Wednesday 9 January 2008

Puisi, Ekspresi dan Kesadaran Kolektif Personal

Oleh: Indra Tjahyadi*)


Dapat dikatakan, bahwa puisi merupakan sebentuk ekspresi, yang meskipun teramat sangat bersifat individual, acapkali, entah sifatnya mengkritisi atau mempertegas, masih saja terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal. Hal ini seperti yang dapat dilihat pada puisi-puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi "Duka Atjeh Duka Bersama" (Dewan Kesenian Jawa Timur & Logung Pustaka, 2005), seperti contohnya pada puisi karya Bonari Nabonenar yang berjudul "Tragedi Bangsa Pemabuk":

dan layaknya pemabuk dengan gagah kita berkata
kita adalah para pecinta
tetapi siapakah yang sejak berpuluh tahun lalu
mengembangkan layar dengan serakah
dan mengebarkan bendera dengan pongah
(2005: 15).

Atau juga pada puisi karya Adi Setijowati yang berjudul
"Tragedi I":
Kita sama-sama terasing
di tengah semburatnya
hiruk pikuk yang menyumbat otak
menjadi robot manusia baru
(2005: 1).

Pun hal yang sama juga dapat ditemui dalam baris-baris puisi karya Isbedy Stiawan SZ yang berjudul
"Suatu Hari Kuingat Aceh":
Nuh telah pergi, saudaraku
perahunya sudah terdampar
tiada lagi pohon di kota ini
karena terlanjur hanyut
tiada tempat singgah
sebab gedung-gedung luluh
(2005: 28).

Puisi, meskipun terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal, ia bukanlah kesadaran kolektif personal itu sendiri. Bentuk sifatnya yang lebih merupakan ekspesi individual menjadikan sebuah puisi lebih merupakan manifestasi ungkapan rasa haru biru manusia sebagai seseorang yang, entah mau atau tidak, sadar atau tidak, juga merupakan bagian dari dunia. Yang terus menerus, tanpa letih dan penuh kesabaran, berusaha diwujudkan melalui kata-kata.

Meskipun demikian, kata-kata tersebut bukanlah hanya sekedar kata-kata bersifat biasa seperti yang acapkali dapat ditemukan dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari. Melainkan, bersepakat dengan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana mengenai puisi, kata-kata yang mesra. Dalam pemahaman, bahwa pada kata-kata dalam sebuah puisi adalah kata-kata yang hadir dengan segenap enerji dan geliat-gelubat batin seorang penyair, dalam usahanya untuk mengakomodir rasa kepekaannya atas segala sesuatu yang terjadi di dunia, dengan tanpa pernah meninggalkan rasa kekagumannya atas hidup dan keberadaannya. Seperti contohnya yang terlihat pada puisi karya Aming Aminoedhin yang berjudul
"Serambi Mekah II":

kota indah serambi mekah
tak hanya murung tak hanya muram
kota sepi seperti mati
hujan airmata tiada henti
hujan airmata itu sampai kepada kita
hujan airmata itu sampai ke ujung dunia
(2005: 9).

Atau juga pada puisi karya Binhad Nurrohmat yang berjudul
"13":

dengan apa bisa kuseka petaka
petaka bisa kuseka dengan apa
dengan apa bisa kuseka derita
derita bisa kuseka dengan apa
(2005: 13).

Dari kutipan puisi Aming Aminoedhin dan Binhad Nurrohmat dapatlah dilihat betapa mereka masih saja, dengan segala kemampuan artistik dan kepekaannya, berusaha menghadirkan puisi-puisinya dengan segala kekuatan estetik kata-kata yang puitis. Dan hal tersebut dapatlah dilihat dari bagaimana keduanya masih senantiasa menjaga harmonisasi bunyi kata, meskipun secara tematik puisi-puisi mereka tersebut terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal mereka sebagai bagian dari dunia dan masyarakat. Seperti juga pada puisi karya Muhammad Aris yang berjudul
"Bunga Disebar Sesaji Dilayar" (2005: 35-36), atau puisi karya Herry Lamongan "Wilayah Mati Tanpa Pemakaman" (2005: 22).

Bencana alam, atau mungkin lebih tepatnya malapetaka alam, yang terjadi di Aceh, sebuah geografi yang ada di salah satu bagian negri ini, telah menimbulkan banyak sensifitas kepekaan rasa kebersamaan bagi banyak individu yang tinggal di negri ini. Pun juga, terlebih lagi, bagi para penyair di negri ini. Bagi para penyair tersebut, bencana ataupun malapetaka alam yang menimpa Aceh tersebut seakan-akan mengasah enerji artistik penyair dan kemampuan renjananya sebagai seorang manusia. Tengok saja larik-larik puisi "Kota Mati Gentayangan" karya W. Haryanto:

kuziarahi namamu.
DIRI; juga peristiwa
saat matahari mencair dan terbelah
kurangkam ajal kota-kota
(2005: 59).

Sebagai seorang penyair yang karya-karyanya banyak bergelut dengan tema-tema seputar maut dan kematian, apa yang terjadi pada Aceh telah menimbulkan semacam enerji inspirasi bagi W. Haryanto. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan yang terjadi pada Ida N. Chazanah. Bagi Ida, apa yang menimpa Aceh telah menimbulkan semacam rasa prihatin dan belasungkawannya, hal ini pada akhirnya membawa dirinya sampai pada kritisisasi keberadaan Tuhan, dunia dan dirinya sebagai manusia di dunia. Seperti yang dapat dilihat pada larik-larik puisinya yang berjudul "Renungan Bencana Tsunami":
Ya Allah...
tanda-tanda apakah ini?
semua kau hancurkan
luluh lantak tak berkeping!
Kecuali Masjid-Mu!
(2005: 26).

Semangat yang sama juga dapat dilihat pada puisi "Divine Tragedy" karya Mashuri. Dalam puisinya tersebut, begitu terbaca betapa Mashuri melalui aku-lirik larik puisinya, berusaha untuk melakukan kritisisasi atas keberadaan Tuhan, dunia dan manusia. Dan dalam konteks ini kritisisasi tersebut muncul mula-awalnya disebabkan oleh bencana ataupun malapetaka yang terjadi di Aceh. Seperti yang terlihat pada larik-larik puisinya tersebut: 2

bumi tak pernah bulat tuk dipahami
karena kaki
tak pernah berjejak
di sini 3
ah, mungkinkah tuhan alpa mencatat
(2005: 33).

Demikianlah, meskipun sebuah puisi merupakan sebentuk ekspresi individual, akan tetapi ia, bisa jadi, masih saja terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal penciptanya sebagai bagian dari dunia. Dan apa yang muncul dan menimpa Aceh, sedikit banyak, telah ikut serta menumbuh-kembangkan serta menajamkan enerji artistik dan pengetahuan seorang penyair dalam kepekaannya terhadap diri, dunia dan Tuhan. []


* Penulis adalah penyair, esais,staf pengajar di Fakultas Sastra & FilsafatUniversitas Panca Marga, Probolinggo
Suara Karya: Minggu, 31 Juli 2005
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=117155

0 urun rembug: