Thursday 3 January 2008

Novel Jawa dan Perselingkuhan

TULISAN Daniel Tito berjudul Novel Jawa dan Inul Daratista (Jawa Pos, 16/2) yang dimaksudkanuntuk menanggapi tulisan Sugeng “Keliek” Wiyadi berjudul Merangsang Novel Jawa (Jawa Pos, 19/1), terasa sekali terlalu banyak menyanjung Inul. Kalau mendapatkan kesempatan mendekati Inul seperti Taufik Kiemas, saya yakin Tito tak hanya akan memeluknya. Mungkin, akan me-nyunggi-nya. Aha!

Tetapi, pada prinsipnya saya setuju bahwa sekarang ini sedang diperlukan gimmick, cara khusus untuk menarik perhatian –mungkin mirip-mirip yang dilakukan Inul— agar sastra Jawa pada umumnya dan novel Jawa khususnya bisa lahir dari pengarang-pengarang muda. Ketika masih di Surabaya, Sugeng Wiyadi bahkan pernah merancang sebuah penulisan novel bersama (satu novel berbahasa Jawa ditulis 10 atau 15 orang pengarang yang sebelumnya sudah mendapatkan ikhtisarnya dari Panitia) di suatu tempat, dan harus menyelesaikan pekerjaan mereka dalam semalam, seperti halnya Bandung Bandawasa menyelesaikan candi Prambanan juga hanya dalam semalam. Dan tentunya masih banyak cara, kiat, gimmick, yang bisa muncul dari pikiran-pikiran segar.

Kalau saya boleh membandingkan pengarang tua dengan pengarang muda dalam sastra Jawa, maka saya akan mengakui bahwa pengarang tua memang lebih “berkualitas” daripada para pengarang mudanya: terutama dalam hal ketekunan, kegigihan, dan kegilaan. Dari pengalaman selama 2 tahun menjadi staf redaksi tabloid Jawa Anyar, saya bisa menyebut sekian banyak nama pengarang tua, yang ketika satu naskahnya ditolak akan mengirimkan lagi dua naskah. Ketika yang dua naskah itu ditolak, dikirimkanlah lima naskah, begitu seterusnya. Ini sudah perpaduan antara ketekunan, kegigihan, kegilaan, dan –maaf kalau mesti ditambah satu lagi-- kekonyolan!

Ada teori yang mengatakan bahwa ketekunan dan ke-utun-an pengarang tua itu timbul karena memang mereka hanya fasih menulis dengan bahasa Jawa. Tetapi, teori ini segera terbantah oleh nama-nama: Piek Ardijanto Soeprijadi, Poer Adhie Prawoto, Ragil Suwarno Pragolapati, Suripan Sadihutomo, yang masih juga tekun menulis dengan bahasa Jawa meskipun namanya sudah berkibar di khasanah sastra Indonesia (ketika mereka masih hidup). Ada lagi nama Suparto Brata, yang sekarang masih hidup, semoga panjang umur, yang masih rajin menulis dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Pengarang sastra Jawa, menurut Tito, ibaratnya laki-laki yang hidup dengan seorang isteri yang setia, sabar, pengertian, cantik, tetapi tidak ngrejekeni dan oleh karenanya diperlukan adanya semacam selingkuhan alias sephia, misalnya sastra Indonesia. Bayangkan bila honor tulisan berbahasa Indonesia sama dengan 5 atau 10 kali lipat honor tulisan berbahasa Jawa. Karena itulah, Tito pun masuk ke dalam kelompok pengarang dua bahasa itu. Maksudnya, pengarang sastra Jawa yang memiliki selingkuhan: sastra Indonesia! Mungkin, boleh juga akan segera mengikuti jejak “guru”-nya, Arswendo, yang meninggalkan bojo tuwa-nya (baca sastra Jawa) dan mengawini selingkuhannya (sastra Indonesia). Pada tahap ini, tampaknya para pengarang Jawa, terutama yang masih muda, mesti belajar pula bagaimana “berselingkuh” yang aman, dan yang membuatnya makin bergairah.

Tjahjono Widijanto beberapa kali mengingatkan pentingnya kegilaan dalam berkesenian, dan dia melihat betapa kurang gila-nya para sastrawan muda Jawa. Saya setuju sekali dengan pendapat itu. Lalu saya teringat kisah pertemuan Tamsir AS dengan Esmiet. Mereka bertemu dan berkenalan di sebuah hotel murah di Solo –setelah lama saling kenal hanya lewat tulisan mereka— ketika mereka sama-sama mencari penerbit yang mau menerima karya sastra Jawa seperti yang mereka hasilkan. Bahkan tidur di emper toko pun, kata Tamsir, dilakoni pula. Betapa gilanya! Semangat dan kegilaan macam itu, betapa hebatnya. Para pengarang muda Jawa sekarang, ora ana saamput-ampute!

Tetapi soal kualitas dalam pengertian mutu karya, saya masih yakin bahwa para sastrawan muda Jawa sangat menjanjikan. Bahkan, bahasa Jawa mereka –yang oleh golongan tua yang konservatif dianggap rusak—sebenarnya lebih hidup, lebih segar. Justru sebagian besar golongan tua itu, bahasa Jawa mereka terasa terlalu klasik, ketinggalan zaman, seperti kalau kita sekarang membaca sebagian besar karya sastra Indonesia Zaman Balai Pustaka. Bahasanya terasa “lucu” bukan?

Cara menerbitkan karya sastra Jawa, termasuk novelnya, dengan cara yang ditempuh oleh Tito dengan buku Kembang Campursari-nya mungkin boleh juga. Cuma, seperti diakui Tito sendiri, tampilannya jadi kurang artistik, kurang menarik, karena dibebani space iklan yang sedemikian berat. Hampir tidak ada halaman tanpa iklan untuk sebuah buku, rasanya memang terlalu berlebihan.

Sejelek-jeleknya sastra Jawa modern, sebenarnya masih ada yang bisa dijual. Warna etnis, eksotisme, adalah komoditas yang tampaknya bisa ditawarkan ke lembaga-lembaga pendanaan, terutama yang disponsori negara-negara kaya. Persoalannya adalah, siapa yang mau jadi jurubicara untuk memperkenalkan dan mempromosikan sastra Jawa ke luar? Dalam rangkaian ini penerbitan karya sastra Jawa multibahasa, atau penerjemahan karya sastra Jawa ke bahasa asing mesti dilakukan secara nekad lebih dulu, jangan hanya menunggu orang asing menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka. Tirulah Inul, membiarkan goyangan ngebor-nya di-CD-kan untuk dijual, tanpa royalti. Toh pada akhirnya Inul memetik hasilnya yang luar biasa plus bonus pelukan maut itu. Tanpa CD koplo itu, tampaknya Inul harus sangat bersusah-payah untuk menaklukkan Jakarta.

Saya pernah mengatakan, ketika pengarang terkenal menerbitkan bukunya dan mendapat bayaran atau royalti, pengarang Jawa justru harus membayar agar karyanya bisa diterbitkan sebagai buku. Itu beberapa waktu lalu. Sekarang, tampaknya sudah ada gerak maju. Saya dapat kabar, sebuah penerbit besar di Jogjakarta sudah mengantongi 10 naskah sastra Jawa (guritan, crita cekak, novel) yang siap diterbitkan tahun ini. Jika terealisasi, itu akan membuat juri hadiah Rancage untuk tahun 2003 ini bekerja lebih keras dari tahun sebelumnya. Persaingan pun tentu akan makin ketat, makin seru. Bukankah itu yang kita tungu-tunggu?

Viddy AD, penyair dan kolumnis asal Lamongan, mengabarkan bahwa tiga orang penyair etnis dari Jawa Timur (Jawa, Madura, Osing) akan diundang untuk Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) yang akan diselenggarakan di Singapura Juni mendatang.

Beberapa hari setelah tulisannya berjudul Betty Lafea dalam Bahasa Jawa dimuat di harian ini, Suparto Brata dipanggil untuk makan siang dan ngobrol bersama Konsul Amerika di Surabaya. Dari pertemuan itu, Suparto Brata tahu bahwa Sang Konsul mengikuti dan menaruh perhatian besar terhadap pemberitaan dan tulisan-tulisan yang menyangkut bahasa dan sastra Jawa. Maukah kita menggiringnya untuk sampai pada tahap kerjasama dalam bidang seni dan budaya yang saling menguntungkan? Amerika sedang sibuk ngurusi perang, memang. Tetapi apakah roda seni-budaya mesti berhenti karena perang? Kalau sastra Jawa bisa makin berkembang dengan cara kita “berselingkuh” dengan Amerika, mengapa tidak?* (Bonari Nabonenar).

Sumber: Jawa Pos

0 urun rembug: