Thursday 3 January 2008

Wajah Calo Wajah Kita

SIANG itu panas sangat menyengat. Tak begitu susah menemukan kantor Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) Surabaya yang berlokasi di Jl Pahlawan, kendati para pedagang kaki lima menutup hampir separoh badan jalan. Cukup semrawut.

Bagus langsung memasuki gedung, menuju loket. Beberapa orang laki-laki bertampang sangar bukannya sedang antre untuk membeli tiket, tetapi segera merangsek begitu melihat calon pembeli tiket datang. Bagus yang memang datang untuk mencari tiket pun segera jadi sasaran mereka.

Mereka menarik-narik tangan Bagus. Apalagi ketika Bagus mencoba bersikeras untuk membeli tiket langsung di loket, bukan melalui calo, menuruti imbauan yang ditulis oleh pihak PELNI di dinding. Tetapi para calo itu memaksa-maksa. Bahkan satu-satunya jalur pembelian tiket yang dibuka mereka blokir.

Ketika Bagus menanyakan harga tiket, dengan entengnya mereka menunjuk daftar harga resmi yang dipasang di dinding. Tanpa curiga, Bagus pun menerimanya. Mereka tulis nama lengkap Bagus sesuai dengan yang ada di KTP-nya, dan mengantrekannya di loket. Jadi, tiket itu belum berada di tangan mereka. Beberapa saat kemudian, tiket pun jadi. Dan ternyata mereka tidak meminta harga seperti yang tertulis di daftar harga resmi, melainkan menambahkan sepuluh ribu rupiah sebagai uang jasa.

Uang sepuluh ribu kali sekian banyak penumpang? Jumlah yang tergolong besar. Pastilah bahwa penghasilan para calo itu jauh lebih besar daripada bayaran guru bantu, guru tidak tetap, guru sukarelawan, atau pun guru kontrak yang per bulan hanya berkisar 100-an ribu rupiah.

Para calo itu tak kurang dan tak lebih adalah warga kota, rakyat, yang kian hari kian ditindih oleh beban hidup yang makin berat, biaya sekolah bagi anak-anak mereka yang makin mahal, termasuk harga BBM dan tarif listrik yang makin menyengat. Adapun Bagus, tak kurang dan tak lebih adalah rakyat juga. Maka, di depan loket kantor PELNI yang berlokasi di Jalan Pahlawan Surabaya itu telah terjadi –entah sejak kapan-- penindasan terhadap rakyat oleh rakyat! Tak kurang, tak lebih. Penindasan rakyat oleh rakyat yang difasilitasi “negara”.

Bisa disebut difasilitasi negara, karena tak ada seorang polisi pun di lokasi strategis itu. Ada beberapa satpam yang tampaknya juga merasa tidak punya urusan dengan keamanan para konsumen, rakyat yang sedang membutuhkan tiket kapal, yang notabene adalah rakyat kecil macam mereka juga. Sebab, kalau rakyat besar tentu akan memilih naik pesawat udara, bukan naik kapal laut. Inilah pertanyaan besar-nya: Jika polisi serius memposisikan diri sebagai pengayom masyarakat, pelindung rakyat, mengapa mereka tidak menjaga tempat-tempat strategis seperti kantor PELNI itu? Mengapa para calo itu dibiarkan menguasai kantor PELNI di Surabaya?

Yang makin susah dipahami, para calo itu beroperasi sejak dari luar ruangan, di dalam ruangan, dan bahkan persis di depan loket, memblokir atau menutup akses langsung calon pembeli tiket dengan petugas resmi PELNI. Apakah para calo itu ada main dengan orang dalam? Jika tidak, mengapa mereka demikian bebasnya mengintimidasi calon pembeli tiket? Kita layak prihatin. Betapa tidak? Di sini calo lebih berwibawa, lebih berkuasa. Dan sekali lagi, inilah penindasan rakyat oleh sesama rakyat yang difasilitasi negara.

Maka, pada akhirnya, di wajah para calo yang sangar itu kita melihat wajah kita pula, wajah birokrasi kita, wajah politik dan budaya kita, wajah bangsa kita –yang begitu gampangnya melupakan persaudaraan, melupakan kemanusiaan, demi uang.* (Bonari Nabonenar)

0 urun rembug: