Thursday 3 January 2008

Pasemon Pengadilan Sastra Jawa

Oleh: Bonari Nabonenar

SALAH satu mata acara dalam Pekan Budaya Jawa yang digelar di Surabaya, 29 – 31 Agustus 2002 adalah Pengadilan Sastra Jawa, yang akan segera melayangkan ingatan kita ke tahun 1974 ketika Slamet Sukirnanto dan kawan-kawan menggelar Pengadilan Puisi di Bandung. Ketika itu Slamet Sukirnanto dan kawan-kawan, pada akhirnya, lebih-kurang hanya menuai banjir olok-olok, justru dari kalangan Sastra (Indonesia) sendiri. Akankah Pengadilan Sastra Jawa yang akan digelar di Taman Budaya Jawa Timur (Jl Gentengkali 85 Surabaya) nanti hanya menuai hasil serupa, atau bahkan jadi lebih konyol?

Komposisi Penerima hadiah sastra Rancage – yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage (Sunda) yang diketuai Ajip Rosyidi-- bagi pengarang dan penyair sastra Jawa tahun 1994 – 2001 tidak sebanding yaitu 8 : 1. Delapan orang berasal dari wilayah administratif Jawa Timur, dan seorang dari Daerah Istimewa Jogjakarta. Dari wilayah administratif Jawa Tengah malah belum ada yang ‘beruntung’. Itulah yang kemudian menimbulkan berbagai kecurigaan di balik penjurian hadiah tersebut. Secara geografis memang sastra Jawa didukung oleh masyarakat Jawa di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Jawa Timur. Kenyataan itu berbeda dengan Sastra Sunda maupun Bali. Sekat-sekat geografis itu pun boleh-boleh saja dianggap membuka semacam peluang untuk terjadinya KN (kolusi dan nepotisme) dalam penjurian hadiah Rancage untuk sastra Jawa.

Delapan orang sastrawan Jawa yang pernah memperoleh hadiah Rancage untuk kategori karya terbaik (yang diterbitkan dalam bentuk buku) adalah: FC Pamudji/Nganjuk (1994) untuk novelnya Sumpahmu Sumpahku; Satim Kadaryono/Surabaya (1996) untuk novelnya Timbreng; Esmiet/Banyuwangi (1998) untuk novelnya Nalika Langite Obah; Suharmono Kasiyun/Surabaya (1999) untuk novelnya Pupus kang Pepes; Widodo Basuki/Trenggalek (2000) untuk kumpulan guritan-nya Layang saka Paran, dan Djayus Pete/Bojonegoro (2001) untuk kumpulan crita cekak-nya Kreteg Emas Jurang Gupit. Seorang yang berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta yaitu Djaimin K (1997), mendapatkan Rancage untuk kumpulan guritan-nya Siter Gadhing.

Kenyataan tersebut menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, terutama pengarang dan penyair yang berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta dan Jawa Tengah. Kerja keras almarhum Suripan Sadihutomo dalam memperjuangkan sastra Jawa, ternyata menimbulkan berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu Dr Setya Yuwono Sudikan sebagai anak emas Suripan Sadihutomo, yang kali ini mendapat tugas sebagai Ketua Panitia Penerimaan Hadiah Sastra Rancage 2002, membuka ruang dan waktu untuk buka-bukaan. “Bukankah sekarang adalah era yang serba transparan? Selanjutnya, apakah Dewan Juri sebaiknya lebih dari seorang, agar lebih objektif? Bagaimana tanggapan Bapak Ajip Rosyidi sebagai penyandang dana? Marilah kita mengoreksi diri kita sendiri,” ajak Setya Yuwana.

Seperti yang dipertanyakan Setya Yuwono, yang kemudian juga memancing timbulnya kecurigaan adanya KN di balik penjurian hadiah Rancage untuk sastra Jawa adalah tidak adanya tim juri. Penilaian atas tokoh ataupun karya terbaik yang diterbitkan dalam bentuk buku yang pantas mendapatkan hadiah Rancage hanya dilakukan oleh satu orang. Dua orang yang secara berturut-turut telah menjadi juri tunggal hadiah sastra Rancage untuk sastra Jawa adalah Dr Suripan Sadihutomo (Surabaya) dan kemudian Muryalelana alias Dojo Santosa (Semarang), keduanya kini telah almarhum.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah indikasi-indikasi itu layak dijadikan dasar untuk menyeret para pemenang hadiah Rancage menjadi terdakwa dalam Pengadilan Sastra Jawa ini? Tetapi, itulah yang akan terjadi. Pengadilan Sastra Jawa telah mengundang (baca: memanggil) para sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage sebagai terdakwa. Sebenarnya ini sangat menyedihkan. Sangat menyakitkan.

Apalagi sebagai sesama pengarang sastra Jawa, rasanya tidak tega melihat sahabat, kawan, bahkan guru yang dipaksa duduk di kursi terdakwa itu.

Tidak Bersalah

Hadiah Rancage itu, namanya juga hadiah, tentu boleh diberikan kepada siapa saja, sekehendak si pemberi. Jika dikaitkan dengan prestasi para sastrawan Jawa, memang sebaiknya tidak seperti itu. Tetapi jika sudah sampai di pengadilan seperti ini, mestinya bukan saat yang tepat untuk sekedar bicara mengenai baik atau tidak baik? Dalam pengadilan hanya ada dua kata: benar atau salah.

Menurut hemat saya, mereka yang akan terpaksa duduk sebagai terdakwa itu sebenarnya tidak membawa cukup kriteria untuk didakwa bersalah. Tidak ada dasar hukum yang mengatakan bahwa mereka bersalah karena telah menerima hadiah Rancage. Bahkan, mereka akan merasa dan bisa dianggap bersalah jika menolaknya. Dalam bahasa Jawa ada kata-kata bijak, “Rejeki cedhakana, bilahi dohana,” yang artinya, “ Dekatilah rezeki itu, dan jauhilah malapetaka.” Bukankah hadiah Rancage itu termasuk rezeki? Orang Jawa juga memiliki ajaran karyenak tyasing sasama, mengenakkan hati sesama. Jika mereka menolak pemberian hadiah Rancage itu, bukankah mereka justru akan membuat tak enak hati si pemberi?

Dalam kosakata Jawa juga ada pepatah, sing bener durung mesthi pener, yang artinya, yang benar belum tentu tepat. Nah, pertanyaannya sekarang, apakah sudah tepat bahwa hadiah Rancage itu jatuh ke tangan mereka? Jawaban atas pertanyaan itu, tentu saja tergantung dari sudut dan dari pihak mana memandangnya. Tetapi, yang jelas, persoalan tepat dan tidak tepat itu tidaklah selayaknya jika kemudian ditimpakan kepada para penerima hadiah Rancage. Persoalan ini tentu lebih menyangkut siapa yang memberi dan sistem atau prosedur pemberian itu.

Sponsor

Memang kita patut prihatin terhadap Wong Jawa, yang, menerima pemberian saja kok ya masih gegeran. Yang lebih memprihatinkan lagi, Wong Jawa sendiri seperti tidak peduli terhadap nasip para “pejuang” tradisi, terhadap wakil generasi yang masih sudi melestarikan dan mengembangkan budaya sendiri. Mengapa hingga kini tidak ada Wong Jawa yang tergerak hatinya untuk memberikan dan menyelenggarakan penganugerahan sastra Jawa sendiri? Tidak ada uang dan beranggapan bahwa di zaman serba krisis ini urusan perut lebih mendesak? Ah, tampaknya nonsens. Bahwa urusan perut lebih penting, memang benar. Tetapi bukan itu perkaranya. Sebuah perusahaan dengan entengnya menghamburkan uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk mensponsori sebuah pagelaran kesenian. Hanya untuk semalam saja. Dan pada kesempatan ini, berkaitan dengan Pengadilan Sastra Jawa ini, hanya uang lima juta rupiyah saja (10 juta untuk 2 orang), itu pun pemberian ‘tetangga’, wong (masyarakat sastra) Jawa malah bertengkar, bahkan bikin pengadilan segala. Konyol.

Uang yang oleh perusahaan “Anu” (yang beroperasi di Jawa) lalu disalurkan sebagai dana promosi untuk mensponsori pertunjukan band, sandiwara, ataupun pemilihan putri ini itu, bukankah sesungguhnya uang orang Jawa sendiri? Mana ada perusahaan mau rugi? Karena itu dana promosi itu dikerukk dengan menaikkan tarif, harga, yang ujung-ujungnya juga jadi beban konsumen (baca: wong Jawa). Maka, marilah mulai berhitung, berapa banyak pulsa yang dipakai orang Jawa dalam waktu sehari, sepekan, sebulan, setahun? Berapa bungkus mi yang dikonsumsi orang Jawa dalam setahun? Berapa sak semen yang digunakan orang Jawa untuk membangun rumah, jembatan, masjid, greja, gedung sekolah, dan lain-lain? Lalu, berapa batang rokok yang dihisap orang Jawa dalam sehari, sebulan, setahun? Dengan begitu bisa dihitung pula, berapa rupiah keuntungan perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN yang sebagian besar juga dikelola oleh orang Jawa itu dikeruk dari kantong orang Jawa? Apakah tidak bisa disisihkan nol koma nol nol nol sekian prosen dari keuntungan itu untuk sastra Jawa? Maka, wong Jawa yang jadi konsumen maupun memegang bang-bang pangalum-aluming (: kekuasaan) perusahaan yang masih peduli terhadap budaya sendiri mesti berpikir juga bahwa sastra Jawa pada akhirnya berurusan dengan nama baik orang Jawa sendiri.

Akhirnya, kita memang patut bersedih, karena kenyataan ini memang sangat menyakitkan. Dan dengan demikian, sesungguhnya, yang paling patut kita dudukkan sebagai terdakwa dalam sidang Pengadilan Sastra Jawa yang terhormat nanti tidak lain dan tidak bukan adalah Wong Jawa sendiri.

Tetapi, kita bisa menghapus kesedihan ini dengan mengaggap bahwa inilah pasemon, yang dipilih para penggiat sastra Jawa untuk menyindir Wong Jawa yang kebetulan bernasip baik, punya duit melimpah, ataupun perusahaan-perusahaan yang masih memiliki komitmen kepada masyarakatnya. Dan kesedihan ini pun bisa saja segera berbalik menjadi sukacita, jika mereka yang disemoni dengan Pengadilan Sastra Jawa ini kemudian benar-benar merasa tersentuh, terketuk, dan berbuat sesuatu untuk sastra Jawa.*


*) Bonari Nabonenar, anggota Sanggar Sastra Jawa Triwida, humas Paguyuban Pengarang sastra Jawa Surabaya.

0 urun rembug: