadi: ’’Rame ing pamrih rame ing gawe’’(?) Tampaknya, itu lebih terasa sebagai: bukan basa-basi!

BONARI NABONENAR
*) Tulisan ini dibuat untuk pengantar diskusi Sastra Tiga Kota: Lamongan, Mojokerto, Sumenep, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa

Surabaya, 14 Juni 2005.

0 urun rembug: