Thursday 3 January 2008

Desakralisasi Pakem secara Bertangung Jawab

Oleh: Sunarko Budiman*)


SEBUAH pertanyaan menarik dilontarkan Bagus Putu Parto: Revitalisasi Kentruung, Dimulai dari Mana? (JP Minggu, 7 Januari 2001). Atas nama kentrung, Bagus menyiratkan kecemburuannya terhadap bentuk-bentuk kesenian yang sekarang sedang naik daun seperti ketoprak (humor) dan jaranan (campursari). Kecemburuan demikian memang tidak salah. Popularitas, sepertinya menjadi segala-galanya bagi jenis-jenis kesenian yang sudah cukup lama “ditinggalkan” oleh masyarakatnya. Tetapi jangan lupa, ketika sekian juta pasang mata tertawa-tawa saat menikmati ketoprak humor, para pekerja seni yang bertanggung jawab boleh juga menangis.

Revitalisasi kentrung, dari mana? Pertanyaan tersebut sesungguhnya telah terjawab oleh Kentrung Jos (Universitas Jember), yang, sayangnya, tak berumur panjang itu. Juga, Bengkel Muda Surabaya dengan Wayang Kentrung-nya, kemudian kentrung radio yang sempat diproduksi oleh Departemen Penerangan Jawa Timur. Pengin jadi tontonan layar kaca (televisi) semacam ketoprak humor? Yakinlah, itu bukan urusan yang sulit. Kentrung sangat potensial untuk itu. Tetapi, sudah cukupkah jika hanya sekedar ngetop?

Apa yang dilakukan Timbul dengan ketoprak humor-nya sesungguhnya bukan sebuah revitalisasi, melainkan semata-mata hanya eksploitasi. Sebenarnya yang disebut pakem (prinsip-prinsip dasar) ketoprak tentu bukan barang keramat yang tak boleh diutik-utik. Justru keberanian mendesakralisasi pakem-lah yang dapat dipandang sebagai sebuah tindakan pembaruan, untuk membawa kesenian tradisional ke arah yang lebih baik, yang tidak tertinggal (ditinggalkan) oleh masyarakatnya. Yang dilakukan Timbul terhadap ketoprak memang juga termasuk mendesakralisasi pakem, membongkarnya, tetapi kemudian dia --dan segenap awak ketoprak humor-nya— hanya ndagel (membanyol) di atas puing-puing pakem ketoprak itu. Tak pelak, ketoprak humor memang dapat sambutan luar biasa dari masyarakat, tetapi tampaknya ini bukan kabar yang terlalu baik bagi ketoprak itu sendiri. Artinya, Timbul telah mendesakralisasi pakem ketoprak secara kurang bertanggung jawab. Terhadap genre ketoprak itu, tentu saja. Kalau kepada profesinya sebagai pelawak, tentu itu jadi tindakan yang sangat bertanggung jawab, kan!

Inilah sesungguhnya persoalan mendasar yang menimpa berbagai jenis kesenian tradisional kita: ludruk, ketoprak, kentrung, kethek ogleng, ataupun jaranan. Begitu pula halnya wayang, baik wayang kulit, maupun/dan terutama wayang orang. Tampaknya para kreator dan para pelaku kesenian tradisional itu telah terlalu lama “berdiam diri” atau mandeg. Sehingga, misalnya yang terjadi pada wayang kulit, Narto Sabdo yang memperpanjang waktu untuk adegan gara-gara saja sudah dipandang sebagai pembaharu pakeliran. Narto Sabdo harus diakui sebagai dalang hebat yang memiliki kreatifitas yang sangat komplit sebagai dalang. Dia sangat matang di karawitannya, dalam sabet, dan terutama dalam antawencana (:dialog). Bahkan, terutama justru dari antawencana inilah Narto Sabdo mampu menghadirkan kebaruan dalam pakeliran wayang kulit. Dengan kekuatan dialog-dialognya, Narto Sabdo mampu menghidupkan tokoh-tokohnya, dan bahkan menghadirkan perdebatan yang melantur tetapi menarik. Sayangnya, Narto Sabdo masih selalu mengawali pakelirannya –sesuai dengan pakem— dengan deskripsi mengenai kerajaan dan kehidupan sekitar istana dengan bahasa Kawi (Jawa Kuna) yang kini sangat tidak populer itu. Sementara Ki Djaka yang terkenal sebagai dalang edan, Ki Enthus yang dianggap tergolong berani itu, juga belum berbuat banyak terhadap pakem pakeliran itu sendiri. Tambahan instrumen musik, adegan lawak dengan menampilkan pelawak kondang macam Kirun atau Timbul maupun penyanyi dangdut, masih sangat tampak artifisial.

Dalam ketoprak juga begitu. Ki Suwondo HS yang memimpin Ketoprak Siswo Budoyo itu boleh juga dianggap telah melakukan pembaharuan pada kesenian ketoprak, dengan mempercantik adegan perkelahian, dan memberikan tambahan bobot teatrikal dengan mencoba menyerap teater modern. Tetapi hasilnya masih tampak sebatas sabet (dalam hal ini yang dimaksud adalah adegan perkelahian dengan memadukan unsur-unsur pencak silat dan kung fu) kecantikan setting, dekorasi, property, termasuk masuknya permainan efek, misalnya untuk menggambarkan sungai, laut, ataupun hujan.

Bondan Nusantara harus dipandang sebagai sosok yang berjasa, memasukkan ruh Dagelan Mataram –yang pernah ngetop dengan Basiyo-nya—ke dalam ketoprak, hingga lahirlah ketoprak plesetan, yang dalam warna yang lain kini dipopulerkan Timbul dengan ketoprak humor itu. Klop, sudah. Sebagai sebuah grup lawak, Srimulat konon juga tumbuh dengan ruh Dagelan Mataram. Bondan, bahkan juga mementaskan lakon-lakon ketoprak yang tidak lazim, artinya menggali materi kisahnya tidak saja dari cerita-cerita babad, cerita-cerita dari Zaman Kerajaan, tetapi juga menampilkan cerita-cerita baru dengan memotret kehidupan masyarakat saat ini. Kalaupun Bondan memasukkan dagelan alias humor ke dalam ketopraknya, struktur ketoprak itu sendiri masih dipertahankan oleh Bondan. Inilah agaknya, yang membedakan Bondan dengan Timbul. Maka, tanpa mengurangi kerja keras Timbul, Bondan harus dipandang telah melakukan upaya revitalisasi yang lebih bertangung jawab terhadap ketoprak.

Jika benar Bagus Putu Parto menginginkan agar Kentrung menjadi populer seperti ketoprak humor, percayalah, itu bukan pekerjaan yang terlalu sulit. Dibandingkan dengan wayang, ketoprak, bahkan ludruk sekalipun, kentrung jauh lebih luwes terhadap upaya pembaruan. Tetapi, apa begitu saja sudah cukup?*


Sunarko Budiman adalah Ketua Sanggar Triwida Tulungagung
Sumber: JP Minggu

0 urun rembug: