Sunday 30 December 2007

PEMERIKSA GELAP DI BANDARA SOEKARNO-HATTA


SETELAH kenyang begadang di Victoria Park, lelah menjadi dua orang semut di antara jutaan semut lain yang mencungul dari --dan ndlesep ke dalam-- stasiun MTR Causeway Bay, saya dan teman saya, Kuswinarto namanya, terbanglah pulang ke tanah air, seperti dua ekor semut yang dihenyakkan hujan: buru-buru pulang ke sarang.

Dari penginapan kami yang sempit di Paterson Street, kami naik bus dua lantai menuju bandara Chek Lap Kok. Nunggu bus-nya lumayan lama, lebih dari 30 menit. Tetapi, begitu dapat, bus pun meluncur dengan nglenyer, mulus, di jalan yang lapang. Nyaman sekali. Tidak macet, dan sopir pun seperti tak bernafsu untuk ugal-ugalan seperti sopir bus di Indonesia yang selalu kebelet kejar setoran.

Bandara Chek Lap Kok pun menyambut kedatangan kami (yang diantarkan salah seorang dari Panitia Workshop Penulisan untuk BMI HK yang mengundang kami: Ani). Senyum ramah para petugas berseragam rapi pun seperti selalu tersungging, sampai kami berdua masuk lambung pesawat Garuda Indonesia (maskapai yang juga jadi salah satu sponsor workshop itu).

Setelah meluncur di ketinggian standar, menembus gumpalan-gumpalan awan (sekali-sekali terdengar anjuran untuk mengenakan sabuk pengaman –bukan anjuran mengencangkan ikat pinggang, hehe…--karena cuaca memang kurang baik) pramugari pun mengedarkan hidangan pembuka: minuman.

Kopi – Beer

Masalah pertama pun muncul. Saya pesan susu, dan diberinya saya minum susu. Kuswinarto pesan kopi. Eh, lha kok diberi beer! Mungkin pramugari salah dengar. Maka, sayalah yang beruntung: bisa minum susu dan minum beer pula! Teman saya yang satu ini, tentu bukannya tidak tahu ada pepatah, ’’Pembeli adalah raja.’’ Ia tahu ia bisa komplain. Tetapi, itu tidak dilakukannya. Ia lebih memilih berdamai. Ia minum pula minuman yang tidak diinginkannya, tetapi dengan membaginya dengan saya.

Dan Garuda pun hinggap di bandara Soekarno-Hatta dengan mulus. Saat berangkat (8 Juli 2005) kami berdua juga transit di bandara Soekarno-Hatta setelah terbang sekitar 1 jam dengan Garuda. Kami hanya perlu menunggu untuk oper ke pesawat yang lebih besar, sedangkan barang-barang bawaan kami, dipindahkan langsung ke Garuda yang hendak menerbangkan kami ke Hong Kong. Tetapi, pada saat kembali ini, barang-barang harus kami ambil, dan kami urus lagi proses pemindahannya ke lambung Garuda yang akan membawa kami ke Surabaya. Bahkan, sekalian pemeriksaan kedatangan: pengecekan paspor, dilakukan pula di Soekarno-Hatta.

Kami sempat beberapa kali bertanya untuk menemukan tempat pengambilan barang, tempat pemindahan ke pesawat yang baru, dan tempat menunggu untuk masuk ke dalam pesawat. Padahal, beberapa petunjuk telah di pasang dengan kalimat-kalimat bahasa Indonesia, bahasa kami sendiri. Tetapi, kami masih juga bingung. Sempat juga merasa malu sendiri loh! Betapa tidak? Dua orang wartawan terbengong-bengong di bandara di negeri sendiri. Dan bahkan terpaksa nginthil beberapa orang kawan sepesawat yang sedang cuti karena finish kontrak, dan bahkan ada pula yang terpaksa terbang kembali ke tanah air karena di-interminit, untuk tidak tersesat.

(Dari terminal bus Bungurasih (Surabaya) pernah lho, saya bersamaan dengan seorang penumpang yang maunya pulang ke Jember, eh, malah keliru masuk bus yang menuju Jogjakarta! Apa kita bisa masuk pesawat yang salah dan baru sadar ketika burung besi itu sudah menembus kabut, ya? Haha!)

Yang pasti, saat datang, apalagi saat mau pulang balik ke negeri sendiri, kebingungan seperti itu tidak kami alami di bandara Chek Lap Kok (Hong Kong International Airport). Saya masih juga tidak tahu sebabnya. Sya bahkan juga heran, mengapa saya tidak pernah tersesat di stasiun MTR Central, Admiralty, atau Causeway Bay yang serumit itu! Serumit, atau bahkan lebih rumit dari lorong tikus.

Pemeriksa Gelap

Ekspresi kami berdua tampaknya memang terlalu jelas menampakkan kebingungan kami. Mungkin memang tidak separah wajah tarzan masuk kota. Tetapi, jangan lupa, kami merasa gagah dan bahkan sering bersikap kemeruh (sok tahu) sewaktu di Hong Kong. Sedangkan di Jakarta, di ibukota negeri sendiri, lha kok malah merasa asing!

Maka, kami pun tidak pernah menilai negatif siapa pun yang menyangka kami adalah dua orang yang baru saja pulang setelah sekian lama berlayar. Setelah lama terayun-ayun ombak lautan, biasalah kalau kami lalu perlu waktu untuk bisa berdiri dengan mantap di darat. Beberapa orang perempuan yang sedang meninggalkan rumah majikan untuk menengok keluarganya di kampung halaman pun sempat dengan yakinnya menebak kami dengan pertanyaan, ’’Mas ini kerja di pelayaran, ya?’’

Hah? Memang kami ada potongan pelaut? Oh, tahulah kini saya! Bukankah nenek moyang kita memang orang pelaut? Yang tidak saya ketahui adalah pikiran petugas berseragam biru (celana) putih (baju) yang tiba-tiba menghadang kami berdua, setelah beberapa tikungan kami meninggalkan tempat pemeriksaan paspor. Apakah laki-laki berseragam (karena kami juga berjumpa dengan beberapa orang lagi di bandara ini yang mengenakan setelan pakaian yang sama) ini melihat tampang pelaut kami atau lebih membaca kebingungan kami?

’’Mau ke mana, Mas?’’

’’Surabaya,’’ jawab saya, sementara Kuswinarto tetap lengket di samping saya.

’’Surat-suratnya?’’

’’Lho, ada apa, Pak?’’

’’Pemeriksaan.’’

’’Tadi kami sudah melewati pemeriksaan, Pak.’’

’’Ya, tapi ini pemeriksaan lagi.’’

’’Memang apanya, Pak, yang mau diperiksa?’’

’’Paspor?’’

Saya boleh bengong karena berbelitnya denah atau terlalu canggihnya struktur bangunan bandara Soekarno-Hatta. Tetapi saya tidak sebegitu bodoh untuk tidak segera menangkap ketidakberesan ini. Maka, saya pun berakting tolol sekalian, karena laki-laki berseragam petugas di hadapan saya pastilah mengira bahwa saya dan teman saya hanyalah dua orang laki-laki bodoh. Saya berlagak mau ambil paspor yang dibilang mau dia periksa. Saya buka tas pinggang saya, dan saya mengambil sebilah pisau. Eh, bukan! Saya ambil kartu tanda anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atas nama saya. Dan saya tunjukkan kepadanya.

Laki-laki itu, saya tahu pasti, terkejut bukan main.

’’Oh, ya, ya….! Ke sana…. ke sana….!’’ katanya berbasa-basi menunjukkan arah yang mesti kami tuju, setelah mengembalikan ’’kartu sakti’’ itu kepada saya.

Saya pun hanya bisa mengumpat di dalam hati. Dan tertawa di dalam hati pula. Sedemikian gelinya saya, ternyata laki-laki berseragam itu keburu surut dan mendadak hilang nyali hanya oleh selembar kartu PWI yang masa berlakunya sudah habis sepuluhan tahun yang lalu!

Seikhlasnya – Tidak Ikhlas

Masih ada satu masalah lagi sebelum kami terbang menuju Surabaya pada malam yang hampir bergeser ke pagi hari itu. Ternyata kami masih harus berhadapan dengan petugas penerima barang-barang yang hendak kami masukkan bagasi (petugas yang membubuhi label) yang meminta uang.

Saya tidak dengar seluruh kalimatnya. Saya hanya tahu dia bilang minta uang, lalu dia sebut mobil yang hingga kini juga tak pernah dapat jupahami, mobil apa yang dimaksudkannya. Mungkin juga, maksudnya, ia minta uang transportasi untuk membayar ongkos mobil yang membawa barang-barang itu ke dalam lambung pesawat. Tetapi aturan seperti itu tidak pernah ada sewaktu kami hendak memulai perjalanan udara di bandara Juanda, dan bahkan di Chek Lap Kok (Hong Kong).

’’Berapa sih, Pak?’’ tanya saya berbasa-basi, sebab saya tahu pasti bahwa ini adalah pungutan liar.

’’Seikhlasnya sajalah,’’ jawabnya.

Sempat juga terpikir untuk memberinya selembar puluhan ribu rupiah. Tapi, nah, ini pula masalahnya: saya tidak punya uang receh. Ada beberapa lembar ratusan ribu rupiah di dalam dompet saya, dan selembar HK$ 10 yang eman kalau saya berikan, soalnya sengaja saya simpan untuk kenang-kenangan. Kuswinarto juga tidak punya uang receh.

Maka, kami pun akhirnya pergi dari hadapan petugas yang sebenarnya juga tidak sedang sibuk-sibuk amat itu. Saya pikir, biarlah dia teriaki kami, kalau berani. Eh, ternyata tidak ada teriakan. Dan kami pun meninggalkannya dengan aman. Dia sudah bilang seikhlas kami, dan maaf saja, kami tidak ikhlas kalau harus memberinya ratusan ribu!

Setelah kembali bergabung dengan sekumpulan perempuan ’’pahlawan devisa’’ yang sama-sama hendak menuju Surabaya, saya menyempatkan bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ’’Mbak? Sampeyan tadi juga sempat dimintai uang ketika memasukkan barang-barang ke bagasi?’’

’’Dimintai, tapi ya tidak saya beri, Mas. Memang kita ini gudang uang, apa!?’’

Lalu, salah seorang di antara mereka menimpali, ’’Emang dhuwike mbahe sangkil apa!’’ []

Sumber: Tabloid HeLPeR

0 urun rembug: