Wednesday 9 January 2008

Problematik Sastra Buruh

Oleh: S Yoga


Pada tanggal 30 April dan 1 Mei lalu -- dalam rangka memperingati Hari Buruh -- telah diadakan Festival Sastra Buruh di Blitar. Berkait dengan itu penggiat sastra dan budaya Bagus Putu Parto sangat sibuk. Sebagai pembicara, ditampilkan Beni Setia, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto. Beberapa pengarang buruh (migran) yang hadir di antaranya Saiful Bakri (Mojokerto), Arsusi, Endang Pratiwi dan Etik Juwita (Blitar), Lik Kismawati (Sidoarjo), Denok Rokhmatika dan Rini Widyawati (Malang), Eni Kusuma (Banyuwangi), Jumari Hs dan Yudhi MS (Kudus), Maria Bo Niok (Wonosobo) dan Safitri Budiarti (Cilacap). Rata-rata dari mereka pernah bekerja di Hong Kong, sebagai buruh, tentu saja.

Sedangkan beberapa buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh (migran) di antaranya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Penari Naga Kecil (Tarini Sorrita), Majikanku Empu Sendok (Denok K Rokhmatika), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati,dkk), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Hong Kong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie,dkk).

Defenisi sastra buruh pun bisa diperdebatkan panjang lebar. Apakah yang dimaksud sastra buruh adalah karya sastra yang ditulis ketika ia menjadi buruh. Bagaimana kalau ia sudah tidak jadi buruh namun menulis sastra buruh, dan hal ini banyak dilakukan oleh mereka. Atau bahkan seorang yang tidak pernah jadi buruh namun konsen terhadap nasib buruh. Misal puisi Dongeng Marsinah-nya Sapardi Djoko Darmono, yang begitu indah dan tak mengurangi ironi atau tragedi kemanusiaan seorang buruh arloji. Dan beberapa pengarang lain yang suka menulis perihal nasib buruh.

Bahkan sastra (bertema) buruh di luar negeri banyak digerakkan oleh para pengarang yang bukan buruh, misal Anton Chekov yang terkenal dengan cerpennya Matinya Seorang Buruh Kecil. Emile Zola dengan novel Germinal yang mengisahkan kehidupan para pekerja pabrik dan ketertindasan struktur oleh para borjuis di Eropa.

Maxim Gorki yang kebetulan semenjak usia 12 tahun juga bekerja menjadi buruh apa saja, terkenal dengan sastra realisme sosialnya, yang banyak menyoroti kehidupan buruh pabrik, Tales of Italy, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Pemogokan. Charles Dickens yang terkenal dengan novel Oliver Twist, yang mengangkat tema pekerja (buruh) anak. Karya-karya mereka ini menjadi klasik karena memang ceritanya menyentuh tanpa harus menggurui. Sastra tidak secara langsung menjadi alat perjuangan buruh, namun kesan yang ada dalam kisah itu mampu membangkitkan persoalan kemanusiaan akan kondisi kaum buruh.

Sedangkan sastra buruh kita yang kebetulan ditulis oleh buruh (kalau hal ini memang yang disepakati akan definisi sastra buruh). Secara umum masih menampakkan "propaganda" atau alat perjuangan langsung. Agar dibaca oleh para pejabat atau instansi terkait berkaitan dengan perburuhan. Sehingga didapatkan dari hasil membaca ini sikap yang bijaksana oleh para pejabat. Kalau memang itu tujuan utama, kenapa tidak demonstrasi atau pembangkangan sosial. Yang efekivitasnya segera dapat terlihat. Bahkan oleh hal-hal yang berbau demonstrasi saja para pejabat tidak tergerak hatinya akan perbaikan nasib buruh. Boro-boro diminta membaca karya sastra buruh agar hatinya terketuk.

Di sinilah persoalan utama yang harus kita cari akar persoalan sastra buruh yang sebenarnya. Sehingga capaian artistik yang dapat berumur panjang, langgeng menjadi sesuatu yang wajar untuk dijadikan pilihan. Tidak reaktif dan implusif.

Kita tahu meski genre sastra itu bermacam-macam jenisnya, namun standar karya sastra dari dulu hingga sekarang akan itu-itu saja. Bahkan Budi Darma dengan nada yang sinis pernah menyatakan Tidak diperlukan Sastra Madya, di mana estetika sastra adalah hal utama dari sebuah karya sastra apa pun macam bentuknya.

Perihal sastra buruh sendiri sebenarnya tidak terlepas dari seorang penyair yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya, yakni Wiji Tukul (Solo), salah satu kumpulan puisinya yang terkenal adalah Mencari Tanah Lapang. Ia seorang buruh yang konsisten, berani dan jujur dalam puisi-puisinya, meski pun dia juga menyadari bahwa puisi buatnya adalah sebagai alat perjuangan bagi nasib buruh. Namun ia tidak begitu saja mau diperbudak oleh kata-kata yang telanjang. Dalam puisi-puisinya masih sangat terlihat irama, rima, ritme, ironi dan metafora yang mengena. Saya kira ialah yang mula-mula memperkenalkan sastra buruh dengan pembacaan puisi di pabrik-pabrik, kampus, kampung dan keluar masuk kota dan desa di tahun 1990-an.

Pada tahun 1995-an, di Tangerang pun muncul Wowok Hesti Prabowo (yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden Penyair Buruh) dengan Roda-Roda Budaya, Institut Puisi Tangerang, Budaya Buruh Tangerang dan Teater Buruh, yang sengaja ia bentuk. Dengan komunitas-komunitas yang menyebar, diharapkan persoalan buruh dapat terekam lewat karya sastra dan teater, selain pemberdayaan buruh dalam setiap diskusi-diskusinya. Komunitas ini kemudian menerbitkan kumpulan puisi Rumah Retak, Trotoar dan Buruh Menggugat. Dari jaringan sastra buruh yang dikembangkan Wowok ini rupanya menyebar ke wilayah-wilayah di luar Tangerang.

Di Kudus pun muncul nama Jumari Hs dan Yudhi MS (pabrik Djarum), yang estetika puisi-puisinya cukup baik. Dari generasi ini selain nama-nama tersebut masih ada beberapa nama yang karya-karyanya cukup disegani di jagad sastra, misal Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri. Bahkan Husnul Khuluqi meski hingga kini masih menjadi buruh, puisi-puisinya menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Puisinya tidak hanya menyuarakan nasib buruh namun memiliki estetika sastra yang baik.

Sedangkan gegap-gempita sastra buruh migran yang mulai tumbuh pada tahun 2000-an, adalah generasi sastra buruh internet. Karena dari mereka banyak yang berkomunikasi dan menyebarkan karya-karyanya atau berdiskusi lewat internet, sebelum kemudian dibukukan. Generasi sastra buruh migran inilah yang sekarang mendapat tempat dalam isu berbagai ketimpangan pada buruh migran yang kian hari kian marak. Salah seorang penggerak dari sastra buruh migran adalah Bonari Nabonenar.

Namun demikian melihat dari karya sastra yang dihasilkan, umumnya masih pada persoalan-persoalan besar, sehingga cenderung memperalat bahasa untuk sebuah pesan yang ingin mereka perjuangkan. Mereka umumnya menulis prosa, karena banyak dihuni oleh penulis-penulis wanita. Kadang kita melihat estetikanya dengan karya-karya yang dibuat bukan buruh migran, hasilnya sama saja, hanya temanya yang mefokus ke persoalan perburuhan.

Tentu saja kita berharap, dikemudian hari, akan muncul penulis-penulis yang tidak hanya mengejar pesan namun kesan yang mendalam akan kisah-kisah kecil yang menarik, tragik dan ironi. Sehingga kita bisa mendapatkan penulis-penulis bertema buruh sekuat Emile Zola, Maxim Gorki, Charles Dickens dan Anton Chekov yang penuh satir, dengan realisme sosial yang tidak hanya menyenangkan saja maupun sekedar sebagai alat propaganda.

Memang susah untuk mencari landasan filosofis dari gerakan sastra buruh, ketika capaian artistiknya (bentuk) masih sama dengan karya sastra lainnya, kecuali pada perbedaan temanya saja. Karena itu sastra buruh migran cenderung menjadi sebuah gerakan. Dan bila kita cermati dari orang-orang yang terlibat di dalam sastra buruh migran ini.

Kita bisa mendapatkan nama-nama yang sama ketika mencuat gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) di tahun 1990-an. Yang dengan garang menentang pemusatan sastra (karya, penulis dan redaktur) yang hanya berputar-putar di Jakarta. Ketika itu ada nama-nama Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Bonari Nabobenar, Bagus Putu Parto dan Beni Setia. Namun karena capaian karya sastranya tidak berbeda dengan karya yang ditentangnya maka ia hanya merupakan gerakan sastra atau setrategi politik sastra. Dan apakah sastra buruh (migran) juga hanya bermain-main dalam politik sastra saja, biarlah waktu yang menjawab. []


* Penulis, seorang penyair tinggal di Situbondo

Suara Karya: Sabtu, 16 Juni 2007
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=175393

0 urun rembug: