Friday 4 January 2008

KETIKA KETELANJANGAN TUBUH MASIH DISEBUT TAK TERTUTUP SEHELAI BENANG PUN

ORANG Jawa punya nasihat, ’’Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani,’’ [terjemahan harfiah: Jika berani jangan takut-takut, jika takut jangan berani-berani]. Maksudnya, sebaiknya orang tidak bersikap atau berbuat tanggung atau setengah-setengah. Tetapi, pada akhirnya ragu juga saya, sudah tepatkah saya kutip nasihat itu di sini, hanya karena saya selintas menangkap kekurangberanian KiranaKejora mengeksplorasi segenap potensi kreatifnya untuk novel yang menurut daya tangkap saya sangat potensial untuk menjadi sangat ’liar’ ini.

Jangan salah sangka. Saya memilih istilah ’liar’ untuk menyebut keleluasaan kreator untuk tidak diperbudak, ditunggangi, dibayang-bayangi konvensi. Darmanto Jatman dengan puisi-puisi multilingualnya, tetapi yang pada akhirnya terasa jauh lebih ’Jawa’ daripada puisi-puisi yang sepenuhnya berbahasa Jawa adalah contoh, model, kreator yang sukses mengeksplorasi seluruh potensi kebahasaannya. Jadi, saya tidak mengharapkan ’keliaran’ seorang pengarang yang membiarkan halaman-halaman bukunya belepotan sperma, darah perawan, airmata. Saya tidak mengharapkan kelatahan dari berbagai permainan kata yang hanya berpusar-pusar di kawasan tubuh yang biasanya kita lindungi dengan celana dalam, satu hal yang memang tidak ditunjukkan Kirana. Bahkan, dengan begitu manisnya, kadang, ia berkelit untuk tidak terpeleset di ’’ceceran sperma’’. Maka, setelah ’aku’ [perempuan] menelepon lelaki kenalan barunya dan membiarkannya masuk ke kamarnya di malam yang sangat ’horny’ Kirana hanya menulis, ’’Selang nsaat 5 jam kemudian...’’ disambung dengan dialog, ’’Maafkan aku Ly... apa yang membuatmu menangis? Aku akan bertanggung jawab... maafkan aku... aku kilaf...’’ Kalau toh si pengarang mendekati atau bahkan harus mendeskripsikan adegan-adegan manusia dewasa itu, menurut kata-kata yang biasanya dipakai sebagai apologi para pemain sinetron kita, itu masih dalam batas-batas ’’tuntutan cerita’’. Kirana tampak tak hendak bermain-main dan apalagi merayakan ’’dunia kelamin’’.

Kirana, saya harap, kelak akan semakin berani bereksplorasi, misalnya, tidak lagi menggemari atau merasa puas dengan ungkapan yang menurut saya terasa klise macam penggambaran ketelanjangan tubuh dengan kata-kata: ’’tidak terbalut sehelai benang pun!’’ Dan saya yakin banget, ini bukan harapan kosong. Kepak Elang Merangkai Eidelweis [yang diakuinya sebagai karya pertamanya ada pula pada saya, yang membuat saya bisa mengatakan bahwa Selingkuh ini adalah lompatan yang luar biasa dari karya pertama itu. Padahal jeda kelahiran kedua karya ini terbilang pendek, bahkan, keduanya lahir di tahun yang sama, 2006.

Mengutip Teuw, saya hanya akan mengingatkan bahwa karya seni, termasuk sastra, selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Maka, semakin tegang semakin enak, gitu loh! Dan, Selingkuh ini bener-bener menggemaskan, karena ketegangannya kurang maksimal! [BONARI NABONENAR, Penulis, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, untuk buku seorang sahabat]

0 urun rembug: