Thursday 3 January 2008

Beramai-ramai Memerkosa Si Kecil di TRS

DINAS Pendidikan Kota Surabaya punya program tahunan --yang mesti diyakini dengan program niat baik-- yakni melakukan serangkaian lomba seni (vokal, teater, baca puisi, tari) antarsekolah dan antar-taman kanak-kanak, bekerjasama dengan Taman Remaja Surabaya (TRS). Pada babak penyisihan, lomba diadakan untuk tingkat kecamatan, dan pada putaran final para jawara dari tingkat kecamatan itu diadu untuk mendapatkan yang terbaik. Pihak TRS sendiri memetik untung dari penjualan tiket masuk untuk para peserta dan orang tua atau supporter mereka, sementara pihak Panitia Lomba memperoleh fasilitas, misalnya panggung dengan segala perlengkapannya yang selalu siap setiap saat. Ini memang harus diakui pula sebagai semacam terobosan, cara kerja sama saling menguntungkan, walau rata-rata juri mengeluh tidak bisa berkonsentrasi, terlalu gaduh, karena jarak panggung satu dengan lainnya terlalu berdekatan dan masih ditambah lagi hiruk-pikuk suara kereta kelinci, mesin ayunan, dan lain-lain yang memang sangat mengganggu. Tetapi, itu bukan bagian yang akan dibahas dengan tulisan singkat ini.

Yang paling menarik perhatian saya selama paling tidak 2 putaran (tahun 2004 dan tahun 2005) menjadi salah seorang juri lomba itu adalah penampilan anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) yang menurut saya telah ’diperkosa’ habis-habisan oleh para guru, pembina, instruktur, dan celakanya lagi, mendapat dukungan penuh dari para orang tua. Memang tidak semua TK menampilkan anak-anak ’’korban perkosaan’’. Tetapi jumlahnya sungguh mengkhawatirkan.

Nah, sekarang marilah kita bayangkan tontonan ini: puluhan anak-anak yang rata-rata berusia 4 – 5 tahun, laki dan perempuan, berjalan melenggak-lenggok di atas panggung, diiringi house music, atau musik gedebag-gedebug yang biasa diperdengarkan di diskotik. Anak-anak itu sedang memeragakan busana olah raga. Mula-mula seorang anak maju mendekati bibir panggung dengan kostum sepak bola. Lalu bola basket, bola voli, tenis, pencak silat, dan seterusnya, hingga sampailah pada giliran seorang gadis kecil memeragakan busana renang. Ya, busana renang. Dengan kepolosan seorang bocah kecil ia melenggak-lenggok, idal-idul, idal-idul…. mengelilingi panggung. Hanya dengan semacam kutang dan cawat saja! Entah, bagaimana seandainya ia masuk angin!

Saya, walaupun ketika itu mesti jadi juri, jadi ngudarasa sendiri, bertanya-tanya, apakah tajuk ’’peragaan busana olah raga’’ itu akan kehilangan esensinya dan dengan demikian memberikan hak kepada juri untuk mengurangi nilainya jika ’’si renang’’ tidak disertakan pula?

Pertanyaan di dalam benak saya pun berkembang. Mengapa guru TK yang bersangkutan begitu teganya terhadap anak didik sendiri, sementara ia, saya yakin, adalah perempuan juga? Kemudian, mengapa pula orang tua si bocah pun mendukungnya, mengantarkan ke tempat perlombaan dengan riang? Sementara, si anak sendiri belum tentu seriang itu, terbukti ada beberapa anak yang justru ngambek, menangis, dan batal pentas. Para orang tua itu bisa jadi juga yang membelikan kostum dan mengeluarkan ongkos rias di salon bagi si anak, yang dengan demikian, menurut bahasa saya, layak disebut sebagai ikut andil terhadap perkosaan yang menimpa tak lain dan tak bukan adalah anak-anak mereka sendiri itu.

Pertanyaan berikutnya tentulah menyangkut kompetensi sang guru/pembimbing/pembina, maupun instruktur, karena pendidikan mau tak mau harus dijalankan dengan memerhatikan aspek-aspek psikologis peserta didik, dan karena itu pula di setiap lembaga pendidikan yang mencetak bakal calon guru, termasuk dahulu ketika masih ada SPG (Sekolah Pendidikan Guru –setingkat SLTA) ada mata pelajaran ilmu jiwa: ilmu jiwa anak, jiwa remaja, jiwa orang dewasa.

Salah seorang teman malah punya komentar yang menarik ketika menerima keluh-kesah saya berkaitan dengan kasus ’’pemerkosaan anak-anak di TRS’’ itu: ’’Secara psikologis, kita bisa menerima peristiwa itu sebagai pengejawantahan obsesi sang guru sendiri, pemunculan bawah sadarnya, keinginan-keinginannya yang terpendam. Jadi, ketika guru itu tidak lagi punya peluang untuk tampil di idol-idol-an, merasa cukup malu untuk tampil idal-idul di atas panggung dengan ditonton banyak orang –padahal dorongan dari dalam dirinya besar sekali—maka anak-anbak itulah yang mereka jadikan katalisator, media untuk menyalurkan naluri-naluri bawah sadar itu!’’ Duh, betapa menyedihkannya!

’’Pemerkosaan terhjadap anak-anak’’ di TRS itu tidak hanya menimpa para peserta lomba peragaan busana alias fashion show, melainkan juga peserta lomba menyanyi, yang saya ragukan para bocah kecil itu sebagai peserta memilih sendiri lagu materi lombanya yang syairnya sangat jauh dari jiwa anak-anak mereka, yang bahkan nada-nadanya pun terasa belum pas bagi kapasitas pita suara mereka.

Soal dandanan atau tatarias, baik untuk peserta lomba menyanyi atau lomba peragaan busana, tampaknya juga perlu dievaluasi. Jika para guru atau bahkan para juru memakai parameter standard orang dewasa, misalnya rumus yang mengatakan bahwa untuk tampil pada malam hari dandanan mesti lebih menor, kita mesti melihat pula, apakah anak-anak tidak merasa ’’menjadi patung hidup’’ alias sedang dibonekakan dengan dandanan itu, apakah mereka bisa tampil dengan segenap keriangan khas kanak-kanak mereka, atau justru tersiksa lahir batin mereka? Lihatlah, beberapa anak menampakkan wajah methuthut, cemberut, seperti ingin mengatakan kepada kita bahwa mereka sebenarnya sedang diplokotho, atau dengan bahasa yang sedikit bombas: ’’diperkosa’’ oleh para guru, pembina, pembimbing, dan/atau instruktur mereka sendiri.

Adalah wajar jika di antara anak-anak itu kelak ada yang memilih jadi seniman musik, jadi penyanyi dangdut atau jadi rocker, dan adalah sehat juga dan bahkan menjadi naluri anak-anak itu untuk meniru orang dewasa, seperti yang kemudian tampil dalam dolanan atau permainan peran, dhayoh-dhayohan (bertamu-tamuan), anak-anakan (dengan boneka, anak-anak itu berperan layaknya seorang ibu yang sedang mengasuh anaknya). Tetapi, apakah pada ’’usia taman kanak-kanak’’ kita akan mentala atau tega mengajari mereka berpenampilan seperti penyanyi rock, hip metal, dangdut versi seronok, dan melenggak-lenggok, berangkulan dengan lawan jenis ketika memeragakan busana berpasangan?
Entahlah, atau saya yang diam-diam ketinggalan zaman!

(Bonari Nabonenar, Pengurus Harian Dewan Kesenian Jatim –saat itu)

=> tulisan ini dimuat JP (halaman metRopolis, kira-kira tahun 2005

0 urun rembug: