Oleh Viddy AD Daery
Sebenarnya, sejak dulu sampai kini, sastrawan Jatim yang mempunyai nama di tingkat nasional cukup banyak, misalnya: D. Zawawi Imron, Budi Darma, Akhudiat, Suparto Broto, juga sastrawan mudanya yang berkibar di banyak media massa Jakarta hari-hari ini, seperti S.Yoga, M.Shoim Anwar, Viddy AD Daery, Sirikit Syah, Denny Tri Aryanti, Indra Tjahyadi, Mashuri dan banyak lagi. Belum lagi beberapa sastrawan dengan status aneh dan unik, misalnya Sihar Ramses Simatupang, yang berdarah Batak kelahiran Jakarta tetapi lama hidup dan berkarya di Jatim. ”Sastrawan Jatim” dengan status unik semacam ini sudah lama bisa dirunut sejarah produktivitasnya, seperti juga Gerson Poyk, Julius Sijaranamual, Hasan Bisri BFC, Medy Lukito, Yudhiswara Pontianak dan sebagainya.
Tetapi antargenerasi sastrawan Jatim itu secara formal jarang bertemu muka, selain saling baca nama dan karya di koran dan atau majalah Jakarta dan Surabaya, karena forum resmi yang pernah ada, seperti Festival Puisi PPIA yang pernah berjaya dari tahun 70-an sudah mampus di tahun-tahun akhir 90-an.
”Temu Sastrawan Jawa Timur” ( TSJT ) di Kampung Seni Bagus Putu Parto di desa Gogodeso, tepi sungai Brantas, Lodaya, Blitar 19-21 Juli 2003 berlangsung meriah dan mendapat sambutan dari berbagai kelompok sastrawan Jatim karena dianggap ”pertemuan silaturahmi” yang pertama setelah ”Pertemuan Sastrawan Jatim 1983” di Ambunten, Sumenep, Madura pada 15-16 Oktober 1983, dan tentu karena mampusnya Festival Puisi PPIA, sebab pemerintah Amerika Serikat menyetop dana seni budaya untuk Indonesia.
Toh, pada TSJT itu, sastrawan ”alumni” Pertemuan Sumenep yang hadir hanya tiga orang, yakni D.Zawawi Imron, Viddy AD Daery dan Jill Kalaran. Sedang peserta lainnya, kebanyakan adalah ”generasi dahulu” yang ”belum masuk pergaulan seniman” di zaman PSJ Sumenep, plus generasi sekarang yang di zaman PSJ Sumenep mereka belum ada, karena masih usia TK atau paling tua, usia SMA
Sebagian (hampir separuh) alumnus Sumenep memang sudah menghadap Tuhan, seperti misalnya Amang Rahman, Wiwik Hidayat, Krishna Mustajab, Pomo Martadi, OH Supono, Mohammad Ali, Gatut Kusumo, bahkan Aryono Chandra yang masih muda, yakni berusia di bawah 40 tahun.
Sebagian lagi, karena mereka yang ”nyeniman” di zaman Sumenep, kini tidak lagi aktif bergaul di kalangan seni, seperti Joko Suud Sukahar yang kini menjadi pemred sebuah koran mistik, Sutanto Supiadhy yang kini menjadi pengacara, yang lainnya ada yang menjadi pengusaha, politikus , ”akrobatis kehidupan” maupun ”badut”.
Generasi Baru
Dengan demikian, sebagian besar peserta TSJT Blitar adalah generasi baru sastra Indonesia (termasuk Jawa, Osing dan Madura ) yang masih berusia 20-an sampai 30-an, namun sudah cukup diperhitungkan di tingkat nasional, seperti misalnya: Mashuri, Denny Tri Aryanti yang menjadi primadona, Indra Tjahyadi, Ribut Wiyoto, Bonari Nabonenar, M.Shoim Anwar, Bagus Putu Parto, Narko Sudrun, Trinil, Susmono Sandi Asmoro, Widodo Basuki, Leres Budi Santoso, Sirikit Syah, Winarti Juliet Vennin, M. Tauhid Supratman, Kuswinarto Yaqin Saja, Tjahyono Widiyanto & Tjahyono Widarmanto (Kembar Group) dan sebagainya.
Generasi tua yang sudi hadir dan memberi ruh pertemuan TSJT adalah DR Setya Yuwana Sudikan, DR Ayu Sutarto, Suparto Broto, Max Arifin, Wawan Setyawan & Nyonya, RM Yunani Prawiranegara, Djayus Pete, Soya Herawati SWD, Lenon Machali , Beni Setia , Suharmono K dan beberapa lagi.
Dengan hadir dan bersatunya generasi tua, generasi tengah dan generasi muda, maka TSJT berlangsung ”sambung-sinambung” dari masa ke masa , dan karena ruang istirahat dibikin menyatu dalam satu ruangan ”bale sigolo-golo”, maka pertemuan antargenerasi itu berlangsung akrab dan saling ”ngangsu kawruh” antargenerasi.
Persoalan Sastra CyberMeskipun demikian, silaturahmi itu agak terganggu justru di forum diskusi resmi yang berlangsung di kebun belakang Rumah Seni Bagus Putu Parto, karena rata-rata para pembicara ( selain Winarti yang datang dari dan membacakan makalah mengenai ”sastra cyber” ) adalah pembicara yang kurang menyadari kehadiran teknologi internet dan implikasinya terhadap sastra, termasuk hadirnya generasi sastrawan internet (cyber).
Para pembicara itu yang rata-rata ingin ”menulis peta sastra Jawa Timur” dari masa ke masa, tidak ada satu pun yang membahas situasi terkini/mutakhir sastra yang diwarnai kehadiran sastrawan cyber, yakni sastrawan yang sebagian besar langsung mempubliksikan karyanya di internet tanpa sekalipun bersinggungan dengan media cetak, kecuali segelintir saja.
Karena itu, para sastrawan internet yang cukup banyak hadir, langsung memprotes para pembicara dan diskusi akhirnya rata-rata cukup panas hanya oleh permasalahan sastra internet.Ini menunjukkan, bahwa masih banyak (bahkan di negara maju sekalipun) sastrawan mapan yang kurang peduli akan kehadiran teknologi internet, padahal dengan adanya internet, bisa menyebabkan terobosan publikasi, karena karya sastranya bisa dipublikasikan ke seluruh dunia dengan cara yang amat mudah.
Memang ada beberapa pembicara yang sudah mengakui keberadaan sastrawan internet, tetapi sekaligus menjustifikasi bahwa sastra internet bermutu sampah, masih lebih bagus mutu karya sastra yang dimuat di media cetak, karena sudah melalui uji kelayakan penilaian beberapa anggota tim redaksi.
Maka diskusi pun memanas lagi, karena soal penilaian mutu atau tidak bermutu pun kini dianggap sudah tidak relevan lagi, di zaman ”posmo” dan ”culturel studies” sudah melanda dan melembaga di seantero dunia, di mana aliran itu menganggap semua karya kreatif manusia pasti bermutu dalam arti kontekstual terhadap konteks karya itu dan lingkungannya. Contoh kecil saja, MTV yang dianggap barometer musik pop juga sudah mengakui dangdut dan membuat acara ”MTV Salam Dangdut”.
Selain riuh rendahnya perdebatan sastra internet, acara yang pada mulanya dimaksudkan untuk membicarakan juga nasib dan perkembangan sastra daerah, yang di Jawa Timur justru tumbuh menggembirakan dengan adanya generasi baru sastrawan daerah yang menulis dalam bahasa etnisnya masing-masing, yakni sastra Madura modern, sastra Osing (Banyuwangi) modern dan juga sastra Jawa modern yang tumbuh paling semarak di Jatim, dalam pertemuan itu jadi kurang tuntas dibicarakan, apalagi karena beberapa pembicara utama yang akan membahas sastra etnis banyak yang tidak hadir.
Bahkan salah satu usulan agar ”Sebuah lembaga yang peduli sastra etnis di Jatim” segera membuat program ”mengkursus para sastrawan etnis agar melek internet” dan kalau perlu membuat website ”Cybersastra Etnis/Daerah” yang agak mengemuka di diskusi tahap pertama, akhirnya tidak ada yang menggubris lagi.
Hal itu disesalkan oleh para sastrawan daerah dan pemerhati sastra daerah, sehingga banyak yang mengusulkan diadakannya pertemuan semacam itu sekali lagi atau beberapa kali lagi dengan cara arisan, dengan memilih daerah yang unik serta pemdanya perduli dan mau menyumbang dana.
Ini memang persoalan khas Indonesia yang pemerintahnya cuek bebek karena lebih sibuk merampok kekayaan negara, sehingga rakyat termasuk sastrawan harus memperjuangkan nasib mereka sendiri, dengan napas tersengal-sengal dan harapan yang kembang-kempis.Buktinya pertemuan Blitar itu sudah diangankan selama 20 tahun, sejak berakhirnya Pertemuan Sumenep tahun 1983 yang lampau.
Berbeda dengan di Malaysia misalnya, yang seluruh ornamen pemerintah (pusat maupun negara bagian) membantu sepenuhnya pertemuan sastra budaya yang secara rutin diorganisasikan oleh GAPENA, sebuah LSM plat merah yang hampir sebulan sekali menyelenggarakan acara sastra budaya tingkat regional, nasional maupun internasional di seluruh sudut wilayah Malaysia. []
Penulis adalah sastrawan, pelukis dan sutradara film-tv
Copyright © Sinar Harapan 2003
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/0906/bud2.html
0 urun rembug:
Post a Comment